1 - Senja dan Luka

9.3K 841 34
                                    

"Semuanya terlihat abu-abu di bawah langit mendung itu."—JK'S PAPER HEARTS.

_______

Cerita ini memakai penggunaan kata semi-baku. Untuk visualisasi adegan tetap menggunakan ejaan baku dan untuk dialog menggunakan kata tidak baku. Selamat membaca revisi work satu ini!

JIMIN membuang putung rokoknya ke dalam tong sampah tanpa mematikan api yang masih tersulut tipis diujungnya

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

JIMIN membuang putung rokoknya ke dalam tong sampah tanpa mematikan api yang masih tersulut tipis diujungnya. Ia menghela napas, turut menghembuskan sedikit kepulan asap yang masih tertinggal di kerongkongannya.

Tubuhnya masih dibalut seragam sekolah menengah atas yang kali ini terlihat kusut, berantakan dan kotor. Lengkap dengan wajah yang dipenuhi lebam dan darah diujung bibirnya. Bau asap rokok masih menempel di setiap inci tubuhnya.

Jimin duduk, sejenak menatap sekeliling sekolahnya. Lapangan basket yang luas dan bangunan kelas yang mengelilinginya. Ia menidurkan dirinya di lantai lapangan basket sekolah. Memandang langit senja yang begitu menarik di matanya. Langit dengan perpaduan warna antara oranye, kuning, ungu muda, merah muda, dan merah.

Jimin menyukai senja.

Jimin menyukai saat melihat pergantian warna langit luas diatasnya. Rasa perih di ujung bibirnya terabaikan secara tidak sengaja. Takjub akan indahnya hamparan luas langit di atasnya.

Dering ponselnya seketika memecah waktu emasnya yang berharga. Jimin mengambil ponselnya, menjawab sebuah panggilan masuk.

"Halo? Kenapa bu?" Jimin berucap sembari tetap memaku atensinya pada langit senja kota Seoul. Mengambil start terlebih dahulu dalam konversasinya dengan sang ibu yang mendadak menghubunginya.

"Cepetan pulang ya, ada yang mau ibu obrolin sama kamu."

"Oke. Bentar bu, aku masih dijalan," Ujarnya sebelum memutus panggilan telepon secara sepihak, tanpa mengetahui persetujuan ibunya terlebih dahulu.

Jimin menggerutu kesal saat mengingat bahwa penampilannya kacau sekali. Padahal hari ini ia ingin pulang mengendap-endap pada tengah malam agar ibu tidak menyadari penampilannya. Gusar sekali benaknya. Apa yang akan di katakan ibunya nanti saat melihat luka-lukanya sekarang ini?

Jimin beranjak, berjalan keluar dari sekolah dengan mengendap-endap lantaran takut tepergok oleh satpam sekolah. Berulang kali ia menyentuh luka diujung bibirnya dan mengernyit sakit sembari menaiki motor besarnya yang ia parkir di luar sekolah. Jimin memakai helm fullface berwarna hitam dengan beberapa garis berwarna merah.

Ah, harusnya tahan dulu untuk membuat masalah hari ini.

Jimin terus menggerutu dalam hati. Bandel, pembuat masalah, langganan menulis laporan di ruang disipliner dan si pemancing onar. Tapi, sekalipun ia tidak pernah membantah perintah ibu dan ayahnya. Berlainan dengan hati atau tidak, urusan belakang.

Usai menempuh jarak beberapa kilometer antar rumahnya dengan sekolah, Jimin memarkir motornya di garasi rumahya. Ia membuka helm kemudian merapihkan rambut yang sempat berantakan akibat helm. Matanya kembali menatap spion motor dan melihat luka-luka di wajahnya. Jimin menggigit bibirnya, sedikit meringis kemudian turun dari motor dan berjalan menuju pintu utama. Namun, begitu ia membuka pintu utama, yang pertama kali ia lihat adalah beberapa jejeran koper dan tiga orang yang sedang bercengkrama di ruang tamu.

Ibu berdiri, "Oh, Jim—"

Ibu menjeda kalimatnya, tampak terkejut setengah mati saat menemukan Jimin yang lusuh bukan main. Masih terpekur, ibunya kembali melanjutkan, "Kamu berantem lagi?"

Jimin memilih mengabaikan pertanyaan sang ibu. Mata Jimin yang awalnya melotot lantatan kaget kini tengah meneliti, memandang bergantian seorang pria paruh baya dan seorang pemuda familiar.

"Mereka—" Ucap Jimin begitu kedua lelaki itu memandangnya. Pemuda di sofa tersebut sama terkejutnya, terperangah saat matanya bertemu dengan mata Jimin.

Jimin beralih menatap ibunya, terselip gurat luka disetiap tatapannya. Jimin masih berada di ambang pintu tanpa perubahan ekspresi. Jimin mengatur nafas, mencoba sebisa mungkin menyembunyikan ekspresinya. Hari semakin gelap, senja kesukaan Jimin perlahan menghilang bersamaan dengan setiap binar di matanya.

Ibunya tersenyum, "Calon ayah baru sama calon saudara baru kamu, yang kemarin udah ibu ceritain."

Jimin terpekur sekian detik. Tapi kemudian ia hanya mengangguk dan menggaruk lehernya canggung. Jimin kembali mengalihkan atensinya pada seorang pemuda yang sama sekali tidak bisa menghilangkam ekspresi terkejutnya. Ia mentapnya lamat kemudian kembali menatap sang ibu tanpa sebuah konversasi yang tercipta.

Setelahnya, Jimin menghampiri ibunya dan berbisik kecil. Sekedar ingin meminta izin untuk ke kamarnya tanpa ikut mengobrol lantaran ia beralibi bahwa ia lelah sekali.

Sesekali matanya terarah kepada kedua orang lelaki yang duduk di dekatnya. Begitu ibunya memberikan izin, Jimin kembali menegakkan tubuhnya. Matanya terpejam beberapa saat, kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dengan jemari yang terkepal.

"Aku dukung pilihan ibu, selama ibu bahagia."

Jimin tersenyum tipis, lalu melenggang pergi. Senyumnya memudar saat membelakangi ketiga orang di ruang tamunya. Ia membuka pintu kamar dan berjalan masuk kesana. Langkahnya terhenti di depan kaca besar di depan lemarinya. Penampilannya kacau, mulut berbau rokok, baju lusuh dan rambut yang acak-acakan.

Hampir tertawa Jimin melihat penampilannya sendiri.

Dulu ia tidak seperti ini. Kehidupan sempurnanya berubah secepat ia membalikkan telapak tangan. Semua jatuh begitu saja. Semenjak keluarganya terpecah belah, semuanya kacau. Jimin selalu butuh pelarian atas rasa sakit yang tidak bisa ia tunjukkan pada siapapun.

Lagipula, dusta jika Jimin menyukai keluarga barunya.

Tidak ada yang instan dalam hidup ini, termasuk hidup Jimin. Begitu membuka bungkusnya, dimasak lalu menuai hasil. Tidak semudah itu.

Hati Jimin pun tidak semudah itu untuk menjadi instan menerima semua hal yang terjadi padanya.[]

___________________________________________

VISUALIZATION CHARACTER

VISUALIZATION CHARACTER

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.
Unforgettable ✔Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora