Janji 2 - Doa Orang Teraniaya

59.8K 6.1K 864
                                    

Nirma menghela nafas pelan saat sepasang manik matanya melirik ke luar jendela. Bulir-bulir air mulai berjatuhan membasahi bumi. Kali ini langit jauh lebih gelap dari biasanya. Dan benar saja, hujan yang semula hanya girimis, perlahan menjadi deras.

Ia melirik jam tangan digital merah marun, yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ternyata pukul 16.25. Hari sudah semakin gelap dan sekolah mulai tampak lengang. Hanya segerombolan anak yang mengikuti ekstrakulikuler, terlihat berlarian berteduh di sayap kanan sekolah, dari derasnya hujan.

Seharusnya gadis itu bisa pulang dari tadi, kalau saja Pak Salman tidak memergokinya kentut saat presentasi di jam terakhir.

Bagaimana tidak? Dalam keadaan perut mulas karena sambal, pertanyaan teman-teman saat presentasi yang tak ada habisnya, dan pikiran yang kacau karena menahan kentut agar jangan sampai terlepas keluar, Pak Salman malah menuduhnya akan kabur dari presentasi, saat gadis itu meminta izin pergi ke toilet sebentar. Alhasil, Nirma tak bisa menahan letupan angin neraka yang sudah sangat terdesak ingin keluar. Kelas yang awalnya ramai karena presentasi, semakin gaduh karena aroma menyengat yang menyebar begitu cepat.

Tak kuasa menahan malu, rasanya Nirma ingin pindah ke planet Nibiru saja.

Sayang, penderitaannya belum berhenti di situ. Pak Salman memintanya membantu meng-input data-data siswa, sebagai hukuman karena menyebabkan keributan di kelas.

Itu sih Pak Salman-nya aja yang males input data!

Nirma menggerutu tak karuan di teras sekolah yang tampak sepi. Hari ini terasa sangat panjang baginya. Seperti hujan, rentetan kesialan menghampirinya secara bersamaan, membuatnya merasa teraniaya. Namun, kata orang bukankah doa orang teraniaya akan terkabul? Nirma tersenyum geli mengingat doanya, dia hanya berharap bisa dekat dengan Jendra, walau sepertinya itu tak mungkin terjadi.

Percikan air hujan membuat Nirma tersadar dari pikiran liarnya. Gadis itu kini menyesal karena tadi menolak sang kakak yang berniat menjemputnya. Ia berusaha menghubungi kakaknya lagi, tapi nyatanya nomor sang kakak tidak aktif.

Gadis itu masih mencoba menghubungi kakaknya, tatkala seseorang berdiri tepat di sampingnya, seraya membawa payung umum yang tersedia di teras sekolah. Nirma yang awalnya menoleh sekilas, kini malah memperhatikan objek itu dengan takjub.

Demi boxer merah Mas Giri! Gue nggak lagi mimpi kan, Kak Jendra ada di sebelah gue?

"Ada yang salah sama muka gue?" tanya Jendra yang merasa tak nyaman karena Nirma seolah ingin menelannya hidup-hidup.

Salah, Kak! Salah banget! Kenapa sih Kak Jendra ganteng banget?

"Uhm... uhm... enggak, Kak," tukas Nirma seraya merunduk. Tanpa sengaja sepasang matanya melihat payung yang masih terlipat, yang dibawa laki-laki itu.

Ya Tuhan, seandainya saja Kak Jendra nawarin gue pakai payung bareng, pasti gue bakal minta dia nampar gue, buat nyadarin ini bukan mimpi. Tapi, kayaknya enggak mungkin deh. Kenal gue aja enggak, mana mungkin mau nawarin payung?

Nirma melirik Jendra sekilas yang tampak mengecek jam tangannya. Laki-laki itu mendesah kesal, lalu mengerling ke arah Nirma yang dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Lo kenapa sih ngelihatin gue terus?" tanya Jendra keheranan. "Mau pakai payung ini juga? Tinggal satu sih, mau bareng?"

Mulut Nirma megap-megap seperti ikan kekurangan oksigen, saking kagetnya. Matanya pun hampir keluar dari kelopak saat mendengar ajakan Jendra yang menyeruak di telinganya.

Ya Tuhan, ini serius? Kak Jendra ngajakin gue sepayung berdua? Jangan-jangan ini mimpi yang bersambung tadi.

"Mau enggak?" tanya Jendra tak sabar.

Nirma menggeleng keras. "Tadi Kakak bilang apa?"

Melihat reaksi Nirma, Jendra bertanya dengan hati-hati. "Sorry, lo ada gangguan pendengaran?"

Nirma kembali menggeleng seperti ayam terkena penyakit tetelo. "Kakak ngajak bareng?"

"Mau enggak?" tanya Jendra lagi secara kasual, tanpa bermaksud apapun. Namun, nyatanya ajakan Jendra itu malah membuat Nirma menatapnya horor. Gadis itu tak tahu harus senang atau malah sedih. Ia senang karena bisa berajalan berdampingan dengan Jendra dalam jarak begitu dekat, tapi di sisi lain Nirma sedih karena mau tak mau ia harus menepati ucapannya.

Ya Tuhan, kenapa dikabulin? Masak iya gue minta ditampar gebetan? Please, Ya Tuhan, ampuni hamba-Mu ini.

GLEGAR!!!

Oh, iya... iya baiklah, maafkan hamba-Mu ini yang suka janji seenaknya.

Suara gemuruh petir, membuat Nirma semakin menciut. Gadis itu berpikir bahwa suara petir tadi adalah peringatan baginya agar tidak mengumbar janji dengan entengnya.

"Kak, boleh minta tolong?" Pertanyaan Nirma membuat Jendra menoleh seketika.

Jendra menatap Nirma penuh curiga, tapi akhirnya mengangguk juga. "Asal enggak melanggar hukum."

"Kak... uhm... tolong tampar gue sekarang."

Alih-alih menuruti kemauan gadis itu, Jendra malah menggeleng tak percaya. "Fix! Lo gila!"

Jendra tampak akan membuka payung sekolah yang dipinjamnya, seperti hendak meninggalkan Nirma sendiri di teras sekolah.

"Kak, tunggu." Entah mendapat keberanian dari mana, Nirma malah menahan tangan laki-laki itu. Jendra yang tak nyaman, langsung menarik pergelangan tangannya dari genggaman Nirma.

"Kak, beneran. Tolong tampar gue," pinta Nirma dengan wajah memelas.

Jendra menatap Nirma dengan tatapan penuh curiga. "Kenapa gue harus nurutin permintaan konyol lo?"

"Please, Kak. Gue bakal ketiban sial kalau sampai enggak ngelakuin yang udah gue bilang." Nirma yang awalnya memasang tampang melas, kini benar-benar tampak putus asa. Ia teringat kesialan-kesialan yang menimpanya selama ini, jika mengingkari janji yang telah ia ucapkan.

Jendra menghela napas lelah, menghadapi tingkah tak masuk akal gadis yang bahkan baru bertemu dengannya satu kali. "Gue enggak tahu apa yang ada di otak lo. Tapi, kayaknya itu bukan urusan gue."

Dengan segera, laki-laki itu membuka payung dan melenggang pergi, membuat Nirma terseok-seok mengejarnya.

"Kak, ini serius!" Nirma kembali menangkap pergelangan Jendra. Jendra yang sudah tidak tahan dengan kekonyolan tingkah Nirma, secara reflek mengibaskan tangannya hingga Nirma terhuyung dan jatuh di lapangan sekolah yang becek.

"JENDRA!"

Tanpa dikomando, mereka berdua menoleh ke arah sumber suara yang melengking keras itu.

***

Hayooo... kira-kira siapa yang datang?

By the way, terima kasih ya, sudah membaca Janji. Semoga masih sabar menghadapi Nirma yang absurd bin ngeselin itu hahaha

Keep voting, keep posting comments, and happy reading, Gengs! Ada hadiah paket buku selama satu tahun yang menantimu loh hehehe

Cheers,
matchaholic





JANJI [Completed]Where stories live. Discover now