Janji 24 - Interogasi Alya

33.9K 3.6K 170
                                    

Sekembalinya dari kantin, Alya menyeret Nirma ke salah satu bangku taman yang tak jauh dari kelas mereka. Tentu saja Nirma tahu tujuan Alya kali ini. Kemungkinan sahabatnya itu, mendengar dengan jelas cerita Dion yang suaranya lantang layaknya pengeras suara masjid.

Dengan tangan bersedekap seolah mandor mangawasi pegawainya, Alya berseru, "Penjelasan lengkap lo soal Kak Jendra, tiga menit mulai dari sekarang!"

"Gue murid lesnya Kak Jendra sejak satu setengah bulan yang lalu," ucap Nirma sedikit merasa jengkel dengan sikap Alya yang berlebihan. "Gue enggak cerita sama lo soalnya ... uhm ... yah, lo pasti ngira gue ngarang cerita. Soalnya selama ini kan, lo selalu bilang gue harus sadar diri." Nirma menahan diri, tak mungkin menceritakan perjanjiannya dengan Jendra pada Alya. "Lo tahu sendiri kan, nilai Bahasa Inggris gue gimana? Atas permintaan Mas Giri, Kak Jendra jadi tutor gue. Kak Jendra kayaknya enggak enak mau nolak pelatihnya. Jadi, ya ... gitu."

Mata Alya menyipit, mendengar alasan Nirma. "Kenapa lo enggak ikut les di bimbel aja?"

"Mas Giri punya misi khusus, Al," desis Nirma jengkel karena merasa seperti diinterogasi. "Lo tahu kan, Kak Jendra kayak gimana kalau ngajarin temennya. Aduh, boro-boro ngajarin, ada temennya yang tanya, udah disembur duluan. Kakak gue, pengin yah ... melatih kesabaran Kak Jendra, biar dia enggak gampang emosi waktu pertandingan. Dan, sialnya gue yang diumpanin!"

Bibir Alya mencebik dan tersenyum meremehkan. "Itu mah bukan sial. Tapi, kesenengan elo-nya bisa deket-deket gebetan!"

"Ish, Al, lo enggak tahu perjuangan gue buat ngadepin dia. Dia tuh, beda sama yang kita lihat selama ini. Dia tuh galak banget, mana kalau gue salah jawab soal, ngomongnya nyelekit banget." Alya mengangguk paham dengan penjelasan Nirma. "Tapi, waktu gue udah tahu kelemahannya, dia enggak segalak sebelumnya sih. Lagian, kalau enggak gara-gara sakit hati dimarahin dia terus, nilai gue mungkin masih jeblok aja."

"Jadi, yang waktu itu lo bilang mau membuktikan sesuatu itu sama Kak Jendra?" tanya Alya yang Nirma jawab dengan anggukan. "Emang, kelemahan dia apa? Kenapa lo enggak ngancam dia buat jadi cowok lo pakai kelemahan itu?"

Dengan sadis, Nirma menjambak rambut Alya, membuat gadis itu mengerang kesal. "Sembarangan aja! Gue masuk kategori cewek yang enggak disukai Kak Jendra kali. Dan waktu dia bilang gitu, gue jadi tahu diri dan pengin move on." Alis Alya terangkat tinggi, tanda ia butuh penjelasan lebih lanjut. "Tapi, Al, semakin gue kenal dia, malah semakin bikin gue enggak bisa move on dari dia. Cara dia nyeritain impian-impiannya, cara dia berpikir tentang masa depan, cara dia mikirin keluarganya, itu bikin gue ikut termotivasi buat berubah lebih baik juga. Bukan soal lagi soal Kak Jendra yang ganteng atau Kak Jendra yang atlet taekwondo, yang bikin gue kagum sama dia."

Nirma tersenyum miris lalu melirik sahabatnya. "Payah banget gue ya? Enggak bisa move on dari dia."

"Sebenarnya, move on bukan soal bisa atau enggak bisa, tapi soal mau atau enggak mau. Lo susah move on dari Kak Jendra, karena emang lo enggak niat move on dari dia," kata Alya berpendapat tentang situasi sahabatnya.

Kemudian gadis itu mengenggam tangan sahabatnya dengan erat. "Tapi, enggak tahu kenapa, gue malah kagum sama lo. Rasa suka lo sama seseorang, enggak bikin lo baper sampai lupa daratan. Lo malah bisa manfaatin rasa suka lo itu, sebagai motivasi buat jadi lebih baik." Alya menepuk bahu Nirma dan berucap, "Siapa tahu nantinya lo masuk kategori ceweknya Kak Jendra, ya kan?"

Nirma tersenyum canggung, tak yakin harus bagaimana menanggapi Alya. Saat ini ia hanya ingin menikmati kebersamaannya bersama Jendra tanpa memikirkan apa yang akan terjadi pada hubungan mereka nanti, setelah Jendra berhasil maju ke tingkat provinsi dan Nirma mendapat skor 550 untuk TOEFL PBT-nya.

Menurut Giri, sebelumnya Jendra sudah mengikuti dua kali seleksi, tinggal sekali seleksi lagi sebelum akhirnya Jendra bisa benar-benar ikut berlaga di tingkat provinsi. Nirma sangat berharap Jendra lolos seleksi terakhir karena ia sendiri melihat kegigihan Jendra dan bagaimana cowok itu berusaha melakukan berbagai macam hal agar bisa mencapai mimpinya.

"Gue ke toilet dulu ya." Ucapan Alya menyadarkan Nirma dari lamunannya tentang Jendra. Gadis itu mengangguk dan Alya langsung melesat ke toilet. Sepertinya ia sudah menahan urgensi buang air dari tadi.

Nirma hampir terbahak, jika saja ia tak melihat Agil keluar dari kelas sembari membawa dua kantung plastik besar, lalu menuangkan isi tempat sampah ke dalam kantung tersebut, berdasarkan jenisnya: organik dan anorganik.

Nirma tersenyum tipis melihat kepedulian Agil pada kelas mereka, walau ini bukan jadwal piketnya. Dengan segera Nirma berdiri lalu menghampiri cowok itu dan memunguti beberapa sampah yang luput masuk ke dalam kantung.

"Aduh, kenapa lo ikutan? Entar tangan lo kotor, Nir," gumam Agil seraya mendahului Nirma memunguti sampah-sampah lain yang tercecer.

"Cie ... makin mesra aja nih." Fataya yang baru saja akan masuk ke kelas, tak kuasa menahan keusilannya, melihat dua orang yang sedang digosipkan dekat ini.

Agil hanya melotot, dan memberi kode agar gadis itu segera masuk kelas. Sepeninggalnya Fataya, Agil segera meminta maaf pada Nirma yang pura-pura tak peduli dengan keusilan Fataya. "Nir, sorry ya. Udah, lo cuci tangan aja, biar gue yang buang ke belakang."

"Enggak apa-apa, Gil." Nirma yang merasa sudah mendapat banyak bantuan dari Agil, ingin membalas kebaikan cowok itu. Ia tidak sadar, jika bersikap seperti itu, bisa membuat Agil berharap lebih padanya.

Agil tampak berkali-kali melirik Nirma tak yakin, sebelum akhirnya menukas, "Uhm ... bisa bantuin bawa ini enggak, Nir?"

Nirma mengiakan permintaan wakil ketua kelasnya tersebut. Mereka berdua membawa seplastik besar sampah ke tempat pembuangan yang ada di bagian belakang sekolah. Gadis itu meletakkan plastik berisi sampah organik di sudut pembuangan sebelah kanan, sementara Agil di sisi lain tempat membuang sampah anorganik.

Segera saja ia mencuci tangan dan mengajak Agil kembali ke kelas, karena waktu istirahat akan berakhir dalam waktu dekat. Nirma baru saja akan meninggalkan Agil, tapi cowok itu mencekal pergelangan tangannya.

"Kenapa, Gil?" tanya Nirma tak yakin. Dilihatnya, Agil menghela napas berkali-kali, seolah ingin menguatkan diri.

"Gue pengin ngomong sama lo."

***

Kira-kira, Agil mau ngomong apa ya, Gengs?

Hai~ terima kasih sudah membaca Janji ^^

Yuk, mampir juga di akun pribadi saya @matchaholic

Ada cerita-cerita yang enggak kalah menarik di sana ^^

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now