Janji 7 - Dan Ia Tersenyum

39.8K 4.5K 216
                                    

Nirma mematutkan diri di depan cermin seraya tersenyum semringah. Kali ini ia mengenakan blus pink sesiku dan rok selutut dengan motif bunga sakura. Tak lupa ia menyapukan bedak, blush on dan eye shadow berwarna merah bata dan memulaskan lip gloss dengan warna senada.

Rambut hitam yang biasanya ia ikat ekor kuda, kini tergerai indah dengan tambahan jepit rambut ceri yang tersemat di dekat telinga kanannya.

"Ternyata gue cantik ya?" gumamnya entah pada siapa.

Nirma ingat benar ucapan Alya kemarin. Ia terlalu biasa. Memang menjengkelkan mendengar ucapan sahabatnya itu, tapi ia sendiri sadar itulah faktanya. Berbekal tutorial dari Youtube, tadi malam Nirma berlatih dandanan minimalis. Sayang, perlengkapan make up yang ia punya hanya sebatas pelembab, bedak, dan lip gloss. Untung saja, ada sisa uang belanja mingguan yang bisa ia gunakan untuk membeli blush on dan eye shadow. Memang bukan merek terkenal yang iklannya sering muncul di televisi, tapi sebagai pemula, usahanya untuk menjadi cantik, patut diacungi jempol.

"Kak Nessa bisa kalah nih kalau gue udah pinter dandan." Nirma terkekeh geli pada pantulan di depan cerminnya. "Duh, jadi malu nih bisa ngalahin Kak Nessa."

Sembari menyisir rambut, Nirma melirik jam yang terletak di atas nakas. Pukul 16.20. Terlambat 20 menit dari waktu yang mereka sepakati. Padahal, hari ini bukan jadwal latihan taekwondo Jendra.

"Apa Kak Jendra nyasar ya?" gumamnya tak yakin. "Atau ... Kak Jendra memang enggak niat datang."

Gadis itu ingat Jendra membuang muka tatkala tatapan mereka bersirobok. Jendra juga pura-pura tak melihatnya di koridor perpustakaan, saat mereka berpapasan. Entah kenapa ada bagian dari hatinya yang tercubit ketika mengingat itu semua.

Nirma sadar, ini kesalahannya, dan ia sudah berusaha menjelaskan semua pada Giri. Namun, hasilnya nihil. Giri malah meminta Jendra menjadi tutor adik semata wayangnya itu. Tentu saja hal itu membuat Jendra yang sudah terlanjur sebal padanya, semakin membencinya.

Senyum semringah yang tadi terukir di wajahnya, perlahan pudar. Sisir yang ia pegang, terjatuh begitu saja.

Nirma menertawakan pantulan wajahnya di cermin dengan miris. "Buat apa lo dandan? Dia benci sama lo, Nir."

Makanya, lo perbaiki sikap dong. Bikin Jendra berubah pikiran. Bikin dia tertarik sama lo.

Sisi lain dari dirinya, berusaha menolak pemikiran negatif yang sempat terlintas di otaknya tadi.

Udahlah, lo sadar diri aja. Lo jelek dan dia benci saja lo. Enggak usah ngarep ketinggian. Lo lihat sendiri kan, dia nyolot kalau ada teman yang enggak paham penjelasannya? Mati aja lo!

Sisi hitam dari dirinya, lebih dominan dan membuat Nirma drop seketika. "Gue jelek, gue enggak paham Bahasa Inggris, dan dia benci gue."

Ya ampun, Nir. Berjuang sedikit dong! Dulu lo cuma bisa lihat dia dari jauh, sekarang bisa dekat. Manfaatin keadaan dong! Batu ditetesin air lama-lama bolong juga. Biarin aja Jendra benci sama lo, kalau lo baikin terus, lama-lama dia bakal luluh juga.

Untung saja sisi baik dalam dirinya, tidak rela jika Nirma menyerah begitu saja. Senyum yang tadi sempat hilang dari wajah si Gadis Labil ini kembali terbit, bersamaan dengan bunyi bel yang dari lantai satu.

Berlari secepat cahaya, Nirma menyongsong tamunya. Diintipnya sang tamu dari balik tirai. Memang tidak begitu jelas karena tamu itu memunggunginya, tapi dari postur tubuhnya, Nirma yakin itu adalah sosok Jendra.

"Halo, Kak," sapanya sesaat setelah membuka pintu. Orang itu berbalik, dan tebakan Nirma benar. Jendra masuk dengan wajah tak ada bedanya dengan bantal. Sepertinya, pemuda itu tertidur dan terpaksa bangun karena ingat namanya akan dicoret jika tak datang mengajari Bahasa Inggris, adik pelatihnya.

Meskipun demikian, tampilannya yang tampak kasual dengan kaus raglan biru muda yang dipadukan dengan celana cargo pendek warna khaki, membuat wajah bantalnya sedikit termaafkan.

"Kakak ketiduran?" tanya Nirma yang dijawab Jendra senyuman miring.

Pemuda itu awalnya tak begitu memfokuskan pandangannya pada Nirma karena matanya masih enggan membuka dengan sempurna. Namun, dari jarak lumayan dekat seperti ini, mau tak mau Jendra memperhatikan adik pelatihnya itu.

Jendra awalnya hanya terdiam dan berusaha mengulum senyumannya, tapi lama-kelamaan ia tak bisa menahan lagi. Kekehan geli pelan, lolos dari bibirnya hingga membuat Nirma yang berdiri di hadapannya, memandang pemuda itu penuh keheranan.

"Kenapa, Kak? Ada yang salah?" tanya Nirma sembari mengecek blus dan roknya.

Jendra tersenyum sekilas dan menggeleng tak percaya. "Lo sehat?"

"Hah?"

Pertanyaan singkat Jendra, menyisakan tanda tanya besar di hati Nirma.

Apa gue kelihatan pucat ya? Jadi, Kak Jendra khawatir gitu.

Terbuai dengan pemikirannya sendiri, Nirma tersenyum lebar menjawab pertanyaan Jendra. "Sehat kok, Kak, enggak usah khawatir. Yuk, duduk dulu."

Entah kenapa, kekehan pelan Jendra yang tadi sempat terhenti, kembali muncul, membuat Nirma yang semula berjalan mendahului Jendra dan duduk di kursi tamu, berbalik seketika. "Kenapa sih?"

"Ya ampun, ngantuk gue tiba-tiba lenyap gara-gara lihat lo," gumam Jendra pelan yang ternyata masih bisa ditangkap indra pendengaran Nirma.

Dia bilang apa tadi? Ngantuknya hilang gara-gara ketemu gue? Ya Tuhan, apa sekarang Kak Jendra udah sadar sama pesona gue?

***

Kenapa sih Jendra senyum-senyum sendiri? Kayak oarang gila aja.

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

By the way, untuk Saturdate yang akan datang, mending sama Jendra atau sama Giri ya? Bantu Rista sama Davin dong, biar bisa segera ngundang salah satu dari mereka.

Jendra si Tutor Galak

Giri si Boxer Merah

Cheers,
matchaholic

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now