Janji 10 - Salah Sasaran

39.4K 4.1K 234
                                    

Alis Alya saling bertaut tatkala melihat sahabatnya mengerjakan soal latihan Bahasa Inggris di waktu istirahat. Sebenarnya bukan hari ini saja Nirma bersikap seaneh ini, walaupun pada dasarnya gadis itu memang sedikit aneh. Sejak kemarin Nirma sudah menunujukkan keanehan ini. Namun, Alya membiarkannya karena memang kemarin ada pelajaran Bahasa Inggris.

Lain halnya dengan hari ini, Bahasa Inggris sama sekali tak di jadwal mereka, tapi kenapa Nirma mau repot-repot mengerjakan latihan soal? Padahal biasanya, tugas rumah saja ia sering menyontek Alya.

"Lo kemarin pulang lewat kuburan mana sih?" tanya Alya keheranan.

Dahi Nirma berkerut-kerut mendengar pertanyaan sahabatnya yang begitu random. "Enggak tahu, gue ketiduran di bus. Untung udah sering naik bus itu, jadi dibangunin kernetnya pas sampai halte dekat rumah."

Alya mencebik seketika mendengar kecerobohan Nirma. "Kayaknya bus yang lo naikin ngetem dekat kuburan, terus pasti ada setan yang nempelin lo, sampai lo tiba-tiba jadi rajin kayak gini."

"Enggak ada ceritanya setan ngajak kebaikan." Nirma memutar bola matanya malas. "Gue nyontek PR, lo omelin terus. Giliran gue belajar, lo malah kaget. Dasar manusia!"

"Demi abang lo yang ganteng itu! Ini kayak bukan lo! Ke mana lo yang aneh dan sering malu-maluin itu?"

Nirma terdiam sejenak memikirkan ucapan Alya. "Jadi, gue emang aneh ya, Al? Gue malu-maluin juga ya?"

Alya tergagap melihat perubahan raut wajah Nirma yang tampak mendung. "Eng ... enggak aneh-aneh banget sih, cuma kadang lo suka random gitu. Kayak tiba-tiba berdiri terus teriak 'yes' waktu di kantin, terus ... eng ... lo tiba-tiba maju ke depan dan salaman sama Pak Salman setelah hasil tes dibagiin. Terus –"

"Udah, enggak usah lo bongkar semua aib gue kali. Gue kalau inget juga malu kali."

"Kan lo tanya. Gimana sih?" gerutu Alya sembari mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Namun, hali itu hanya terjadi beberapa saat. Tiba-tiba saja, Alya menjentikkan jarinya, membuat Nirma meliriknya dengan alis menukik tajam. "Gue tahu! Lo lagi jatuh cinta, kan?"

"Enggak lah!"

"Lo tahu enggak? Jawaban yang terlalu cepat itu mencurigakan." Alya menjentikkan jarinya seperti saat Edogawa Conan berhasil memecahkan kasus yang pelik. "Kenapa sih lo enggak ngaku aja? Gue kayaknya bisa nebak gebetan lo deh." Gadis lalu mendekatkan kepalanya ke arah Nirma dan membisikkan sesuatu. "Lo naksir Agil, kan?"

"Hah! Agil?" Pekikan Nirma yang terlampau keras, menarik perhatian teman-teman sekelasnya. Termasuk Agil yang tengah menonton Boruto di ponsel temannya.

"Lo manggil gue, Nir?"

Mau tak mau Nirma memaksakan diri tersenyum, seraya mencubit pinggang Alya. Otaknya bermanuver, mencari alasan yang masuk akal tentang pekikannya tadi. "Eng ... potongan rambut lo yang baru, keren, Gil."

Nirma menggigit bibir bawahnya dengan kesal. Ingin rasanya ia menapuk mulutnya sendiri yang bertindak lebih cepat dari otaknya. Dari puluhan juta alasan, kenapa ia malah memilih alasan itu?

"Lo kok tahu gue habis potong, Nir?" Agil cengengesan mendengar pujian Nirma. "Thanks, ya."

Langsung saja kor 'cie', 'ihir', 'ahay', dan godaan lainnya menyambut mereka berdua. Agil tampak tak peduli dan melanjutkan menonton kartun favoritnya, sementara Nirma menatap Alya dengan tatapan ingin membunuh.

Langsung saja, ia menyeret Alya keluar dari kelas dengan paksa, masih dengan diiringi godaan dari teman-teman sekelasnya.

"Gara-gara lo nih, Al!" sembur Nirma saat mereka sampai di salah satu bangku taman yang jauh dari kelas mereka. "Kenapa sih tiba-tiba lo ngira gue naksir Agil?"

"Bukan salah gue kali! Kan lo sendiri yang teriak." Kentara sekali kalau Alya tak mau disalahkan, Nirma saja yang telalu berlebihan menanggapi bisikan sabahatnya itu. "Gue kan, cuma ngira-ngira. Lo yang biasanya ogah sama Bahasa Inggris, dari kemarin ngerjain soal Bahasa Inggris, mana pas istirahat pula. Biasanya kan, lo ke kantin, lihat Kak Jendra dari jauh." Ucapan Alya membuat Nirma berdecak kesal. "Gue mikirnya, lo mau narik perhatian cowok yang pinter Bahasa Inggris. Di kelas, siapa sih yang paling pinter? Anak English Club pula. Si Agil, kan?"

"Makanya enggak usah sok tahu! Gue kan, jadi malu!"

Giliran Alya mencebik kesal. "Lo juga sering bikin gue malu kali. Lagian, enggak mungkin juga tiba-tiba lo berubah kalau enggak ada stimulusnya. Gue kan, sahabat lo, kenapa sih lo enggak mau cerita sama gue?"

Nirma tampak menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya berucap, "Iya, gue berubah mungkin juga karena seseorang. Tapi, gue sendiri enggak yakin masih naksir dia apa enggak. Yang jelas, gue pengin buktiin ke dia, kalau gue enggak kayak yang dia kira."

"Apaan sih dari tadi lo bilang 'dia-dia' terus? Emang dia Voldemort sampai lo enggak boleh nyebut namanya?"

Nirma meringis mendengar celetukan Alya. "Kepo lo! Rahasia dong."

"Masa Kak Jendra? Kayaknya enggak mungkin. Kenal lo aja enggak, ngapain juga lo buktiin sesuatu ke dia?" Alya tampak memikirkan sesuatu, seperti detektif yang berusaha memecahkan kasusnya. "Tapi, selama ini kan, lo kelihatannya naksir Kak Jendra. Kalau bukan Kak Jendra, siapa dong? Masa Kak Davin? Itu kan jatahnya Kak Rista. Atau jangan-jangan lo malah naksir Kak Dion ya?"

"Kenapa jadi lo yang pusing sih? Seharusnya yang pusing itu gue kali. Mau ditaruh di mana nih muka kalau balik ke kelas nanti?" tanya Nirma seraya membanting punggungnya ke sandaran bangku taman dengan keras. Tampaknya gadis itu kesal saat kembali mengingat situasi yang harus ia hadapi di kelas nanti.

"Sok-sokan malu-malu kucing. Biasanya juga malu-maluin." Alya tersenyum sinis, menyindir kebiasaan Nirma. "Lagian, Agil enggak jelek, jago Bahasa Inggris pula. Lebih masuk akal lah, daripada lo ngarep di-notice Kak Jendra. Sampai nunggu beruang kutub pindah ke gurun Sahara juga, enggak bakalan terjadi."

"Ogah ah! Entar dia ngomongnya apa, gue jawabnya 'yes-no' doang. Kelihatan begonya."

Alya terkekeh geli membayangkan Nirma memasang tampang bodoh ketika Agil berbicara padanya menggunakan Bahasa Inggris. "Udah, ah. Yuk, ke kantin sebentar. Gue belum sarapan nih gara-gara ngira-ngira si Voldemort yang lo maksud itu siapa."

Kini giliran Nirma yang tersenyum masam, mendengar julukan yang Alya berikan untuk Jendra. "Lo bener. Kayaknya dia cocok disebut Voldemort."

Nirma menyusul Alya berdiri dengan perasaan lebih ringan. Sekarang ia semakin yakin dengan keputusan yang ia ambil.

***

Keputusan apa ya, yang diambil Nirma?

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Cheers,
matchaholic

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now