Janji 4 - Gara-gara Suara Merdu

53K 5.3K 377
                                    

"Jadi, pilih apa nih, Kak? Truth or dare?" Dion cengar-cengir di hadapan pelatih yang kini tersenyum masam ke arahnya. Dion yang sedang bahagia, mentraktir Jendra dan pelatih taekwondonya di warung seblak dekat dojang, sepulang latihan.

Laki-laki itu terlampau bahagia karena mendapatkan 78 di ulangan Matematika siang tadi. Memang bagi orang jenius, nilai 78 itu hanya akan mengotori daftar nilai. Namun, bagi Dion yang selama ini tak pernah lolos dari jerat remedi, nilai 78 itu sangat membanggakan, serupa atlet yang baru memenangkan medali emas di Olimpiade.

Sembari menunggu pesanan mereka datang, Dion yang merasa sudah cukup dekat dengan Giri, mengajaknya bermain truth or dare. Jendra dan Giri sama sekali tak keberatan dengan ajakan itu.

Diputaran pertama, Dion lah yang mendapat giliran untuk memilih. Pemuda itu memilih dare saat Giri mengajukan pilihan.

"Oke, banyak yang bilang, kamu orangnnya enggak punya malu. Saya cuma pengin buktiin itu aja sih. Jadi..." Jendra melirik Dion yang kini tampak menahan napas, "saya pengin kamu ngerayu mbak-mbak yang jual seblak itu, biar kita dapat gratisan."

Dion mencebik seketika. "Yah, Kak. Lainnya aja deh. Lagian saya kok yang bayar, enggak usah ngarep gratisan juga."

"Cemen lo, Yon! Masak enggak berani ngerayu cewek. Kalah sama anak SD yang udah berani manggil ayah-bunda macam udah nikah lama." Jendra yang tahu Dion paling malas dibanding-bandingkan, sengaja mengompori sahabatnya itu.

Menghela napas kesal, Dion berdiri dan menenteng segelas es teh yang sudah dipesan sebelumnya. Giri dan Jendra mengulum senyum, menanti apa yang akan pemuda itu lakukan.

"Mbak, ini tehnya kurang manis." Dion mulai melempar umpan lambungnya.

Mbak penjual seblak yang baru menata seblak di atas piring mengeryit dan bertanya, "Masak sih, Mas? Ya udah, sini saya tambah lagi gulanya."

"Enggak usah, Mbak." Dion berusaha menahan tangan mbak penjual itu saat akan meminta gelasnya. "Mbak cukup senyum aja, pasti es teh saya tambah manis."

Wanita muda itu mengernyit tak yakin dengan pendengarannya. "Maksudnya gimana, Mas? Ini ceritanya Mas lagi ngegombalin saya?" Penjual seblak itu menatap Dion penuh cemooh. "Maaf, Mas. Saya enggak doyan brondong."

Dion mencebik, sedangkan Jendra dan Giri terkekeh geli mendengar gombalan Dion yang gagal total.

"Mbak, yang pedas seblaknya aja ya, omongannya enggak usah ikutan pedas." Dion mengeloyor kembali ke tikar tempat mereka lesehan, berusaha mengabaikan tawa bahagia orang-orang yang senang dengan kegagalannya.

"Puas?!"

"Banget!" jawab Giri dan Jendra hampir bersamaan lalu tertawa lebih keras, membuat Dion memasang wajah serupa rendaman cucian kotor.

"Eh, kalian boleh ketawa sekarang. Entar paling juga nyari kresek buat nutupin muka," gerutu Dion sembari memutar botol plastik, yang mereka gunakan untuk menentukan giliran.

Dion tertawa puas dan menoyor Jendra dengan brutal, tatkala botol itu berhenti di hadapan atlet taekwondo kebanggan sekolah. "Mati lo, Jen!"

"Truth or dare?" tanya Dion dengan wajah penuh intimidasi. Jendra yang awalnya tadi tertawa-tawa, kini hanya bisa menelan air liurnya susah payah.

"Truth deh." Dengan berat hati pemuda itu memilih truth, karena menurutnya itu jauh lebih aman, daripada menuruti permintaan pelatih dan sahabatnya, untuk melakukan kegilaan.

"Oke...." Dion sengaja mengulur waktu untuk mendramatisasi keadaan. "Lo kan, paling pintar nutupin hubungan lo sama cewek. Sebenernya, lo sekarang punya cewek enggak sih?"

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now