Janji 15 - Gagal Move On

34K 4K 380
                                    

Nirma baru saja turun dari motor Agil, dan menyerahkan helm yang dipinjamnya pada cowok itu. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih dan berjanji akan mengerjakan tugasnya dengan baik.

"Beneran nih, enggak apa-apa gue langsung pulang? Entar kalau tutor lo marah gimana?"

Nirma menggeleng dan tersenyum. "Ini udah setengah enam sore kali, Gil. Tutor gue jelas udah pulang dari tadi. Paling marah-marahnya di-pending dulu sampai pertemuan berikutnya."

"Oke. Duluan ya."

Nirma memandang punggung Agil yang menjauh seiring dengan deru motornya, hingga akhirnya berbelok di tikungan. Mendesah lelah, gadis itu mendorong pagar tinggi rumahnya, dan ternyata motor Jendra masih terparkir di depan teras.

Menelan air liur susah payah, Nirma merutuki dirinya sendiri yang tidak menyangka Jendra akan menunggu selama ini. Dengan langkah takut-takut, ia mendekati teras rumah yang minim penerangan, karena penghuninya belum ada yang pulang.

Ia mendapati Jendra tengah menuliskan sesuatu, sembari membolak-balik buku Biologi, yang tebalnya serupa bantal di kasur Nirma. Cowok yangmasih mengenakan seragam itu, tampak tak sadar dengan kedatangan muridnya yang lebih dari sekadar terlambat.

"Kak Jendra," sapa Nirma pelan.

Jendra mendongak, wajahnya yang semula serius dengan tugas, kini berubah masam dengan dahi berkerut-kerut dan alis yang menukik tajam. "Ke mana aja lo?" tanya dengan pandangan menusuk.

Nirma buru-buru duduk di hadapan cowok itu dengan memasang wajah memelas. "Kak, please, jangan marah dulu. Sumpah, gue tadi ngerjain tugas Geografi di sekolah."

Ya Tuhan, seenggaknya gue jujur bagian ini. Please, Tuhan. Jangan sampai ketahuan. Itu mukanya Kak Jendra udah kayak banteng mau nyeruduk matador.

"Lo tahu? Gue buru-buru ke sini setelah ngerjain tugas kelompok. Gue sampai belum sempat pulang ganti pakaian. Sampai sini rumah lo sepi, dan lo bikin gue nunggu hampir dua jam! Mana ada ngerjain tugas di sekolah sampai jam segini? Jam lima pagar sekolah udah ditutup!" sembur Jendra tajam. "Kalau mau bohong, yang kreatif dong!"

"Gue ... gue tadi nunggu bus lama. Terus bingung mau ngasih tahu Kak Jendra. Gue kan, enggak punya nomor hape Kakak." Nirma ingin menapuk mulutnya sendiri karena mengucapkan alasan yang tak masuk akal. Bisa-bisa Jendra menganggapnya sebagai modus untuk mendapatkan nomor ponselnya.

Namun, dugaan Nirma salah. Alih-alih mencemooh Nirma dengan modus kacangan yang ia sebutkan tadi, Jendra malah tampak berpikir sesaat, membuat Nirma memutar otak agar Jendra tak jadi memarahinya.

"Iya, Kak. Gue kan, enggak punya nomor Kak Jendra. Mau ngasih tahu di sekolah juga enggak mungkin, kan kata Kak Jendra kita enggak saling kenal di sekolah. Jadi, ya ... ya gitu." Nirma masih mengamati wajah Jendra, takut tiba-tiba raut wajah yang sempat mengendur itu, kembali menegang.

"Ya udah, siniin hape lo." Jendra menengadahkan tangannya, untuk meminta ponsel Nirma. Dengan kecepatan cahaya, gadis itu mencari ponsel di tasnya, dan menyerahkannya pada Jendra.

Cowok itu mengetikkan nomornya, lalu menekan tombol hijau, tapi tak tersambung dengan ponselnya. Padahal Jendra yakin sekali sudah mengetikkan nomor dengan benar. "Kok enggak bisa ya" Sampai akhirnya cowok itu mendekatkan ponsel di telinga dan mendapati suara merdu seorang wanita.

Pulsa Anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan ini. Segera lakukan pengisian ulang.

"Pulsa lo habis!" kata Jendra ketus, membuat Nirma tersenyum malu. "Nomor lo berapa?"

Nirma mengerjap beberapa saat, sampai akhirnya senyuman terkembang lebar di wajahnya. Gadis itu mendiktekan nomornya dengan senang hati.

"Kak, gue pikir Kak Jendra tadi bakal marah-marah terus ngetusin gue kayak biasanya. Ternyata ... yah, marah juga sih. Tapi, kayak ada yang ditahan gitu."

"Oh, lo pengin gue omelin kayak biasanya?" tanya Jendra dengan wajah keki maksimal.

Nirma menggeleng keras. "Bukan gitu, Kak. Menurut gue, Kak Jendra jadi sedikit lebih sabar."

Jendra baru tersadar, ia tak semarah biasanya saat mengahadapi Nirma. Padahal Nirma sudah membuatnya menunggu selama dua jam. Seharusnya ia bisa saja lebih dari sekadar marah pada gadis itu. Jendra kembali berpikir, mungkin karena gadis itu tahu kelemahannya, jadi Jendra berusaha agar Nirma tak melempar kucing bulukan itu padanya, hanya karena kemarahan sesaat.

Atau ada hal lain yang membuatnya mengurungkan niatnya untuk mengomeli Nirma lebih lanjut? Jendra membenarkan dalam hati. Nirma sekarang selalu saja bisa membalas ucapannya ketusnya. Padahal, niat awal Jendra ketus pada Nirma, agar gadis itu sakit hati, sebagai balas dendam karena namanya hampir dicoret dari daftar atlet POPDA. Namun, sekarang Jendra malas berdebat dengan gadis itu, selain karena menghabiskan tenaga, kucing bulukan milik gadis itu selalu dijadikan ancaman agar Jendra tak berani macam-macam.

"Kayaknya yang dibilang Kak Giri ada benarnya. Tiga minggu ngajarin lo, bisa ngelatih kesabaran gue. Kayaknya lo punya bakat jadi pawang macan."

Nirma mencebik seketika. "Bilang terima kasih kek. Susah ya?" Nirma mendengkus dan mengangkat tinggi hidungnya. "Udah yuk, Kak. Masuk dulu."

"Gue pulang aja, udah jam segini. Salah siapa, lo keluyuran dulu enggak langsung pulang?" tanya Jendra sembari membereskan buku-bukunya ke dalam tas.

Bahu Nirma merosot karena Jendra tak mau menunggu lebih lama. "Padahal gue besok ulangan Bahasa Inggris."

"Ya belajar lah," keta Jendra enteng. "Nih, selama gue nunggu lo pulang aja, PR Biologi gue beres. Kalau lo memang niat belajar, belajar aja. Enggak usah kebanyakan alasan. Orang yang banyak alasan itu, kemungkinan enggak pernah belajar dari kegagalan dia sebelumnya."

"Sumpah, Kak. Tiap istirahat gue jarang ke kantin. Gue ngerjain soal-soal Bahasa Inggris di kelas. Tapi, gue tetap aja enggak pede kalau mau ulangan," ucap Nirma dengan wajah penuh keraguan.

Jendra tampak sedikit kasihan pada muridnya ini. "Hasil enggak akan mengkhianati proses kali. Kecuali lo nyontek. Nyontek memang cara tercepat untuk mendapatkan nilai bagus, tapi itu cara terlama untuk memahami materi. Percuma aja nilai lo bagus, tapi enggak paham materinya."

"Hah?" Nirma hanya memasang wajah bodohnya, karena tak paham dengan kalimat Jendra.

Jendra mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha untuk tidak meneriaki gadis itu. "Lo bilang udah ngerjain soal latihan, kan? Ya udah, entar lo kirim aja hasil kerjaan lo lewat Whatsapp." Nirma melongo dengan wajah bodohnya. "Kenapa? Lo enggak punya kuota data juga?"

"Punya kok, punya," jawab Nirma dengan wajah semringah. "Makasih ya, Kak."

Jendra berpamitan lalu meninggalkan Nirma sendirian di teras. Dari jauh Nirma memandang kepergian Jendra. Entah kenapa, hatinya sedikit menghangat dengan ucapan Jendra yang menyemangatinya tadi.

Ya Tuhan. Fix, kayaknya gue gagal move on.

***

Jejen, terima kasih udah bikin Jendra ketakutan sampai takut marahin Nirma juga ^^

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Buat yang lagi Ujian Semester, semangat ya ^^ Kayak kata Jendra, hasil tidak akan mengkhianati proses. Semoga dapat hasil yang memuaskan ya ^^

Cheers,

JANJI [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora