Janji 22 - Motivasi

36.5K 4.1K 232
                                    

Giri berkali-kali melirik adik semata wayangnya yang banyak tersenyum di perjalanan pulang dari dojang. Seperti yang ia duga, nilai Nirma meningkat sejak Jendra menjadi tutor Bahasa Inggris untuknya. Namun, yang tak pernah ia duga, kesabaran Jendra bisa meningkat relatif lebih cepat dari yang ia perkirakan. Melihat interaksi Jendra dan Nirma tadi, Giri berharap mereka bisa menjadi motivasi satu sama lain.

"Kalian sekarang akrab?" Pertanyaan Giri, membuat Nirma menghentikan senyuman bodohnya.

Nirma menoleh ke arah kakaknya, lalu menggeleng keras. "Itu enggak yang kayak Kakak bayangin kok. Cuma yah ... Kak Jendra enggak segalak sebelumnya, karena gue tahu kelemahannya."

"Jadi, Jendra beneran takut Jejen?" Giri terbahak di sela-sela konsentrasinya mengemudi. "Lo pinter manfaatin keadaan, dan gue seneng kalian berdua ada peningkatan."

Nirma mengangguk. "Dia galak sih, tapi emang salah gue yang kadang enggak konsentrasi. Tapi, cara dia ngajarin tuh lama-lama asyik aja, enggak kayak pas awal-awal yang kebanyakan marah-marah." Nirma terdiam sejenak sebelum akhirnya berujar. "Di balik sikapnya yang kadang nyebelin itu, Kak Jendra tuh bikin gue malu, Kak. Malu sama sikap gue yang cenderung pasif dan terlalu santai sama masa depan. Sementara Kak Jendra udah punya macam-macam rencana."

"Gue tahu." Giri mengngguk paham. "Motivasi tiap orang untuk meraih sesuatu emang beda-beda. Kayak Jendra, dia pengin masuk universitas pakai beasiswa atlet berprestasi, supaya bisa enggak nyusahin orang tuanya."

"Kakak tahu soal itu juga?"

Kini giliran Giri yang menatap Nirma heran, tak menyangka Jendra akan menceritakan hal itu pada adiknya, karena mereka tak begitu dekat. "Lo tahu? Jendra cerita sama lo?"

Nirma mengangguk, membuat Giri mengulum senyumnya. "Sekarang lo tahu, kan, motivasi itu penting buat mencapai impian. Semakin kuat motivasi lo, semakin lo giat berusaha mencapai impian itu. Jangan asal ngikut aja. Masih banyak waktu buat lo mikir masa depan, tapi jangan dipikirin doang. Mulai disiapin dari sekarang."

"Mas, lo kebanyakan gaul sama orang tua, jadi ngomong lo enggak sesuai umur." Nirma terkikik geli melihat perubahan raut wajah kakaknya. "Dulu waktu temen-temen lo sibuk ngejar layangan, lo sibuk jualan layangan. Sekarang, temen-temen lo sibuk ngejar cewek, lo sibuk nyari sambilan. Kayaknya, lo bakal jadi perjaka lapuk deh, Mas. Hidup lo terlalu serius."

"Entar kalau gue sukses, cewek yang ngejar gue kali." Giri menjulurkan lidahnya, membuat Nirma memukuli lengan pemuda itu.

Motivasi ya? Uhm ... motivasi gue apa ya?

***

Nirma menata cumi asam manis dan fu yung hai kesukaan Papanya di meja makan, sementara Giri mengambil piring dan peralatan makan yang lain. Biasanya Nirma akan merasa tertekan saat Papa mereka di rumah, tapi setelah mendengar cerita Giri tadi sore, hati Nirma merasa sedikit lebih ringan.

Nirma segera mengetuk kamar Papanya saat persiapan makan malam selesai. Mungkin Papanya sedikit lelah karena baru saja pulang dari pertemuan dengan teman-temannya tadi sore, sehingga saat membuka pintu, muka Papanya tampak kusut.

"Ganggu istirahat Papa ya?" tanya Nirma sedikit takut Papanya akan marah.

Papanya menggeleng lemah. "Papa cuma sedikit pusing. Udah siap makanannya?"

Nirma mengangguk lalu menggandeng lengan Papanya, membuat pria berusia hampir setengah abad itu sedikit tercengang. Sebelumnya, putrinya ini tak pernah bermanja-manja padanya, karena pada dasarnya pria itu tak pandai mengungkapkan kasih sayang pada kedua anaknya.

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now