Janji 11 - Gue Sayang Jejen

37.2K 4.2K 326
                                    

Jendra mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, sebelum akhirnya mencoret beberapa jawaban yang Nirma tulis dengan spidol merah. Nirma yang ada di seberang meja, mengerucutkan bibirnya, tanda tak senang dengan hasil yang akan ia dapatkan.

"Lo tuh ya, masih muda udah pikun," seloroh Jendra seraya memberikan lembar latihan soal gadis itu, dan menunjukkan kesalahannya. "Kan gue udah bilang, kalau ada to be kayak gini, lo lihat pilihan jawabannya kemungkinan besar verb semua. Pilih yang pakai verb-ing atau verb tiga, berarti dua jawaban yang pakai verb satu sama verb satu plus –es, enggak kepakai. Jadi, pilihan jawaban lo tinggal A sama C." Jendra memperhatikan Nirma yang tampak paham dengan penjelasannya sebelum melanjutkan lagi, "Nah, coba baca lagi kalimatnya."

"The new regulation of online advertising is bla bla bla by the government." Nirma membaca kalimat itu dengan terbata-bata.

"Tuh, setelah titik-titik ada 'by', lo bisa nebak isinya, kan? Passive voice tuh, udah gue ajarin juga. Awas aja kalau tinggal milih dari dua jawaban aja masih salah."

Dengan ragu, Nirma memilih jawaban C, yaitu legalized, membuat Jendra menyeringai puas melihat jawaban Nirma.

"Kak, yang passive voice itu susah. Gue kadang bingung bedain yang verb dua sama verb tiga," tukas Nirma sembari mengecek kamusnya, karena selama mengerjakan, Jendra melarangnya menggunakan kamus.

"Itu gunanya latihan," kata Jendra sembari menunjuk Nirma dengan spidol merahnya. "Pasti di kelas lo tidur ya, pas diajarin materi ini."

Nirma melipat tangannya di depan dada dan melotot seketika. "Tidur apaan? Emang belum pernah kok."

Jendra terdiam mendengar ucapan gadis itu yang ada benarnya juga. Materi kelas sepuluh belum sampai passive voice, karena itu materi kelas sebelas. Jendra sendiri paham materi itu karena ikut pernah English Club dan kursus persiapan TOEFL di lembaga yang bekerja sama dengan ektrakulikuler yang ia ikuti tersebut.

"Kak, kok diam? Marah sama gue karena gue masih salah ngerjain?" tanya Nirma dengan bahu yang tampak merosot. "Kan, gue salahnya enggak sebanyak Senin kemarin. Gue udah banyak latihan kok, Kak, tapi kadang enggak paham juga kalau baca materinya sendiri."

Jendra menggaruk kepalanya beberapa kali, tampak seperti memikirkan sesuatu. "Kalau misalnya, kita mulai dulu dari pelajaran sekolah gimana? Kayaknya otak lo masih belum nyampai kalau bahas soal-soal TEOFL."

"Beneran, Kak?" tanya Nirma antusias. "Gitu kek dari kemarin-kemarin. Otak gue ngebul kalau dikasih bacaan kayak gini. Mana kosakatanya susah dan Kak Jendra enggak ngizinin pakai kamus. Gue kan, jadi banyak bengongnya doang, terus silang indah deh."

Tanda sadar, bibir Jendra melengkung ke atas mendengar unek-unek yang gadis itu sampaikan.

Demi boxer merah gambar Sasuke! Dia senyum! Gimana gue enggak susah move on kalau disenyumin gini aja, hati gue udah kebat-kebit enggak karuan.

"Gue enggak ngizinin lo pakai kamus, biar lo terbiasa nebak arti kata dari konteks kalimatnya. Gue juga enggak tahu semua arti dari jutaan bahkan puluhan juta kata dalam Bahasa Inggris kali, tapi gue lanjut aja pas baca, siapa tahu paham artinya kalau udah dibaca keseluruhan. Jadi, lo tuh ... Heh! Lo kebiasaan deh, enggak fokus kalau gue lagi jelasin."

Suara lantang Jendra yang mulai emosi lagi, membuat Nirma tergagap dan terseyum malu.

Dengan mata menyipit, Jendra bertanya, "Kenapa sih lo sering ngelihat gue kayak gitu? Jangan-jangan ... lo naksir gue ya?"

Pertanyaan Jendra, membuat Nirma megap-megap seperti ikan kurang oksigen. "Eng ... enggak! Gue ... enggak mau punya cowok galak."

Jendra berdecak kesal mendengar alasan gadis itu yang sedikit menohoknya. "Bagus deh. Gue benci drama queen, cewek agresif, dan cewek bego. Dan lo masuk dua kategori itu!"

"Gue enggak bego, Kak!" Nirma semakin sering membantah ucapan Jendra, saat ia merasa laki-laki itu sudah keterlaluan. "Gue kasih lihat nilai Akuntansi, Geografi, sama Sejarah paling Kak Jendra melongo."

Jendra menaikkan alisnya tatkala mendengar bualan Nirma. "Melongo saking jeleknya?"

"Ish! Gue buktiin!" Nirma berdiri dari duduknya dan beranjak ke dalam.

"Bawa buku Bahasa Inggris lo sekalian!" seru Jendra sesaat sebelum gadis itu menghilang di balik dinding ruang tamu.

Dalam kamar, Nirma menggerutu seraya mencari hasil ulangannya yang sudah dibagikan. Ia menyeringai sombong saat melihat nilai 88 di pelajaran Akuntansi dan 86 di Geografi. Namun, gadis itu sedikit terkesiap saat melihat nilai Sejarah terakhirnya yang mepet KKM, hanya 78.

Gadis itu kembali mengacak-acak meja belajarnya, mencari kertas ulangan materi Sejarah sebelum-sebelumnya, karena seingatnya, ia pernah mendapat nilai 82 di pelajaran Pak Salman itu. Namun, belum sampai menemukan kertas itu, pekikan keras dari ruang tamu, membuat Nirma terkesiap dan berlari menghampiri tutornya itu.

"Hush! Hush! Singkirin kucing itu! Cepetan!" Jendra tampak berdiri di atas kursi sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke bawah.

Gadis itu melihat kucingnya mengeong di bawah kursi Jendra. Segera saja ia meletakkan kertas ulangan di meja dan menggendong kucing itu dengan gemas. "Sini, Sayang. Unch ... unch ... makanan di belakang habis ya?"

Pandangan Nirma kini beralih pada Jendra yang berdiri di atas kursi dengan wajah sedikit pucat. "Ternyata atlet taekwondo yang badannya gede itu, takut sama makhluk Tuhan paling lucu kayak gini." Jendra yang masih enggan turun dari kursi, mengernyit jijik saat Nirma mencium kucingnya penuh kasih.

"Sejak kapan lo punya kucing? Senin kemarin enggak ada." Jendra yang awalnya berdiri, kini jongkok di atas kursi. "Kandangin bisa kali, biar enggak keluyuran sembarangan."

"Baru kemarin nemu di halte. Lucu ya, Kak?" Nirma sengaja mendekatkan kucing itu ke arah Jendra, membuat tutornya itu berdiri lagi dengan tiba-tiba.

"Enggak! Gue enggak suka kucing! Sana kandangin!"

Nirma terkekeh geli melihat penolakan Jendra yang berlebihan. Kini seringaian licik muncul menghiasi bibirnya. "Gue kandangin dengan satu syarat. Kak Jendra enggak boleh marah-marah lagi sama gue, enggak boleh ngatain gue bego, enggak boleh –"

"Lo udah nyebut tiga syarat, Bego!" sambar Jendra tak sabar.

"Bilang apa tadi?" tanya Nirma pura-pura tuli.

"Iya, iya, sorry. Gue enggak marah-marah sama ngatain lo bego lagi. Sekarang singkirin kucing itu!"

Nirma menyeringai puas dan kembali mencium kucingnya. "Makasih ya, Jen."

"Lo manggil gue apa?" tanya Jendra tak terima Nirma memanggil namanya langsung.

"Ini si Jejen, bikin Kak Jendra enggak ngatain gue bego lagi." Jendra melongo saat mendengar namanya panggilannya di rumah, ternyata digunakan Nirma untuk menamai kucing, binatang yang ia benci. "Gue sayang banget sama Jejen."

Ingin rasanya Jendra segera memasukkan kucing itu dalam kandang dan menguncinya. Sayang, di ruang itu, hanya Nirma yang berani melakukannya.

***

Ternyata Jendra takut kucing -_-

By the way, terima kasih sudah membaca Janji ^^

Tetap dukung Janji dengan cara vote, komentar, dan share cerita ini ya ^^

Ada hadiah paket buku menarik selama setahun loh untuk pembaca yang beruntung ^^

Cheers,
matchaholic

JANJI [Completed]Where stories live. Discover now