M-J :: (6) Dekat

95.5K 7.2K 954
                                    

a.n

first impression ulan gimana? ahaha, dijawab abis baca aja. gue tiba-tiba kepo c:

anyway, sejarahnya Eddenick emang ribet. jadi harus baca teliti. kalo masih ada yang bingung, tinggalin komentar di kolom bawah aja. di next chapter gue jelasin. tapi jangan cuma bilang "gue bingung sama cerita ini" doang, gue gak ngerti lo bingung dimananya

udahlah gue banyak omong, see you

have a good day!

============

M-J :: (6) Dekat

============

M I K A

Sekarang gue tinggal di rumah tersembunyi milik Miles-Jules-Fortles (sekarang gue singkat nama mereka menjadi MJF). Perjalanan ke sini cukup lama. Untung ada Karin-Kiran-Karen (singkatin aja jadi Tiga K) yang membantu kami menunjuk arah jalan.

Gue menatap langit-langit kamar Miles. Ternyata dia artistik juga, ya. Langit-langit kamarnya digambar awan tiga dimensi. Mungkin kalo gue, gue bakal gambar setan terserem yang pernah gue liat biar gue bisa beradaptasi kalo ngeliat yang serem-serem.

Masalahnya kalo ada setan lewat gue langsung jerit macem anak perempuan.

"Mik, lo di dalem?" tanya sebuah suara yang gue kenal banget.

Suara siapa lagi kalo bukan Juliana tercinta.

Bahasa gue geli.

"Di dalem kok, Sayang," jawab gue sambil terduduk. Ana membuka pintu kamar, dia cuman berdiri di ambang pintu.

Baju fairytale dia lucu, macem baju prom night tapi dipake sehari-hari. Dress selutut warna biru cerah, dengan gelembung-gelembung unyu di bahunya. Ana juga memakai kalung berbandul simbol rumit. Tambah manis aja Sayangku ini.

"Mik, lo gak mau baca buku-buku di perpus? Banyak yang kita gak tau soal dunia ini," cetus Ana, gue berhenti melihat penampilannya. Mata gue menatap matanya. "Iya ya? Ah, males. Tapi gak jadi males deh kalo sama kamu."

"Jangan modus mulu, plis," Ana memutar bola matanya. Gue tertawa kecil. "Modusnya 'kan ke kamu aja, Sayang."

"Ih, jangan sayang-sayang!" wajah Ana berubah merah, dia melempari gue pajangan meja Miles.

Astaga, sakit kena lutut.

Tapi mukanya merah, ahahaha.

"Cie, Ana malu ya? Cie Ana, cie. Jadi makin unyu tuh muka," gue nyengir tiga jari. Dengan semangat, gue beranjak dari kasur dan merangkul Ana. "Ayo yuk, Sayang. Kita baca-baca di perpus kayak pasangan unyu lainnya."

Ana berusaha melepaskan diri dari rangkulan gue, "Gak lucu, lo, najong."

"Gak apa-apa, gak lucu. Asal di depan Ana mah aku jadi apapun mau," jawab gue iseng. Ana mencubit bahu gue, persis kayak pacaran dulu. "Gak usah modus. Kita mantan. Bukan pacaran lagi."

Ouch, sakit.

"Iya, emang mantan doang. Bukan siapa-siapa lagi," gue memaksakan senyum tanpa berani merangkul Ana lagi. Natap matanya aja udah sakit. Apalagi ngerangkul.

Ana tampak bersalah, dia ingin mengatakan sesuatu tapi urung. Gue pun gak mood lagi ngomong. Mungkin, ya, gue dan dia emang gak ditakdirin buat bersatu. Gue dan dia cuman salah satu orang yang bakal numpang lewat di kehidupan satu sama lain. Dan nantinya gue dan dia bakal menjalani hidup sendiri-sendiri. Lalu lambat laun, semua terlupa. Gak ada jaket "He's my hero" dan "She's my everything". Gak ada kata-kata penyemangat kala gue jatoh. Gak ada cubitan bahunya yang unyu parah.

TRS (3) - Mika on FireWhere stories live. Discover now