M-J :: (20) Makan

73.1K 6.4K 308
                                    

M-J :: (20) Makan

===============

M I K A

Hari yang panas.

Gue menyeka keringat di dahi begitu keluar kelas. Untung semua guru ada briefing, jadi siswa National High pulang cepat. Jam 12. Langkah buru-buru gue terhenti sewaktu melihat Ana tengah bersandar di salah satu pilar, memakai baju sekolah. Meski kelas 12 libur, memang tak jarang ada yang datang ke sekolah untuk cap tiga jari atau mengecek nilai. Melihat gue, Ana melambaikan tangannya.

"Kok tumben?" tanya gue, Ana melepas headset di salah satu telinganya. "Lagi iseng ke sini. Makan siang, yuk."

"Gue 'kan bareng Om Roro," gue menunjuk mobil Alvaro yang terparkir di sebelah mobil kepsek. Ana mengedikkan bahu. "Kalo gitu jalan. Kenapa sih, harus pake mobil terus?"

"Gue cuman gak mau lo jalan aja, entar capek," jawab gue polos, pipi Ana bersemu. Sontak, tawa gue berderai. "Aku tadi gak lagi gombal loh, Jules."

"Berisik," Ana berdiri tegak, dia menatap lengan gue. "Mana tangannya?"

"Oiya, lupa," gue tercengir sambil berkacak pinggang, Ana langsung menggamit lengan gue. Kami berjalan berdua, persis seperti dulu. Sesampainya di halte busway, Ana tertawa kecil.

"Kenapa?" tanya gue bingung. Ana menggelengkan kepalanya, sisa tawa masih ada. "Gak, cuman setelah putus, pertama kali kita ketemu tuh di busway."

"Kamu waktu itu kaget gak?" tanya gue dengan cengiran bahagia.

"Kagetlah. Tiba-tiba nemu iris cokelat kamu. Padahal udah tiga bulan gak ngeliat," jawab Ana.

Dan iris hitam kamu.

Gue melihat wajah Ana sambil tersenyum. Karena misi Eddenick, kami kembali dekat. Mungkin jika tidak ada misi itu, kami semakin berjauhan. Sampai sekarang gue gak nyangka akan jadi begini.

Kami sampai di rumah makan pinggir jalan. Kata Ana, dia mau mencoba yang baru-baru. Dia memesan bebek bakar cabe hijau, membuat muka gue langsung memerah karena gue gak suka banget-bangetan sama pedas. Ana langsung tertawa iblis, dia bilang pada pelayannya "Mas, cabenya yang paling pedes, ya. Pacar saya suka pedes soalnya". Bahu gue merosot begitu pelayan itu mengangguk semangat dan pergi ke alamnya (maksudnya, dapur).

"Liat gak, Mik?" tanya Ana, berbisik, dia mencengkram tangan gue erat.

Gue melihat arah pandangnya. Sesosok hantu kecil, wajahnya berdarah-darah, benyek sana-sini, dan kepalanya nyaris buntung tengah menatap kami sambil menyeringai. Hantu kecil itu seolah mengatakan sesuatu yang kami tidak mengerti. Mungkin dia hantu dari belahan dunia mana yang nyasar ke Indonesia dan jadi Hantu Rumah Makan.

"Kepalanya, jrot. Buntung gitu," desis Ana. Gue langsung mengusap punggung tangannya. "Gak apa-apa, kok. Kita cuman diliatin doang."

Beberapa orang yang mendengar percakapan kami langsung mengernyit bingung. Dia melihat ke arah pandang kami, dan viola, mereka hanya menemukan tong berisi tumpukan sampah dapur. Padahal kalo mata mereka sama seperti kami, di sebelah tong itu ada hantu.

"Liat deh, lidahnya warna ungu!" jerit Ana, orang yang duduk bersebrangan dengannya langsung berdiri kaget. Gue mengangguk. "Kayaknya pas mati dia kedinginan gitu. Disekap di kulkas kali. Mungkin karena disekap, kepalanya gak muat, terus dipotong sampe muat masuk ke kulkas."

"Ngomongnya juga gak jelas lagi. Kayak kumur-kumur," timpal Ana. Lagi-lagi gue mengangguk. "Mungkin pas mau mati dia gosok gigi dulu terus kumur-kumur pake Listerine."

TRS (3) - Mika on FireWhere stories live. Discover now