1. Bagas

1.1K 82 127
                                    

Seorang cowok berjalan santai sambil memasukkan tangannya ke saku celana sekolah. Mulutnya bergerak, mengunyah lambat permen karet. Pandangannya menyapu ke segala penjuru sekolah yang tampak sepi. Pemandangan yang sangat biasa bagi cowok itu.

Senyuman manis tersungging di bibirnya, membuat lekukan di pipinya terlihat jelas. "Pagi, Pak Waton," sapanya pada seorang pria paruh baya bertubuh tegap, tinggi, besar dan wajahnya yang sangar dilengkapi kumis tebal yang khas di atas bibir. Pria itu berdiri gagah di depan gedung sekolah Budi Mulia. Seperti biasa, Pak Waton tidak pernah absen berdiri di depan gedung sekolah untuk memerhatikan siswa-siswinya.

Pak Waton melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lantas ia memandang Bagas dengan tajam. "Kamu pikir ini sudah jam berapa, Bagas?"

Gerak santai mengunyah permen karet itu masih dilakukan Bagas. Tidak sedikit pun terpengaruh oleh Pak Waton yang kini menatapnya tajam. Bahkan lebih tajam dari pisau yang baru diasah. "Jam lapan, Pak. Memangnya kenapa?" sahutnya terlalu santai. Cukup membuat rahang Pak Waton terkatup rapat, siap untuk mengatakan sumpah serapahnya pada Bagas. Hal itu sontak mengundang tawa Bagas. "Santai, Pak. Saya tadi udah datang pagi-pagi buta. Bahkan saya yang bukain pintu gerbang sekolah. Kalau Bapak nggak percaya, Bapak bisa tanya sama pak satpam yang jaga gerbang."

"Jangan bercanda, Bagas. Kamu pikir sekolah ini milikmu?" tanya Pak Waton berusaha memberi waktu kepada siswanya itu untuk sekadar beralasan ataupun meminta maaf atas keterlambatannya.

"Aduh, Bapak, nggak percaya banget sih sama saya." Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membalikkan tubuhnya, menghadapkan punggungnya di depan Pak Waton. "Tuh, Bapak liat, tas saya nggak ada, 'kan?" Ia menyengir, lalu kembali berkata, "Tadi saya permisi ngambil uang jajan, Pak. Saya bisa jadi busung lapar kalau nggak ada uang jajan. Jadinya saya balik ke rumah buat ngambil uang jajan saya yang ketinggalan. Tapi, biasalah, Pak, Jakarta macet," kata Bagas sambil memegang perutnya yang besar dengan mimik wajah yang minta dikasihani.

Pak Waton mengembuskan napas panjang. "Buang permen karet dalam mulutmu! Setelah itu, kamu boleh kembali ke kelas."

Bagas terkekeh geli seraya kembali mengunyah permen karet yang berada di mulutnya sebelum membuangnya ke sembarang arah. Alhasil, ia berlari dengan cepat ketika Pak Waton memanggil namanya dengan suara yang lantang. Bisa-bisa kena ceramah satu jam dia kalau tidak segera melarikan diri.

Celingak-celinguk, ia berderap pelan. Setelah dirasa aman, ia mengambil tas hitam yang tergeletak di ujung dekat tembok belakang gedung sekolah. Ia memakaikan tas ransel tersebut di punggungnya seraya berjalan di koridor sekolah yang sunyi.

Ia mengatur napasnya sebelum membuka pintu dengan pelan, memastikan agar guru biologi yang sedang mengajar tidak mendengarnya masuk. Pelan-pelan, ia masuk sampai sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Telat lagi, Bagas?"

Bagas menghela napas ketika mendengar suara itu, suara Bu Mona—guru biologi—menggema di kelasnya. Tak ada yang berani berbicara. Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Bahkan, Bagas bisa mendengar suara kipas angin yang berputar di kelasnya saking heningnya. Ia membalikkan tubuh. Kini, matanya dapat menangkap Bu Mona yang sedang menatapnya di depan papan tulis.

"Keluar dari kelas saya sekarang! Saya tidak suka ada salah satu siswa yang tidak disiplin!" kata Bu Mona dengan tegas. Setelah mengatakan itu, Bu Mona kembali menulis di papan tulis. Memberitahu bahwa tak ada satu pun orang yang dapat menyangkal kata-katanya. Perkataannya benar-benar menjadi perintah yang tidak bisa dinegosiasi.

Senyum Bagas tersungging. Masih dengan sikap santainya, ia berjalan menuju tempat duduknya yang berada di barisan paling belakang, tempat duduk kelima.

"Siapa yang nyuruh kamu duduk, Bagas?" Bu Mona berkacak pinggang di samping meja guru, mamandang ke arah Bagas.

"Saya cuma mau ngeletakin tas kok, Bu," katanya sambil menyunggingkan senyuman pada kedua temannya, Genta dan Fareed.

Laki-laki itu kembali berjalan keluar kelas. "Jangan marah-marah aja, Bu Mona, entar cepat tua, suami malah nempel ke cewek lain," celetuknya sebelum menutup pintu kelas dengan cepat, sontak saja membuat semua teman di kelasnya tertawa.

"Diam!" perintah Bu Mona, lantas mengelus dadanya. Wanita itu mengembuskan napas kasar. "Baiklah, kita lanjutkan...."

Bagas terkekeh saat mendengar suara Bu Mona yang luar biasa kerasnya. Bahkan, ketika ia sudah berada di luar, suara Bu Mona masih terdengar di telinganya.

Ide itu terlintas begitu saja saat ia berada di depan kelasnya. Oleh karena itu, ia berjalan menuju seberang kelasnya. Kelas-kelas yang menampakkan kemewahan. Kelas-kelas yang hanya dikhususkan untuk para siswa-siswi yang memiliki otak pintar dengan uang yang banyak.

Ia mengetuk pintu kaca ketika sudah berada di depan kelas yang dia inginkan, meminta izin pada guru yang tengah mengajar di kelas tersebut untuk mempersilakannya masuk. Seketika, suasana sejuk yang berasal dari pendingin ruangan mengenai kulit permukaan tubuhnya saat ia berjalan masuk.

"Permisi, Pak Erwin, saya diminta pak Waton buat manggil murid yang bernama Almaira Yashylin Demario."

"Ada keperluan apa?" tanya guru itu mengerutkan keningnya.

Bagas tersenyum. "Hanya Tuhan dan pak Waton yang tau, Pak. Saya cuma menjalankan perintah."

"Baiklah." Ia menatap seorang cewek dengan rambut hitam legam panjang yang duduk di kursi pertama. "Maira, silakan keluar."

Cewek itu, Maira memasukkan tangannya ke dalam saku almamater berwarna merah marun yang menutupi seragam sekolah berwarna putihnya. Kemudian ia berjalan mengikuti Bagas keluar dari kelasnya setelah menyalami Pak Erwin.

"Di mana Pak Waton? Biar gue sendiri aja yang ke sana." tanyanya saat mereka sudah berada di luar kelas.

Bagas tertawa. "Oh, kalem Maira," katanya sembari membalikkan tubuh menghadap ke arah Maira, berjalan mundur. "Kayak gini lebih baik."

"Gue bilang, biar gue sendiri aja yang ke sana." Sedetik kemudian, Maira menghentikan langkahnya. "Gue nggak mau jalan sama lo. Malu."

Bagas tersenyum, menampakkan lesung pipi di sisi mukanya. "Kamu orang ke-99999 hem... aku lupa saking banyaknya yang bilang."

"Gue nggak punya waktu buat bercanda sama lo, Gendut! Gue masih harus belajar fisika lagi!"

Maira mendengkus kesal ketika dilihatnya Bagas hanya tersenyum memandangi dirinya. Tersenyum dengan tampang yang bodoh dan menjijikkan.

"Bicara sama lo cuma buang waktu gue aja!" Maira berbalik menuju kelasnya. Tanpa perlu untuk sekadar menoleh ke arah Bagas, ia lurus-lurus berjalan ke kelasnya. Pikirnya, mungkin, setelah pelajaran fisika usai, ia akan menemui Pak Waton untuk memberikan penjelasan mengapa pria setengah baya itu memanggilnya.

Bagas yang melihat itu hanya bisa terkekeh geli. Ia merasa lucu. Lucu dengan tingkahnya yang mau-mau saja dipercaya oleh Pak Erwin. Juga merasa lucu dengan sikap yang Maira berikan padanya sejak setahun silam ketika untuk pertama kalinya ia merasa jatuh hati pada gadis itu.

Memikirkan Maira, membuat harapannya melambung tinggi. Membuatnya jadi berandai-andai. Setitik harapan pembawa semangat itu muncul. Dengan tersenyum, ia melambungkan keinginan hatinya.

"Aku berharap suatu saat nanti, kamu bisa nerima aku apa adanya...."

***

[15 Desember 2017] - [20 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGWhere stories live. Discover now