18. Pemberian

193 28 7
                                    

Panik. Maira panik ketika kertas remedial fisika yang telah diselesaikannya kemarin tidak ada dalam tasnya. Ia baru menyadari kertas itu tidak ada saat hendak memberikannya pada Pak Erwin, juga remedial matematika di kantor guru.

Kemarin, ia menyelesaikan perbaikan matematika hingga mengacuhkan begitu saja buku juga kertas yang berada di dalam tasnya. Bahkan saking seriusnya, ia tak sempat untuk memeriksa tasnya itu. Pun ia sama sekali tidak ada kecurigaan atau terlintas dipikirannya mengenai hilangnya kertas remedial tersebut.

"Di mana sih?" gumam Maira terus mencari kertas tersebut di lapangan, tempat terakhir kali ia menyiapkan remedial itu. Tapi, tetap saja, hasilnya nihil, tidak ketemu.

Maira mendudukkan diri di atas tembok sebetis di sisi lapangan. Tangannya menutupi wajah dan menempatkan sikunya di atas dengkul. Rasa lelah itu seketika menguak. Pada otaknya yang terus berpikir. Juga pada betisnya yang mungkin akan segera membesar. Maklum, sebelumnya Maira tidak pernah berjalan sebanyak ini.

Sempat terpikir oleh Maira untuk mengulang, tapi rasanya gadis itu terlalu lelah karena semalaman ia hampir tidak tidur demi mengerjakan perbaikan matematika yang menghabiskan enam lembar kertas polio. Tak tanggung-tanggung karena guru matematikanya menyuruh mencari soal serta pembahasannya dengan tulisan tangan.

Rasa-rasanya Maira ingin menangis saja hari ini. Namun, segera ia urungkan. Bukan saat yang tepat untuk menangis, batinnya berbisik, menguatkan hatinya yang sedang berontak.

Maira merasakan seseorang menempati duduk di sampingnya. Kala itu, ia menghirup udara sebanyak mungkin, lalu setelah berhasil menenangkan diri, perlahan ia melirik ke sisi kanannya.

Senyuman lebar itu tak pernah luput dari bibir cowok itu. Selalu, membuat lesung pipi itu terlihat jelas. "Hai Maira," sapa laki-laki itu mengawali percakapan.

Maira memejamkan mata, bersiap untuk beranjak, barangkali ia harus bertanya pada tukang sapu sekolahnya atau pilihan terakhir, mau tak mau adalah mengulang.

"Tunggu dulu, Maira! Ada sesuatu hal yang harus aku bicarakan sama kamu. Ini penting. Tapi janji dulu setelah ini jangan ngehindarin aku. Ngabaiin boleh, asal jangan ngehindarin." Cowok itu menggenggam tangan Maira, membuat sang empunya duduk kembali.

Ide itu terlintas begitu saja ketika melihat cowok itu. "Apa?" tanya Maira, berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang. Setidaknya sampai cowok itu selesai berbicara. Setelah itu, ia akan menyuruh cowok itu untuk bertanya pada tukang sapu perihal kertas remedialnya. Sementara dirinya akan duduk tenang di dalam kelas, siap-siap untuk pilihan terakhir, mengulang. Ya, ide yang bagus! Pasti cowok itu tidak akan menolaknya, 'kan?

"Janji jangan ngehindarin aku?"

Maira memejamkam matanya, masih berusaha mengendalikan diri agar tetap tenang. "Hm.... Cepetan!" sahutnya tidak ingin mengulur lebih banyak waktu. Bisa gawat kalau-kalau kertas itu memang tidak ada dan ia benar-benar harus mengulang. Bukan sebentar mengerjakan tugas remedial yang diberikan Pak Erwin.

"Sebenernya aku nemuin ini kemarin. Tapi waktu aku mau ngasih ke kamu, kamunya malah pergi gitu aja ke kelas. Bahkan kamu udah tau kalo aku manggil kamu di koridor, tapi kamunya kayak ogah banget ketemu sama aku." Bagas mengulurkan kertas empat lembar yang terlipat apik kepada Maira. "Karna itu, aku putuskan buat ngasi kertas ini sama kamu hari ini, waktu marah kamu nggak sebesar kemarin."

Mata Maira seketika membulat, tidak percaya. Ia melihat lagi ke arah Bagas, lalu kembali memandang kertas yang kini menampakkan tulisannya. Itu benar-benar kertas yang sudah dicarinya sedari tadi! Ia memejamkan mata, lantas mengucapkan syukur dalam hati sambil memeluk erat kertas perbaikan fisikanya, takut-takut kertas itu akan hilang lagi.

Bagi Maira, tak ada yang lebih penting dari ini. Nilai, sekolah, prestasi adalah hal paling utama baginya. Oleh karena itu, Maira segera beranjak dan berlalu untuk ke ruangan guru tanpa berpamitan ataupun mengucapkan terima kasih pada Bagas, sesegera mungkin memberikan tugas remedialnya pada guru bidang study. Saking senangnya dirinya, sampai-sampai ia melupakan kalau seharusnya ia mengucapkan terima kasih terlebih dahulu pada Bagas, cowok yang menolongnya.

***

Di balik pohon samping sekolah, Gita memerhatikan semuanya dalam diam. Tak bisa mengalihan sedikit pun perhatiannya dari cowok yang kini sudah duduk tepat di samping seorang cewek.

Sejak cowok itu menginjakkan kaki di kafe milik ayahnya, ia jadi sering memerhatikan dalam diam. Kata-katanya, kekonyolannya, tingkah lakunya, caranya memetik senar gitar, suara merdunya, semua amat disukai Gita. Ya, cowok itu adalah Bagas. Seakan tak ada celah, cowok itu melakukan segala sesuatu dengan sangat alami, tanpa dibuat-buat.

Gita kembali mengumbar senyum melihat Bagas memberikan secarik kertas pada cewek itu. Cewek yang sama dengan kemarin dilihatnya sewaktu di kantin. Ya, Gita melihat semuanya. Semua yang dilakukan Bagas pada cewek di sampingnya itu.

Gita segera beralih mengambil earphone berwarna hitam di kantong rok sekolah ketika ia teringat kejadian kemarin. Saat ia tak sengaja menemukan earphone hitam itu di lantai. Tentu saja ia tahu siapa pemilik earphone tersebut.

Langkah kecil diiringi dengan senyuman membawanya menuju Bagas. Tangannya mendadak dingin seiring jantungnya yang berdetak tidak karuan. Ia terdiam sejenak, berusaha mengurangi kegugupannya. Kemudiam mendudukan dirinya di samping kiri Bagas setelah rasa gugup itu dapat teratasi.

"Eh? Kamu anaknya pak Agus pemilik kafe hape 'kan?" tanya Bagas setelah memandang punggung cewek yang merupakan kakak kelasnya itu, lalu beralih ke arahnya.

Gita tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala saat mendengar suara Bagas.

"Kamu sekolah di sini juga? Kok aku baru tau sih?" tanya Bagas sambil mengerutkan dahi.

"Kak Bagas terlalu fokus sama apa yang ada di depan, sampai-sampai nggak tau apa yang ada di belakang dan di sekitar Kakak." Gita berbicara dengan cepat sambil menunjukkan gigi gingsulnya.

Bagas terkekeh melihat nada bicara Gita. Gadis berponi dengan rambut sebahu itu kemudian mengangsurkan sebuah earphone yang sudah dicarinya sedari kemarin, tapi tidak ketemu.

"Gita nemuin itu kemarin di lantai waktu bantu beres-beres di kafe. Gita tau, itu punya Kak Bagas 'kan?"

Bagas mengangguk. "Bener. Ya ampun, earphone ini aku cariin dari kemarin." Lalu memberikan senyuman pada Gita. "Makasih ya, Git. Aku pasti harus ngumpulin duit dulu buat beli yang baru kalo earphone ini ilang."

Gita menganggukkan kepalanya cepat, membuat poninya bergerak tak beraturan. Bagas tergelak dan tangannya terulur begitu saja mengacak rambut Gita. Tanpa ia sadari, perlakuannya membuat hati Gita berdesir.

Seketika bel pertanda jam istirahat telah usai berbunyi, membuat Gita dan Bagas mengumbar senyum lebar, lantas melangkah kaki menuju kelas masing-masing.

***

[02 Januari 2018] - [01 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora