25. Perubahan

248 29 14
                                    

Maira memaksakan senyumnya ketika makan malam bersama keluarganya. Hari ini, sungguh, Maira tidak berselera untuk melakukan apa pun, bahkan hanya sejenak untuk mengisi perut.

"Kamu kenapa, Sayang? Nggak suka masakannya? Atau kamu ingin makan di luar?" tanya wanita paruh baya di depannya dengan tersenyum.

"Enggak, Ma, aku suka kok." Maira kembali melahap makannya dengan pelan. Setelah beberapa menit, ia meletakkan sendok di atas piring yang masih menyisakan setengah makanannya, lalu meminum jus jeruk dalam gelas. "Aku udah selesai, Ma, Pa, aku balik ke kamar, ya. Mau ngelanjutin belajar." Gadis itu memutar tubuh menuju kamarnya.

Memang, keluarganya sudah kembali seperti sedia kala. Seperti dahulu. Kesulitan dan kesukaran itu sudah berakhir semenjak pertengahan bulan Januari silam. Ayahnya berhasil mendapatkan kembali perusahaan yang sempat gulung tikar karena ulah seorang pengkhianat. Mobil kesayangannya pun kini sudah terparkir cantik di garasi rumah. Sungguh, Maira sangat senang menyadari kenyataan itu. Namun, ia merasa ada satu yang kurang. Seolah merasakan kehilangan yang lebih berarti dari sekadar harta dan seluruh kekayaan milik keluarganya.

Maira termangu setelah sampai di meja belajarnya dan duduk di sana. Ia merasa de javu, lantas membuka jendela kamarnya dan menunduk. Namun, saat ini tak lagi sama. Kejadian itu berbeda.

Ia menghela napas seraya mengumpat tertahan, "Sial!" Kembali, ia menutup jendela dengan kasar.

Gadis itu meletakkan pipinya di atas meja. Pikirannya berkelana menjelajah peristiwa yang telah lalu.

"Jadi, kamu tenang aja. Aku bakalan bantuin kamu supaya bisa masuk kelas."

"Aku sayang sama kamu. Jadi, apa pun masalah yang sedang kamu hadapi, aku siap ngebantu kamu."

"Murni kok karna aku sayang sama kamu. Lagian 'kan aku udah pernah bilang kalo kamu lagi ada masalah, aku bakal bantuin kamu."

"Ya udah, aku cuma mau bilang itu. Kalo bisa sih, kamu dateng. Karna kehadiran kamu bisa berdampak luar biasa bagi aku."

"Karna itu, aku putuskan buat ngasi kertas ini sama kamu hari ini, waktu marah kamu nggak sebesar kemarin."

"Pangeran siap mengantar tuan putri agar sampai di singgasananya."

Kebaikan-kebaikan yang dilakukan cowok itu seketika terputar di kepalanya. Bagaimana cowok itu memperlakukannya dengan istimewa, tak pernah lelah dan selalu ada untuknya saat dalam kesulitan sekalipun. Selalu menghiburnya dengan guyonan yang terkadang membuatnya kesal. Bercanda saat yang tidak tepat. Mendekatinya tanpa malu-malu. Tidak pernah jemu. Padahal, jelas-jelas Maira sudah berkali-kali menolaknya dengan gamblang.

Sebelumnya, tidak ada yang pernah menyukai Maira seperti itu. Semuanya pasti menghilang setelah menemukan kejenuhan dan orang baru. Untuk apa bersusah-susah mengambil hati seorang gadis, sementara gadis itu tidak membuka dan membiarkannya masuk? Lebih baik mencari sesosok baru yang akan memudahkannya. Tentu saja, mereka berpikir bahwa di dunia ini, bukan hanya dia satu-satunya perempuan, masih ada yang lain, yang barangkali lebih menginginkan mereka. Dan Bagas berbeda. Berbeda dari cowok yang hanya bisa tebar pesona, lalu meninggalkan.

"Jangan terlalu benci, entar lo cinta banget sama dia."

"Jangan dipendam terus, Ra. Adakalanya lo harus jujur dan nyingkirin sikap ego lo sebelum dia berubah. Karna sejatinya manusia dapat berubah, bahkan dalam waktu yang sedetik aja."

Seberapa usaha pun bentuk penyangkalan Maira terhadap perkataan Talia, tidak akan mengubah apa pun. Malah gadis itu membuktikan dan meyakini bahwa hal tersebut adalah kebenaran yang nyata.

***

Ketika keesokan harinya, Maira sebisa mungkin bersikap seperti biasanya, walaupun perbedaan dan rasa penasaran itu masih setia mengiringi setiap langkahnya. Masih kerap menghantui perasaannya.

Di sudut kantin, ketika isirahat tiba, mereka kembali mengumbar kebahagiaan, seolah mengejek Maira. Mengacuhkan seluruh manusia di kantin, serasa dunia adalah milik mereka berdua.

Maira menghela napas. Bener. Semua ucapan Talia bener adanya. Cowok itu berubah dalam waktu yang singkat dan sialnya gue udah suka sama dia, batinnya berbisik melihat pemandangan di sudut kantin.

Seolah tak cukup sehari, mereka melakukannya sampai berhari-hari, setiap ada waktu senggang. Bagas tertawa, cewek itu tertawa. Cewek itu mengerucutkan bibir lucu, Bagas tersenyum lembut sambil memberikan guyonan yang membuat cewek itu tersenyum.

Akhir-akhir ini, Maira menjadi sering memerhatikan Bagas. Meskipun cowok itu tidak menyadari akan hal itu. Atau barangkali, dia sadar, namun berpura-pura tidak menyadarinya.

Maira sering mengeluh pada perasaannya yang bisa-bisanya jatuh cinta pada cowok seperti Bagas. Bisa-bisanya lengah. Bisa-bisanya baru menyadari saat ia sudah merasakan perubahan dari cowok itu. Saat ia merasa ditinggalkan.

"Lo baik-baik aja 'kan, Ra?" tanya Cindy saat melihat Maira terdiam sambil mengaduk-aduk jus jeruk di hadapannya.

"Ya. Kenapa?"

"Pandangan lo kurang fokus. Kayaknya lo butuh aqua." Cindy terkikik. "Lo kenapa sih? Abis dimarahin guru? Atau nilai lo ada yang rendah?"

"Enggak," balasnya dengan mengupayakan senyuman di bibirnya.

"Terus kenapa? Soalnya lo nggak biasanya gini, Maira. Kecuali soal pelajaran. Jadi, yah bisa aja 'kan yang gue bilang itu bener?"

Billy terkekeh. "Harusnya lo tanya sama si Lia."

Talia mengulum senyum. Tatapannya beralih pada Maira, lalu ke arah Bagas di sudut kantin. Dari pandangannya, seolah bisa memberitahu Billy tentang Maira. Cindy yang tidak mengerti arti pandangan itu, mengerucutkan bibir dan bertanya dengan nada yang keras, "Apa sih maksudnya? Gue nggak ngerti pake kode-kodean!"

"Dasar bego! Maira udah suka sama tuh cowok. Dan sekarang, dia kayaknya lagi cemburu," kata Billy menerjemahkan maksud dari tatapan Talia.

"Kalo cemburu, udah suka, yah tinggal bilang aja langsung. Ngapain dipendem terus?"

"Maira sama lo beda, Cindy!" sahut Billy lagi.

Cindy terkekeh. "Kalo udah nggak tahan, bilang aja deh, Ra. Gue saranin banget."

"Iya. Kayak lo yang nggak malu bilang sama Reza, terus akhirnya diselingkuhin sama dia saking begonya!"

"Billy, jangan buka kartu dong! 'Kan gue jadi sedih."

Maira terkekeh pelan saat kedua temannya itu sekarang terlibat adu mulut, saling ejek-mengejek. Harus diakuinya bahwa kelakuan dan tingkah mereka cukup ampuh membuatnya tersenyum, walau hanya sedikit.

Kemudian, bel berbunyi, mengintrupsikan kepada siswa-siswi Budi Mulia agar segera bergegas ke kelas masing-masing untuk memulai pembelajaran lagi. Saat yang bersamaan, tepat ketika Maira berjalan meninggalkan kantin, Bagas juga cewek itu lewat dari sampingnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tanpa beban, mereka berjalan sambil berangkulan, saling melemparkan senyuman, juga tawa bahagia, menunjukkan kemesraan mereka berdua pada semua orang. Boro-boro menyapa, menoleh pun tidak. Bagai orang asing. Bagai dunia hanya milik mereka berdua.

Maira segera membuang pandangan, tidak lagi menatap dua sejoli yang kini berjalan di depannya. "Dasar nyebelin!" umpatnya dengan nada pelan. Dengan mengepalkan tangannya, ia berjalan cepat, bahkan lebih cepat daripada dua pasangan yang mungkin sedang dimabuk asmara itu. Kemudian, dengan sengaja Maira menyenggol bahu cewek yang lebih pendek darinya itu, mengungkapkan kekesalan yang sudah ditahannya sedari tadi melalui senggolan di bahu cewek itu.

***

[11 Januari 2018] - [07 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGWhere stories live. Discover now