12. Pengacau

227 32 20
                                    

Maira memijat dahinya. Sudah lebih dari satu jam gadis itu menekuri buku catatan bahasa Indonesianya, namun tak ada satu pun yang dapat ia pahami. Pikirannya bercabang, berkelana, tak dapat dicegah. Sampai-sampai ia merasakan pusing mendera kepalanya.

Ia mengembuskan napas kasar sambil menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Entah mengapa, malam ini Maira tidak bisa fokus. Padahal, esok hari ia akan memulai ujian. Sekadar mengingat pun saat ini sukar dilakukannya.

Ia mengerutkan keningnya, bingung. Pasalnya, baru kali ini ia mengalami hal seperti itu.

Tiba-tiba tenggorokannya serat dan ia membutuhkan pasokan air sekarang juga. Belajar membuatnya melupakan sejenak fakta bahwa ia belum minum sejak ia memutuskan untuk memahami kembali materi yang sudah dipelajarinya.

Maira beranjak dan cepat-cepat turun ke dapur. Seperti biasa, akhir-akhir ini, Maira mulai membiasakan diri untuk melakukan segala sesuatu sendirian. Tanpa pembantu yang biasanya selalu ada kala ia meneriaki namanya. Berhubung perusahaan papanya sedang bermasalah, pembantu di rumahnya memutuskan untuk berhenti kerja. Setidaknya, Maira sudah cukup hanya dengan tetap tinggal di rumah megahnya.

Selepas minum, Maira kembali ke kamar. Ia menghempaskan tubuhnya ke kasur. Tangannya bergerak ke atas dahi dan memijatnya dengan ibu jari dan telunjuk.

"Sial!" desisnya memukul kasur dengan kepalan tangannya. Lagi-lagi wajah cowok itu, juga senyuman yang khas menari-nari dipikirannya. Apalagi saat kemarin, saat di mana mereka sampai di bank, saat di mana Maira mengeluarkan segala sumpah serapah yang berakhir dengan menyetujui cowok itu. Sebab, setelah dipikir-pikir, tak ada cara lain. Sekolah, termasuk ujian adalah hal paling penting bagi Maira. Kemudian ia juga berjanji pada Bagas dan dirinya sendiri, suatu hari nanti ia akan membayarkan utangnya pada Bagas. Ya, Maira menganggap itu sebagai utang. Bahkan Maira menjanjikan akan membayar lebih pada Bagas. Sungguh, ia tak mau dibebani oleh rasa utang budi, terlebih pada cowok semenyebalkan macam Bagas. Sama sekali tak ingin.

Maira memejamkan matanya seraya membuang napas kasar dari mulut. Gadis itu bangkit dari tidurnya ke arah meja belajarnya. Menutup buku catatan bahasa Indonesia, lalu membuka buku biologi. Kembali menekuri bukunya. Kendati pikirannya lagi-lagi berkelana menelusuri kejadian-kejadian yang telah dialaminya. Bercabang dari satu peristiwa, mengait ke peristiwa lainnya.

Ketika ia sedang menekuri bukunya, seseorang melemparkan sesuatu tepat di jendela kamarnya, menciptakan suara yang membuatnya terkesiap. Ia membungkukkan badan sambil menutup telinganya. Kaki kirinya pelan-pelan bergerak dan seketika ia berdiri. Memandang takut-takut ke arah jendela yang berada di sebelah kanan meja belajar. Mendadak, ia cemas. Takut kalau di luar sana ada maling. Mana ia berada di rumah sendirian. Seketika bulu kuduknya meremang memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Sekali lagi. Bunyi kaca jendela yang dilemparkan dengan sesuatu yang berbentuk kecil menghampiri indra pendengarannya. Dengan hati-hati dan bergetar, ia membuka tirai dan kaca jendela. Seketika kerikil kecil mengenai dahinya.

Napasnya tertahan, menahan amarah. Tangannya bergerak menyentuh dahinya yang nyeri akibat kerikil itu.

"Maira...," panggil seseorang di bawah sana sambil melambaikan tangannya.

"Apaan sih lo, malem-malem dateng kemari! Mana pake ngelempar gue kerikil lagi. Lo kira itu nggak sakit," ujar Maira dengan cepat dan terburu-buru setelah mengetahui siapa dalang dari kericuhan di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan Bagas. Pengacau sekaligus pengganggu dalam hidup Maira.

"Maira turun deh. Ada sesuatu yang harus aku omongin sama kamu." Bagas berkata sembari meletakkan kedua tangannya di di samping kanan kiri mulutnya. Berusaha meredam suara agar tidak diketahui oleh para tetangga.

Maira berdecak. "Apa? Lo mau minta uangnya sekarang?"

"Bukan," sergah Bagas cepat. "Lebih baik kamu turun deh. Nggak enak kalo kita ngobrolnya kayak gini," ucapnya membuat Maira memalingkan muka sambil mendengkus. "Bentar aja. Aku janji nggak bakal lama-lama."

Maira menutup kaca jendela. Seketika bunyi itu lagi-lagi terdengar. Maira mendengkus, menahan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun. Cowok itu selalu saja bisa membuatnya marah dengan mudah dan dalam waktu yang cepat.

Langkah kaki membawanya menuruni undakan tangga, lalu ruang tamu, dan teras rumah. Tanpa membuka gerbang yang menjulang tinggi berwarna hitam itu, gadis itu melipat kedua tangannya di atas dada. "Cepet kalo mau ngomong! Waktu gue nggak banyak buat ngeladeni orang kayak lo." Maira berkata tanpa perlu repot-repot melirik ke arah Bagas.

Bagas tidak bisa menyembunyikan senyumannya saat mendengar suara Maira. Cowok itu lantas menggerakkan motornya ke arah depan rumah Maira.

"Gerbangnya nggak dibuka?" tanya Bagas setelah turun dari motor dan menyentuh gerbang yang berada di hadapannya.

"Nggak. Males. Susah." Perkataan itu hanya alibi saja. Sebenarnya, kalau Maira mau, ia bisa membukanya dengan mudah. Hanya saja, jika yang berkunjung bukan Bagas, Maira akan melakukannya dengan senang hati.

Perkataan Maira membuat Bagas tidak bisa tidak tergelak. "Ya udah deh nggak pa-pa. Lagian, aku juga pengen ngomong bentar aja kok." Ia tersenyum, sudah sangat senang hanya karena Maira sudah mau turun dan berbicara dengannya. Baginya itu adalah sesuatu yang patut untuk disyukuri. Suatu peningkatan.

Maira melepaskan tangan, mundur dua langkah, lalu menaikkan alis saat memandang Bagas. Cowok itu memakai celana jeans selutut dan kaus hitam bercorak tulisan berwarna putih.

"Jadi gini, besok aku sama Genta dan Fareed manggung di kafe hape dekat simpang jalan, entar aku kirimin deh lokasinya dari Line biar jelas," katanya menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke rumah Maira. "Aku pengen kamu ngeliat penampilan perdana kita."

Maira mengerutkan kening. Sambil menunjuk dirinya, ia berujar, "Gue? Mau nonton lo?" Maira tertawa sambil menggelengkan kepala. "Jadi lo repot-repot kemari cuma buat bilang ini? Helo, Gendut, gue pikir ada sesuatu yang entah berhubungan sama uang yang lo pinjemin kemarin, taunya, cuma bilang ini." Maira mengibaskan tangannya, menolak mentah-mentah ajakan Bagas. "Sorry, gue sama sekali nggak tertarik."

Bagas menggosok kedua tangannya sambil tetap mengulas senyum. "Ya udah, aku cuma mau bilang itu. Kalo bisa sih, kamu dateng. Karna kehadiran kamu bisa berdampak luar biasa bagi aku."

"Lebay!" tukas cewek itu diiringi dengan dengkusan. Dengan memutar bola mata, ia berbalik, hendak meninggalkan Bagas. Sudah cukup waktunya terbuang sia-sia karena cowok itu.

"Kayak yang aku bilang kemarin, omongan itu berlaku sampai kapan pun," kata Bagas. "Aku ikhlas. Demi kamu. Dan si buah hati." Bagas terkekeh saat mendengar perkataannya sendiri. Ia menaiki motornya sembari berkata, "Selamat malam Maira. Semoga kamu bisa berubah pikiran buat ngeliat aku manggung besok."

Tepat di depan pintu, Maira memalingkan wajah. Memandang Bagas yang berlalu dari rumahnya. Ia memutar bola matanya. Sesuatu yang tidak penting. Selalu saja. Tak pernah berubah. Dan Maira sangat membencinya. Sampai kapan pun. Maira akan tetap membencinya. Semoga.

***

[26 Desember 2017] - [28 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz