5. Maira Telat?

341 33 23
                                    

Semuanya menjadi masalah. Dari satu kejadian yang tampak sepele, berantai, mengaitkan simpul yang tak sengaja terputus, hingga mengakibatkan puncaknya masalah. Semua disambungkan. Sampai-sampai pusing kepala memikirkan berlarut-larut tanpa ujung pangkal penyelesaian masalah. Menangis. Berbicara. Kembali menangis. berbicara lagi. Berhari-hari. Tak pernah puas. Seolah kesulitan itu mengikatnya kuat-kuat, hingga tak membiarkannya pergi begitu saja.

Maira mengusap air mata yang mengalir di pipinya sembari mengembuskan napas panjang kala perempuan itu mengingat kejadian-kejadian yang telah berlalu. Puncaknya pada kejadian kemarin malam. Peristiwa yang membuatnya tidur larut malam. Ia memberikan selembar uang sepuluh ribu pada pria setengah baya yang merupakan sopir dari aplikasi penyedia transportasi.

Cewek itu merapikan seragam sekolah serta rambut hitam panjangnya yang lurus. Ia menggigit bibir bawahnya ketika melangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah yang memang terbuka saat berlangsungnya aktivitas sekolah sampai berakhirnya proses pembelajaran.

Ketika berada di samping parkiran untuk kendaraan beroda dua, Maira menghentikan derap kakinya. Mata cokelatnya memandang lurus ke arah gedung sekolah yang kini sudah sepi. Angin yang berdesau membelai wajah dan menerbangkan rambutnya. Ia bergeming selama lima menit seraya memandang halaman sekolahnya, mulai didera keraguan.

Sebenarnya bisa saja ia masuk dengan tenang tanpa harus berpikir panjang. Sebenarnya hanya rentetan ceramah atau peringatan agar tidak kembali mengulang kesalahan yang sama jika ia masuk ke gedung sekolahnya. Namun, hal itu berbeda ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh menit. Saat sudah begitu, semua siswa akan mendapat hukuman dan diberi skor hukuman. Sungguh, Maira tidak ingin mendapatkan skor hukuman.

"Maira," panggil seseorang menepuk pundaknya. Sontak, ia menolehkan tatapan ke arah sumber suara. Bagas.

Sesaat, senyum Bagas lenyap digantikan raut wajah cemas ketika Maira menatapnya. "Kamu kenapa?" Bagas menelengkan kepala menatap mata cokelat Maira. "Kamu abis nangis?"

Cowok itu menghela napas ketika Maira malah berjalan menuju gerbang sekolah. Ia berbalik, menyusul Maira. "Aku tau hari ini pertama kalinya kamu telat. Tapi tenang aja, nggak ada yang harus dipermasalahkan. Pak Waton nggak gigit orang yang telat kok."

Tidak membalas perkataan Bagas, Maira lurus-lurus berjalan menuju gerbang sekolah, bersiap untuk pulang ke rumah. Mungkin akan lebih baik kalau hari ini ia tidak mengikuti proses pembelajaran.

"Maira," panggil Bagas menggenggam lengan gadis itu.

"Apaan sih lo!" Maira berbalik sambil melepaskan tangannya dari genggaman Bagas.

"Kamu mau balik pulang? Yakin bakal dikasih pulang tanpa surat izin sama satpam?" Bagas tersenyum dan kembali melanjutkan kata-katanya, "Jadi, kamu tenang aja. Aku bakal bantuin kamu supaya bisa masuk kelas tanpa sepengetahuan pak Waton."

"Kayak lo bisa aja!" ucap Maira dengan sinis.

"Ada kita juga kok." Seseorang berkata dari belakang Maira sembari melemparkan kunci motor kepada Bagas.

"Fareed... Genta...," gumam Maira ketika mendapati Fareed yang melempar kunci dan Genta yang merangkul cowok itu.

Bagas, Maira, Genta, serta Fareed segera bergegas mengambil posisi setelah Maira menganggukkan kepala, pertanda setuju dengan bantuan Bagas dan kawan-kawan. Bagas dan Maira berjalan memutari belakang gedung sekolah. Sementara Genta dan Fareed, bertugas mengecoh Pak Waton.

Ketika Bagas memberi kode, Genta dan Fareed berjalan santai memasuki gedung sekolah. Seperti biasa, suara tegas Pak Waton membahana seantero sekolah saat pria paruh baya itu mengatakan sesuatu pada Fareed dan Genta.

Kedua cowok itu mengikuti Pak Waton ke dalam sekolah sesaat setelah Pak Waton menyerukan perintah, memberi Bagas dan Maira akses untuk berjalan menuju kelas gadis itu.

Saat di tengah perjalanan, Pak Waton bertanya mengenai Bagas kepada Genta dan Fareed. Namun, Genta hanya berkata bahwa sebentar lagi Bagas akan datang dengan disertai raut yang seperti berduga kalau Bagas masih terjebak dalam kemacetan, juga diikuti oleh Fareed yang memberikan alasan serta spekulasinya terhadap Bagas. Hal itu membuat Genta dan Fareed bertengkar karena perkiraan mereka yang disengaja tidak sama.

"Diam dan jangan banyak bicara!" tegas Pak Waton akhirnya membungkam mereka.

Sementara Bagas, ia mengantar Maira sampai di kelasnya. Ia mengetuk pintu, mengucap salam, dan masuk ke kelas dengan senyuman lebarnya yang khas. "Maaf, Pak, saya cuma mau bilang kalo Maira telat karna nunggu jemputan saya. Kalo Bapak mau menghukum Maira karna dia telat, sayalah orang yang pantas buat Bapak hukum," kata Bagas setelah menyalami guru yang sedang mengajar di kelas Maira.

"Ya sudah. Silakan duduk Maira. Saya bukan tipikal guru yang suka menghukum seorang murid."

Mata Bagas berbinar. "Saya tau Bapak memang baik hati dari guru yang lain. Ingatkan saya biar bisa ngajak Bapak makan bareng saya," kata Bagas yang sedetik kemudian ia kembali berkata, "Eh, jangan makan deh, Pak. Soalnya nanti orang-orang pada kaget ngeliat saya jadi kurus."

Guru tersebut, yang sialnya Bagas lupa siapa namanya tertawa. "Tidak perlu," katanya pada Bagas.

"Kalo gitu saya jadi murid berbakti aja deh, Pak. Terus bisa ngebahagiain Bapak sama nilai fisika saya yang seratus," kata Bagas sambil diiringi dengan cengiran.

"Saya guru kimia, bukan fisika," kata guru itu sambil terkekeh, meralat ucapan Bagas.

"Iya, kimia. Itu maksud saya tadi." Setelah mengatakan itu, ia menyalami guru itu, lalu keluar dengan senyuman yang tersungging di bibirnya yang tipis.

Bagas mulai melangkahkan kaki dan secepat mungkin menghampiri Pak Waton yang menghukum kedua temannya dengan—hukuman yang berbeda kali ini—berlari keliling lapangan.

"Pak Waton, saya juga telat. Jadi, berapa putaran saya harus lari, Pak?" tanya Bagas begitu ia berada di samping Pak Waton.

"Lima!" Singkat, padat, dan jelas, membuat Bagas mengerti.

Ketika ia menggerakkan kakinya untuk berlari, Genta menaikkan alisnya. Dengan napas terengah-engah, Genta berlari mendekati Bagas yang larinya sedikit lambat sambil berkata, "Gue pikir lo udah balik ke kelas."

"Nggaklah," kata Bagas menyahuti Genta. "Gue nggak mungkin ninggalin sahabat gue yang lagi dihukum."

Dari belakang, diam-diam Fareed menghampiri Bagas dan Genta. Laki-laki berkulit putih itu memukul kepala temannya dengan sengaja, lalu berlari dengan cepat melewati keduanya ke arah Pak Waton.

"Pak Waton, Fareed KDRT...!" teriak Bagas sambil mengelus kepalanya dan terus berlari.

"Pak Waton, Bagas sama Genta lagi bicarain film hentai yang tadi pagi—" Genta berlari dengan kekuatannya yang masih tersisa. Kemudian membekap mulut Fareed dengan tangannya setelah menyelesaikan hukumannya. Bisa bertambah hukumannya kalau sampai ucapan Fareed didengar Pak Waton. Masih bagus hukuman lari, hormat bendera yang hanya menguras tenaganya. Kalau sudah ceramah, bisa gawat. Sudah berjam-jam, telinga panas, membosankan pula. Percuma saja. Tak ada ubahnya.

Setelah itu keduanya berdiri, menunggu sampai Bagas mendekati mereka. Kemudian Fareed dan Genta melanjutkan lari bersama dengan Bagas, kendati kedua cowok berkulit putih jangkung itu telah lebih dulu menyelesaikan hukumannya. Bagi mereka, terkadang, ini lebih menyenangkan daripada hal apa pun. Maksudnya, bersama-sama dihukum seperti ini. Toh, setelah tamat dari sekolah, hal-hal seperti ini tidak akan mungkin bisa terulang kembali. Jadi, bagi mereka, berbuat semaunya dulu, habisin nakalnya di sekolah, setelah itu baru tobat. Setidaknya itulah yang mereka pikirkan untuk saat ini.

***

[19 Desember 2017] - [23 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang