14. Selalu

216 29 17
                                    

Bagas mengendarai motornya, melintasi jalan raya yang kini sudah tampak lengang. Dinginnya angin malam menyapu kulit permukaan tubuhnya. Menelusup dari balik pakaian yang dikenakannya.

Cowok itu menghentikan motornya saat sudah sampai di depan rumah. Ia meletakkan motornya sebelum membuka pintu rumah dengan kunci duplikat, khusus untuknya. Langkah kaki perlahan-lahan membawanya memasuki rumah dan memarkirkan motornya di dalam, dekat ruang tamu.

"Dari mana?" Pertanyaan tegas dari suara berat itu terdengar begitu jelas di telinga Bagas. Tak perlu menolehkan tatapan karena Bagas sudah tahu siapa pemilik suara berat dan tegas itu."Dari mana malem-malem begini baru pulang?"

Bagas menghela napas. Kembali melanjutkan langkah tanpa repot-repot menoleh ke arah sumber suara.

"Kalau ditanya orangtua itu jawab!" seru pria paruh baya itu ketika Bagas melewatinya tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkannya pada Bagas.

Bagas terdiam. Kemudian menyunggingkan senyum, memperlihatkan lekukan di pipinya. "Kalo aku ngejawab pun, itu percuma. Karna semua yang aku lakukan, yang aku bilang, selalu salah di mata Ayah."

Ayahnya—Rusdi—mengatupkan rahangnya. Lantas pria dengan kumis tebal di bawah hidung dan brewokan itu menghela napas. "Berapa kali sudah dikatakan, jangan sulit diatur!" Ia mendekati Bagas yang berdiri membelakanginya. "Lagi ujian semester ganjil, bukannya mengejar ketertinggalanmu, belajar sebaik mungkin, meraih nilai dan memperoleh prestasi seperti Fathur, malah enak-enakan keluyuran sampai malam begini."

Bagas mengembuskan napas ketika selalu itu-itu saja yang dilontarkan ayah padanya. "Aku capek, Yah, mau tidur," katanya berjalan cepat-cepat menuju kamarnya.

"Ayah belum selesai bicara, Bagas!"

Meskipun sudah masuk ke kamar, tapi tetap saja, suara ayahnya masih bisa terdengar. Tahu akan begini, lebih baik Bagas membawa earphone-nya sebelum pergi ke kafe dan memasangkannya setelah sampai di rumah, seperti biasa. Hingga ia tidak bisa mendengar perkataan yang melulu itu dilontarkan. Dipikirnya, setelah ia pulang, orangtuanya telah terlelap dalam tidur. Namun, nyatanya, semua itu di luar ekspektasinya.

"Jangan mengkal kalau dibilang orangtua! Sudah susah, belajar pun tidak becus. Apa yang mau diharapkan darimu?"

"Berapa kali harus dibilang, contoh kakakmu! Tidak membuat pusing orangtua, tapi bisa membanggakan."

Selalu. Ujung-ujungnya tetap sama. Perbedaan yang kentara antara dirinya dan Fathur. Bahkan Bagas sudah terlalu capai mendengar perkataan yang melulu itu-itu saja diucapkan.

Mungkin menurut orangtuanya, Fathur lebih unggul dalam ilmu. Lebih baik dalam bersikap dan selalu membanggakan. Sementara dirinya, hanya menjadi pembangkang dan melakukan sesuatu semaunya, tak peduli orangtua atau apa pun yang dikatakan orang-orang di sekitarnya.

Bagas mendudukkan dirinya di bangku samping jendela setelah selesai mengganti pakaian. Menengadah kepala, melihat gelapnya malam sambil menyunggingkan senyuman. Pikirnya berkelana pada hari-hari silam.

"Bagas, kamu kok beda banget sih sama kakak kamu?"

"Pergi! Aku nggak mau main sama anak jelek buruk rupa kayak kamu. Item, gendut, buncit, terus keriting lagi. Aku nggak suka! Sana pergi! Aku cuma mau main sama Fathur."

"Kamu anak pak Rusdi dan bu Ina? Kok beda banget sih sama si Fathur yang ganteng dan pintar itu?"

"Bagas jadi monster aja. Cocok!"

"Nggak ada yang mau main sama kamu, Jelek!"

"Bandel, bengal, nakal, susah diatur, entah apa yang mau diliat."

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGحيث تعيش القصص. اكتشف الآن