9. Belenggu Masalah

258 33 20
                                    

Hari-hari semakin berlalu begitu cepat. Dari cerahnya pagi membuka mata sampai gelapnya malam menutup mata. Berulang-ulang. Hingga buat hati gelisah karena dirundung masalah yang tak kunjung berakhir.

Seperti Maira yang melewatkan hari-hari begitu saja tanpa melakukan sesuatu yang berarti agar ia bisa melunaskan uang sekolahnya. Dan hari ini, tepat terhitung lima hari lagi menuju ujian semester ganjil.

Maira menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha meredam isak tangis yang tak kuasa dibendungnya. Ekonomi keluarganya yang sedang bermasalah akibat perusahaan papanya yang akan gulung tikar, menjadikannya sesosok gadis yang lemah dan mudah menangis. Ia mengembuskan napas panjang seraya mengusap air matanya. Dipandanginya kedua temannya yang duduk di bangku besi berbentuk persegi panjang di depannya.

"Kalo lo lagi ada masalah, harusnya lo cerita aja ke kita," kata Cindy mendadak bijak. "Bantu ataupun enggak, yang penting lo nggak ngerasa sendiri."

"Gue malu, Cin." Maira membuang pandangannya, tidak lagi menatap kedua temannya. "Lo nggak bakal tau gimana rasanya karna lo belum pernah ngerasain."

Talia mengerutkan dahi sembari memandang Cindy di samping kirinya. "Itu 'kan kata-kata gue saat lo putus sama pacar lo yang sekarang?"

Cindy menampakkan giginya, cengengesan. "Minjem gue, Li. Pelit banget deh kakak bijak kita yang satu ini." Lalu ia memandang Maira. "Oke, Ra, gue diem aja deh. Gue salah mulu kalo ngomong perasaan."

Talia menghela napas. "Masalah uang sekolah?" tanyanya pada Maira tepat sasaran.

Maira mendelik menatap Talia yang berada di depannya. "Tau dari mana lo?"

Talia tersenyum. "Gue temen sebangku lo. Gue sahabat lo dari kita esempe. Jelas, gue tau. Kebaca banget karna gue juga pernah ngerasain hal yang sama kayak lo, Ra." Talia menunjuk kertas di dalam saku almamater Maira melalui tatapan mata dan dagunya. "Jadi keliatan makin jelas waktu lo megangin surat pemberitahuan itu."

Talia menghela napas dan mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribu dari almamater merah marunnya. "Ini uang pegangan gue. Cuma ini yang gue punya." Talia beranjak, lantas meletakkan uang tersebut di atas tangan Maira. "Bukan uang dari nyokap dan bokap. Murni uang gue sendiri, Ra," kata Talia dengan senyuman ketika Maira mengerutkan dahi, yang sudah sangat dihapal Talia apa maksud dari isyarat tersebut.

Dari dulu memang selalu begitu. Sejak pertemanan mereka saat duduk di bangku SMP, mereka tidak pernah mau merepotkan uang orangtua mereka. Hal ini disepakati ketika Talia mengalami hal yang sama dengan Maira dua tahun silam. Talia yang mengusulkan akan hal itu.

Cindy mengambil uang dalam saku almamater, lalu memberikan selembar uang seratus ribu pada Maira. "Maaf, Ra, biasa, gue harus nabung dulu kalo mau banyak uang. Nggak sebanyak uang lo, Talia, apalagi Billy. Beberapa hari yang lalu juga udah kepake buat beli kado ulang tahun doi. Dan, yah, itu yang gue punya."

Maira memandang Cindy dan Talia yang tersenyum padanya. "Makasih," ungkapnya juga menyunggingkan senyuman, berusaha menekan mati-matian egonya. Setidaknya, yang harus ia lakukan adalah bersyukur. Bersyukur karena saat ia terpuruk, ia masih memiliki teman-teman yang merangkulnya untuk menghadapi masalah bersama-sama.

***

Maira langsung mengunjungi bank dan membayarkan uang sekolah yang hanya bisa membayar satu bulan. Ia tidak ingin lagi khilaf menggunakan uang tersebut. Atau yang lebih parah, ia tidak ingin kehilangan uang itu saat dirinya lengah. Maka dari itu, setelah bel masuk berbunyi, ia permisi pada Pak Erwin yang mengizinkannya hanya pergi seorang diri.

Ia berjalan menyusuri koridor yang sepi sambil membawa kwitansi pembayaran sekolah di bulan Agustus. Bunyi bola yang memantul terdengar di indra pendengarannya. Ia menoleh dan mendapati seorang cowok jangkung, berkulit putih, berwajah tirus, dan memiliki rambut berwarna hitam lurus. Dia, Rakha, ketua OSIS Budi Mulia sekaligus kapten basket. Kakak kelas yang disukai Maira sejak MOS. Namun, tak pernah mendapatkan perhatian cowok itu, sebab cowok itu sudah memiliki kekasih yang merupakan sekretaris OSIS. Maira tidak ingin mengharap banyak apalagi berusaha mendekati seniornya itu. Tidak. Maira sama sekali tidak mau. Lagipula, Maira juga merasa bahwa Rakha bukanlah satu-satunya laki-laki yang ada di dunia. Jadi, Maira hanya sekadar mengaguminya.

Berbicara mengagumi, ada beberapa cowok yang mendekati Maira. Hanya saja, bagi Maira, jika ia tidak suka, ia tidak akan menanggapi cowok itu secara berlebihan. Ia hanya menanggapi seadanya kalau cowok-cowok itu mendekatinya. Berbicara bahwa ia tidak suka secara gamblang. Mengabaikan chat dan telepon, tanpa memblokir akun. Bahkan Maira tak segan-segan mengucapkan kata-kata yang menyakitkan hati pada mereka. Hingga beberapa cowok yang mengejar Maira itu, segera berpindah hati dengan mudah karena merasa perjuangannya sia-sia. Apalagi saat di mana adik-adik kelas sepuluh masuk ke Budi Mulia. Bagaikan kesetanan, cowok-cowok itu dengan cepat menyerbu cewek-cewek yang menurut mereka cantik dan sejenak melupakan kelas sebelas juga dua belas.

Maira menghela napas ketika mengingat hal itu. Seolah mengingatkannya akan Bagas yang tak kunjung lelah. Padahal, seperti cowok-cowok lain yang mendekati Maira, Bagas pun diperlakukan sama. Diabaikan. Dianggap tidak penting. Dan menutup dirinya rapat-rapat dari cowok itu.

Maira mengalihkan tatapan ke arah depan, kembali melangkahkan kaki sambil mengangkat bahu. Namun, bahunya ditubruk oleh seseorang yang berlawanan arah darinya. Sehingga kertas kwitansi itu terhempas dari tangan Maira.

"Maaf," ujar seorang cewek yang menubruk Maira. Cewek itu sempat menundukkan kepala, pertanda kalau ia benar-benar tidak sengaja. Kemudian, cewek itu berlalu pergi menghampiri Rakha di lapangan.

Maira mengembuskan napas kasar. "Dasar!" keluhnya berbalik, mencari kertas yang terjatuh. Saat sedang mencari, ia melihat beberapa pasang sepatu di hadapannya. Sontak, ia menghentikan pencariannya dan segera mendongak. Di sana, tepat di depannya, Bagas memegang dan melihat kertas kwitansi miliknya bersama Genta dan Fareed. Melihat itu, Maira langsung merampasnya dari tangan Bagas.

Tanpa pikir panjang, Maira segera berlalu pergi. Meninggalkan Bagas dan kawan-kawan. Berjalan cepat menuju kelasnya dan dapat mengikuti pelajaran, meski ia tidak fokus pada materi yang diterangkan oleh Pak Erwin.

Setelah bel berbunyi pertanda pulang untuk kelas unggulan, Maira memberikan kwitansi tersebut ke ruang pelayanan. Karena ujian semester ganjil tinggal lima hari lagi, Maira ingin bertanya mengenai keringanan pihak sekolah agar ia bisa mengikuti ujian tanpa membayar uang sekolah selama empat bulan. Hanya saja, ada yang membayarkan uang sekolahnya dari bulan September sampai Oktober. Hingga, ia harus membayar dua bulan lagi. Wanita itu juga memberitahukan bahwa keringanan itu akan ada kalau Maira minimal harus membayar sampai bulan November berikut membawa orangtua. Penjelasan dari guru itu tak lagi didengar oleh Maira karena ia sangat terkejut mendengar kalau ada seseorang yang membayarkan uang sekolahnya selama dua bulan.

***

[23 Desember 2017] - [26 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz