2. Maira

691 53 118
                                    

Maira menutup pintu ruangan BK dengan mimik kesal.

Menyadari itu, Cindy segera beranjak dari bangku yang tersedia di depan ruangan tersebut, mendekati Maira. "Ada apa, Ra?" tanya Cindy begitu berdiri di hadapan Maira, disusul oleh Billy dan Talia di belakangnya.

Maira mendengkus. "Sebel banget gue, Cin."

"Kenapa, Ra?" Talia bertanya dengan nada lembut, ikut menanyakan perkara yang membuat Maira menjadi kesal seperti ini.

"Kata pak Waton, dia nggak ada nyuruh si gendut buat manggil gue. Itu berarti si gendut ngerjai gue," katanya dengan kesal. Rasa-rasanya, kesal itu sudah sampai diubun-ubun, membuatnya ingin melampiaskan amarahnya pada seseorang yang menjadi biang dari semua yang terjadi padanya saat ini. Bayangkan saja, betapa cemasnya dia saat mengetahui Pak Waton, guru BK memanggilnya. Buru-buru sekali ia mengunjungi ruangan BK untuk membahas masalah apa yang membuatnya dipanggil. Namun, ternyata, Pak Waton tidak memanggilnya sama sekali. Memang harusnya Maira bersyukur karena Pak Waton tidak memanggilnya karena berarti ia tidak berbuat kesalahan. Tapi, masalahnya, ketika ia masuk, Pak Waton sedang mempunyai tamu salah satu wali murid. Sungguh memalukan ketika berdiri di dalam ruangan tersebut, dilihat beberapa pasang mata, tidak ada yang mengharapkan kehadirannya pula, seolah ia adalah pengganggu. Dan kekesalan itu memuncak saat memikirkan si gendutlah yang membuatnya berada pada posisi itu.

Cindy terkekeh saat mendengar gerutuan temannya itu. "Gue jadi pengen liat muka lo waktu bicara sama pak Waton deh, Ra."

"Apalah, Cin. Garing." Billy mengalihkan tatapannya dari Cindy ke Maira. "Jadi lo bilang apa sama pak Waton, Ra?"

Maira mengembuskan napas panjang. "Udah deh, gue males ngebahas itu lagi. Mending, sekarang kita ke kantin," ujarnya tidak ingin membahas lebih lanjut. Lagi pula, untuk apa membahasnya lagi? Toh, orang yang bersangkutan tidak akan mendengarnya.

Keempatnya berjalan dengan tangan yang dimasukkan ke saku almamater merah marun, khas siswa-siswi unggulan di sekolah Budi Mulia. Kelas unggulan memang memiliki hampir seluruh perhatian penuh. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang tampak. Mulai dari almamater yang hanya boleh dipakai siswa-siswi kelas unggulan, jam pulang sekolah yang lebih lama, pelajaran tambahan, televisi serta ruangan kelas yang memiliki AC. Tentu saja, kelas-kelas unggulan selalu menjadi kebanggan kepala sekolah dan para guru sehingga tidak lagi merasa heran apabila kelas reguler dengan kelas unggulan selalu dibanding-bandingkan.

Maira, Billy, Cindy, dan Talia menduduki salah satu meja di kantin yang masih kosong. Mereka langsung memesan makanan dan minuman pada pelayan. Karena masih pagi, kantin terlihat tidak begitu ramai seperti saat siang hari yang ramainya minta ampun. Maka dari itu, tak perlu menunggu terlalu lama, hanya lima menit, bubur ayam dan teh manis dingin yang mereka pesan dapat diantarkan pelayan tersebut.

Matamu melemahkanku saat pertama kali ku lihatmu

Dan jujur ku tak pernah merasa

Ku tak pernah merasa begini

Suara seseorang yang sedang bernyanyi dengan diiringi petikan senar gitar masuk ke indra pendengaran Maira dan teman-temannya. Membuat ricuh. Mengundang tawa dan decak kagum. Perlahan, semua pandangan teralihkan, memandang ke arah cowok berambut keriting dengan kulit kecokelatan tengah bernyanyi sambil memetik senar gitar yang berada di atas perut besarnya.

Oh mungkin inikah cinta pandangan yang pertama

Karena apa yang kurasa ini tak biasa

Jika benar ini cinta

Mulai dari mana

Oh dari mana

Cindy menyikut lengan Maira setelah meneguk teh manis dingin. "Si Bagas, tuh," katanya menunjuk dengan dagu, cowok yang sedang bernyanyi di meja kantin paling depan. "Cute banget dia. Gemes jadinya," katanya sambil terkekeh. Sesekali-dua kali cewek itu ikut mendendangkan lagu yang dinyanyikan Bagas.

Maira memutar bola matanya. "Gue nggak peduli!" Lantas ia melanjutkan makannya tanpa memandang ke arah depannya. Seolah makhluk di depannya adalah makhluk tak kasatmata. Yah, lebih baik daripada merusak mood-nya.

Dari matamu matamu ku mulai jatuh cinta

Ku melihat melihat ada bayangan

Dari mata kau buatku jatuh

Jatuh terus jatuh ke hati

Ada jeda sejenak. Bagas menggunakan waktu itu untuk memandang ke arah Maira yang tampak mengabaikannya. Gadis berambut lurus panjang sehitam arang itu melahap bubur ayam seolah tidak terjadi apa-apa. "Untuk kamu yang lagi makan bubur ayam. Lagu ini aku nyanyikan buat kamu."

Kemudian, ia melanjutkan lantunan nyanyiannya dengan memandang gadis itu lekat. Senyuman tak pernah luput dari bibirnya.

Dari mata kau buatku jatuh

jatuh terus jatuh ke hati

Bagas tersenyum lebar ketika sorak-sorai dari orang-orang yang menontonnya begitu ramai. Ia menunduk sebagai rasa terima kasihnya. Melambai-lambaikan tangan seolah ia sedang berada di atas panggung. "Terima kasih, Rakyatku! Aku begitu tersanjung." Perkataan itu sontak membuat Genta yang duduk di kanannya tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sementara Fareed, di sebelah kirinya hanya menyunggingkan senyum tipis.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Karena setelahnya, Bagas dapat merasakan telinganya ditarik oleh seseorang.

"Eh... Pak Waton," sapanya setelah tahu siapa yang menarik telinganya. "Aduh, kenapa kuping saya dijewer, Pak? Bisa bahaya kalau kuping saya jadi lebar kayak kuping gajah, Pak," kata Bagas masih diiringi senyum jenaka.

"Sudah telat, berbohong, mengerjai Maira untuk datang ke ruangan saya, mengambil gitar di ruangan musik," ucap Pak Waton menggeleng-gelengkan kepalanya, terlalu pusing melihat tingkah siswanya itu. Pasalnya, baru hitungan jam, Bagas sudah membuat banyak kerusuhan dan kesalahan. "Ikut saya ke ruangan BK!" tegas Pak Waton, tak terbantahkan.

Bersama Pak Waton, Bagas melangkahkan kakinya menuju ruangan Pak Waton sambil terus membela diri. "Tapi, Pak, kita bisa bicarain ini baik-baik. Lagian, saya udah diijini pak Topik kok buat minjem gitar hari ini. Serius deh, Bapak bisa tanya sama pak Topik kalo Bapak nggak percaya sama saya...."

Semua siswa-siswi mendesah dan menggelengkan kepala melihat Bagas yang kini sudah tidak terlihat oleh pandangan mata. Bersama dengan Pak Waton, tubuh Bagas lenyap di balik tembok yang menyatu dengan tangga.

"Tuh anak emang nggak ada jeranya, ya, Ra. Udah tau lo nggak suka, tetap aja dia deketin lo," kata Billy memandang tempat hilangnya Bagas dengan tatapan kasihan, merendahkan. "Gue nggak bisa ngebayangin gimana jadinya lo kalo suka sama dia."

Bersamaan itu, bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa jam istirahat telah usai. Maira, Billy, Cindy, dan Talia beranjak dari kursinya setelah membayar makanan mereka.

"Nggak usah lo bayangin, Bil. Karna gue nggak akan suka sama dia."

Cindy lagi-lagi terkekeh. "Bener, deh. Lo cantik, tinggi, langsing, putih, Ra. Sayang banget jadinya kalo lo suka sama dia. Mau gimana, 'kan, anak kalian entar."

Billy menoyor kepala Cindy. "Mulai deh lo ngawur," katanya, kemudian memposisikan tangannya di atas kepala Cindy yang hanya sebatas lengannya, mengejek temannya itu. "Miris banget, ya, lo. Dasar pendek!"

"Ish, Billy, poni gue jadi rusak," ujar Cindy seraya merapikan poninya yang berantakan karena ulah Billy.

"Jangan terlalu benci, entar lo cinta banget sama dia," ujar Talia setibanya di depan kelas.

Cindy yang mendengar itu, tergelak, "Si Lia, pengalaman banget deh kayaknya."

"Ih, jangan sampe deh. Ogah banget gue," sahut Maira membalas perkataan Talia.

"Lo kok tiba-tiba ngomong gitu, Li?" Billy memilih melontarkan pertanyaan bingung kepada Talia yang tiba-tiba berkata seperti itu pada Maira.

"Karna realitanya kadang gitu." Talia mengedikkan bahu dan duduk di samping Maira.

Sementara Maira hanya menganggap omongan Talia sebagai angin lalu. Ia tidak mau berlebihan menanggapi pembicaraan seputar Bagas. Baginya itu tidak penting dan sampai kapan pun, itu tidak akan pernah menjadi penting. Sesuatu tentang Bagas, tidak berarti apa-apa. Sama seperti perasaan Bagas padanya. Sama sekali tidak penting dan tak berarti apa-apa.

***

[16 Desember 2017] - [22 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora