6. Bagas Berbeda

379 35 39
                                    

Sebuah spidol melayang tepat mengenai kepala Bagas. "Aduh!" ringisnya sambil mengangkat kepala dari atas meja.

Cowok itu mengusap perlahan kepalanya yang nyeri. Matanya perlahan terbuka dan dapat menangkap sesosok wanita setengah baya yang sedang berdiri berkacak pinggang di depan papan tulis. "Cuci muka di kamar mandi, sekarang!"

Bagas dengan malas beranjak dari duduknya, menguap sebentar, meregangkan badan, lalu berjalan pelan keluar kelas.

"Sekalian tidak usah masuk lagi!" perintah Bu Mona ketika Bagas melewatinya dengan sesekali menguap. Matanya meneliti penampilan Bagas dari ujung rambut hingga kaki. "Rambut seperti sarang tawon. Dasi tidak ada. Simbol tidak dipasang. Baju tidak dimasukkan. Kaus kaki berwarna hitam." Bu Mona menggeleng-gelengkan kepala melihat siswanya yang satu itu. "Jangan berani masuk ke kelas sebelum atributmu lengkap! Saya tidak suka siswa yang tidak disiplin!"

Kemudian wanita paruh baya itu kembali melanjutkan tulisannya yang terhenti di papan tulis. Kembali bersikap tenang dan menjelaskan dengan suara yang lantang, khas Bu Mona.

Sementara Bagas, cowok itu menutup pintu kelas dengan jengkel. "Ganggu orang tidur aja," keluhnya menendang dinding kelas. Seketika ia melompat seraya memegang ujung sepatunya saat merasakan sakit di kakinya. "Anjir, sakit juga."

Senyuman tersungging di bibirnya kala sebuah pemikiran terlintas di benaknya. Maka dari itu, Bagas melangkahkan kaki lebar-lebar, bukan menuju kamar mandi yang berada di ujung dekat tangga, melainkan ke arah kelas Maira yang berada di seberang kelas reguler.

"Woi, Gas," teriak laki-laki memanggil Bagas. "Tunggu!"

Bagas membalikkan tubuh. Ia bisa melihat Genta dan Fareed berjalan mendekatinya.

"Gila lo, ya. Bukannya ke kamar mandi, cuci muka, malah kemari. Mau ngapain lo? Jumpa Maira lagi?" tanya Genta begitu ia berdiri di samping Bagas.

Bagas tergelak keras sembari mendorong bahu Genta dan kembali berjalan. "Tau aja lo!"

"Lagian, lo ngapain sih cari masalah mulu sama bu Mona. Udah tau dia orangnya kayak gitu."

Bagas terkekeh mendengar penuturan Genta. "Kalo masalah telat pas di jam pertama tempo hari sih, iya gue sengaja. Males banget gue masuk kelas dia. Tapi kalo tidur itu, gue nggak sengaja." Bagas mengangkat bahunya. "Abisnya gue kecapekan disuruh pak Waton lari lima kali keliling lapangan."

"Kok gue nggak ngerasa capek, ya?" Fareed menyahuti perkataan Bagas.

"Lo kurus bego." Bagas mengangkat kedua tangannya seraya mengangkat bahu. "Kalo gue 'kan roti sobek, jadi susah."

"Pala lo roti sobek," kata Fareed yang membuat Bagas serta Genta tertawa terbahak-bahak.

"Pagi, Pak...," sapa mereka sembari menyalami seorang guru yang melintas di hadapan mereka. Mereka menduga guru tersebut sedang bertugas sebagai guru piket. Makanya, mereka harus bersikap baik pada guru itu kalau tidak mau namanya dicatat dan dilaporkan kepada Pak Waton.

"Pagi," sapa guru itu sambil tersenyum. "Kenapa kalian tidak masuk kelas?"

"Kami disuruh ngambil alat-alat pratikum biologi, Pak," jawab Bagas dengan cepat.

"Baiklah, lanjutkan!" Guru itu mengangguk dan berlalu meninggalkan mereka.

"Siapa bapak itu? Kayaknya gue nggak pernah ngeliat dia," tanya Genta kepada Bagas dan Fareed.

"Nggak tau," sahut Bagas. "Dan nggak mau tau. Nggak penting soalnya," lanjutnya yang mengundang Genta dan Fareed untuk menoyor kepalanya.

"Dasar!" Genta mendengkus.

Ketiganya berhenti begitu sampai di depan kelas Maira. Bagas memajukan langkah hingga ia berada tepat di depan pintu kaca yang tertutup. Ia menekukkan kaki dan menopang dagu dengan tangannya sambil tersenyum, memandang Maira. Gadis itu tetap bertahan pada posisi duduknya yang tenang, tak mengindahkan Bagas. Fareed dan Genta yang melihat temannya itu, hanya mengikuti. Jadilah mereka bertiga tersenyum bagaikan orang bodoh memandang ke dalam kelas Maira.

Seketika cewek-cewek di dalam kelas ricuh. Mereka semua mengalihkan perhatian menatap ke arah pintu, membuat seorang guru laki-laki di dalam kelas berjalan mendekati pintu kelas dengan mengerutkan kening. Mungkin, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan ketiga siswanya tersebut. Atau barangkali, hendak memarahi mereka karena mengganggu konsentrasi murid-murid yang sedang diajarnya.

Bel berbunyi, seketika Bagas dan teman-temannya kembali berdiri. Mereka bersorak karena bunyinya bel tersebut menandakan kalau kelas-kelas reguler sudah diperbolehkan pulang. Dengan kata lain, pelajaran Bu Mona sudah selesai.

Setiba guru laki-laki itu membuka pintu, Bagas dan teman-temannya sudah kocar-kacir menuju kelas mereka sambil diiringi dengan derai tawa.

***

Sore hari, Bagas pulang ke rumah. Seperti biasa, sebelum masuk ke rumahnya, ia memasangkan earphone ke ponsel, lalu memasukkannya ke dalam telinga.

Perlahan, ia masuk ke rumah dengan diiringi musik rnb yang berputar dalam ponselnya. Tidak lupa ia mengeraskan volumenya hingga mencapai batas maksimal.

Ketika ia memasukkan motornya, ia melihat kedua orangtuanya duduk di sofa ruang tamu. Ia juga melihat ibunya tersenyum ke arah ayahnya yang seperti tengah berbicara dengan seseorang di seberang telepon, lalu beralih tersenyum agak kaku padanya.

Dengan langkah lebar, ia berjalan masuk ke kamar. Setelahnya, ia melepaskan earphone dan barulah ia dengar kalau ayahnya sedang menelepon kakak laki-lakinya yang saat ini tengah melanjutkan belajarnya di luar negeri. Tertawa, bersenda gurau, memberikan saran, masukan, motivasi, serta kata-kata yang dapat menyejukkan hati. Hanya dikhususkan untuk kakak laki-lakinya yang selalu dipuji, Fathur namanya. Tak pernah sekalipun ia mendapatkan kesempatan untuk mencicipi apa yang diberikan ayahnya pada kakak laki-lakinya. Tak pernah. Barang sejenak sekalipun. Namun, Bagas tidak ingin berupaya jauh untuk menyadarkannya.

Bagas meletakkan tas juga ponselnya di atas kasur. Langkah kaki membawanya menuju jendela yang masih terbuka. Dari balik jendela, ia menatap senja. Mengenang kesukaran di masa lalu. Merenungkan apa-apa saja yang pernah dilewatinya.

Dari kamarnya, ia dapat mendengar dengan amat jelas keluh kesah ayah mengenai dirinya. Perbedaan yang kentara. Seperti yang dibicarakan para tetangga ketika Bagas kecil menginjakkan kaki di perkarangan rumah-rumah tetangga. Entah itu saat ia membeli permen, bermain guli, gambar, monopoli, ular tangga, dan segala hal yang dilakukannya sewaktu kecil, selalu ada celetuk antara dirinya juga kakaknya.

Ia mengembuskan napas panjang. Harusnya ia gunakan saja earphone-nya sampai ia benar-benar tidak bisa mendengar apa pun yang dikatakan keluarganya. Apa pun itu, sungguh, Bagas sudah tidak mau peduli lagi.

Ia pejamkan mata. "Kenapa gue jadi lebay banget gini sih? Sok meratapi, serasa main film sinetron yang teraniaya aja," katanya tergelak. Sedetik kemudian, matanya membulat. "Ide bagus! Mungkin gue harus casting nih supaya bisa main sinetron anak tiri yang teraniaya."

Mulutnya bersenandung kemudian. "Ibu tiri hanya cinta kepada uang bapakku...." Ia terkekeh. Setelah beberapa saat, ia menepuk jidatnya. "Oh iya, lupa! Tadi pagi 'kan belum mandi wajib." Bagas beranjak, mengambil handuk, dan bergegas ke kamar mandi dengan diselingi lagu ibu tiri yang dinyanyikannya tadi, asal-asalan. Nada tidak jelas. Tempo yang entah ke mana. Lirik yang suka-suka. Campur-campur pula. Tidak jelas. Sengaja, hanya untuk sekadar menghibur diri atau bentuk pelarian.

***

[20 Desember 2017] - [24 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora