20. Pilihan

223 28 14
                                    

Sorak-sorai membahana di sepanjang koridor kelas reguler. Satu per satu siswa-siswi keluar dari dalam kelas. Ada yang santun keluar, diiringi dengan senda gurau dan celoteh ringan karena barangkali guru memberinya titah agar tertib, atau karena masih kelas sepuluh masih berkelakuan baik. Sebagian ada juga yang berebutan keluar dari kelas. Hal ini menjadi kesempatan bagi kaum adam yang memang sengaja menghimpit para cewek, membuat suasana semakin riuh saat pekikan dan pukulan itu tak bisa terelakkan.

"Bagas... Genta... ih... resek banget sih jadi orang." Suara seorang gadis—teman sekelas mereka—yang bertubuh sintal berseru kepada Bagas dan Genta. Bukannya cepat-cepat keluar, kedua cowok itu malah berdesak-desakkan, menghimpit cewek itu hingga tersudut di salah satu pintu kayu kelas yang tertutup.

Genta tertawa. "Jangan mendesah gitu dong Mel!"

"Tau nih Amel, buat orang dosa aja gara-gara kepikiran yang ena-ena," sahut Bagas.

"Minggir, gue mau pulang!" Gadis yang bernama Amel itu berusaha menerobos, tapi tubuh Genta berhasil menghalangi, hingga membuat cowok itu terkekeh ketika menyentuh sesuatu yang sedari tadi diliriknya. "Geser, Genta, Bagas! Sopir gue udah nungguin...." Tangan Amel mendorong bahu mereka, namun secepat kilat Genta menangkap tangannya dan menggenggam dengan erat.

Fareed yang sedari tadi di belakang menghela napas. "Dasar otak mesum!" Ia melangkah maju dan menoyor kepala kedua temannya. "Udah, kasian tuh si Amel."

Bagas dan Genta terbahak-bahak, membuat Amel secepat kilat pergi dari kungkungan kedua cowok itu. "Merah mukanya Gen. Sadis banget deh lo."

"Lagian gue tembak, dianya nggak mau. Sok oke banget. Giliran diginiin nggak nahan dia 'kan." Dengan percaya diri, Genta berkata sambil menepuk dadanya bangga.

"Jelaslah dia nggak mau. Orang otak lo cuma ada ikeh-ikeh kimochi aja. Nampak banget dari muka lo."

Genta tergelak. "Tau aja lo! Nggak sia-sia gue temenan sama lo selama ini." Laki-laki itu tiba-tiba mengusap pipinya, seolah ada air mata yang menetes.

"Lebay!" sahut Fareed. Kemudian ia berjalan keluar kelas. Sementara orang yang dimaksud hanya tertawa.

Bagas yang melihat itu sontak melepaskan dekapan Genta. Ia berlari menghampiri Fareed. "Lo mau pulang Reed?"

"Nggak. Kenapa?" tanya Fareed.

Genta menyusul dari belakang. Berjalan beriringan dengan kedua temannya.

"Yah, lo 'kan tau kalo gue males banget kalo pulang."

"Kalian mau pulang?" tanya Genta melirik ke temannya sambil mengernyit.

"Iyain aja biar cepet," sahut Fareed kalem.

"Mas Fareed bisa aja deh," kata Genta terkekeh saat mereka melewati lorong sekolah.

Derap langkah kaki dengan kecepatan penuh terdengar dari belakang semakin dekat ke arah mereka. "Kak, tunggu!" Begitu teriak seseorang dari belakang mereka.

Secara serempak, mereka menghentikan langkah, lalu memutar tubuh sehingga menghadap pada sesosok yang mengintrupsi mereka.

"Gita?" Suara Genta yang menyadari teriak itu berasal dari Gita. "Kenapa, Git? Kok kayaknya buru-buru banget ngejer kitanya?" Genta berkata setelah Gita sudah berdiri di depan mereka dengan mengatur napasnya yang tersengal-sengal sehabis berlari mengejar mereka.

"Kalau sudah tiada baru terasa. Bahwa kehadirannya sungguh berharga...." Bagas malah bernyanyi menyahuti perkataan Genta. Kemudian cowok itu menunduk, mendekati Gita, dan mengendus sambil menatap ke atas. "Hem... bau-bau kerinduan," katanya menganggukkan kepala sembari meneggakkan tubuh.

Gita melayangkan pukulan pada bahu Bagas pelan. Sedetik kemudian ia terkekeh. "Bisa aja deh Kak Bagas. Tapi serius deh emang bener, kita di kafe kangen sama penampilan band-nya kakak-kakak."

"Serius kamu, Git?" sahut Bagas seraya kembali berjalan dengan Gita di sisi kirinya dan di kanan Genta.

"Iya, Kak Bagas. Serius."

"Yakin kangennya sama penampilan band kita? Enggak sama orangnya?" tanya Genta membuat pipi Gita sontak memerah karena perkataannya memang benar dan tepat sasaran.

Memang sudah lewat dari waktu dua minggu mereka bekerja mengisi acara di kafe HP milik Ayah Gita. Dan hari-hari seperti ini adalah hari senggang bagi mereka bertiga. Tidak ada kegiatan lain selain sekolah dan nongkrong.

"Jangan rindu. Kata Dilan rindu itu berat. Tapi sayang...," kata Bagas menggantung kalimatnya.

"Sayang kenapa?" Genta menaikkan alisnya memandang Bagas yang kini sudah duduk di salah satu meja kantin. Seperti sudah tahu dan menyiapkan apa yang akan disemburnya untuk menyahut perkataan Bagas, ia tatap Bagas dengan senyum mengejek.

"Beban perasaan cinta sepihak gue lebih berat."

Genta tergelak. "Anjir, gue pikir lo mau modus, Gas!"

"Yah, siapa juga yang mau modusin cowok kayak lo. Bisa-bisa lidah gue kebelet gara-gara modusin lo." Bagas terkekeh. "Eh maksudnya kebelit. Lagian gue masih normal kali, Gen." Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya memandang Genta di depannya dengan prihatin. "Genta, Genta, nggak nyangka gue lo mau dimodusin sama gue."

"Najis!" sahut Genta. "Mending sama Gita."

"Putri, Widya, Bella, Kairun, Laras, Amel, sekarang Gita, nanti siapa lagi target lo?"

Genta terlihat berpikir mendengar perkataan Fareed sambil sesekali menghitung dengan jarinya. "Kurang itu, Reed. Tapi gue udah lupa saking banyaknya," kata Genta dengan cekikikan. "Kadang juga sampai lupa nama kalo ketemu."

"Bodo, Gen!"

Dan jam-jam berlalu hingga bel pulang kelas unggulan bergema, Gita tersadar akan tujuannya. Sedetik kemudian, ia tersenyum lebar, menampakkan gigi gingsulnya, lalu berkata, "Sebenernya ayah minta Gita buat nyampein ke kakak-kakak kalo ayah pengen kalian ngisi acara sore ini. Itu pun kalo kakak-kakak pada setuju."

"Kita setuju!" kata Genta dengan cepat karena semangatnya yang menggebu-gebu. Melihat itu, Gita kembali tersenyum. "Ya nggak, Gaes?" Bukan pertanyaan, melainkan pernyataan yang disusul anggukan dari Bagas dan Fareed. Yah, daripada hanya nongkrong-nongkrong, menganggur, tidak ada kegiatan yang berarti, akan lebih baik kalau waktunya diisi dengan hal yang berguna.

"Kalo gitu, nanti Gita boleh nggak bareng sama Kak Bagas?" tanya Gita memberanikan diri, menatap Bagas dengan penuh harap.

"Ah, Gita, buat hati abang remuk seketika aja!" sahut Genta, terkekeh mendengar perkataannya sendiri.

Bagas mengukir senyum, lalu sebelum sempat ia menjawab pertanyaan Gita, getaran dari ponselnya meminta untuk dijawab lebih dulu. "Bentar!" Bagas mengulurkan tangan kiri seraya mengambil ponsel di saku celana dengan tangan kanan.

Seketika mata itu terbelalak. Ia berteriak saking senangnya karena mendapat panggilan dari seseorang di seberang sana yang bertuliskan 'Calon istriku❤'. Siapa lagi kalau bukan Maira. Sengaja ia tulis begitu, agar bisa terwujud menjadi calon istri, tanpa kata calon.

Dengan segera ia menggeser tombol hijau dan menjauh beberapa langkah dari meja kantin. Lalu matanya bergerak gelisah memandang Gita saat Maira juga memintanya dengan perihal yang sama dengan Gita. Lama ia berpikir, lalu memejamkan mata dan mengembuskan napas panjang ketika ia sudah bisa mengambil keputusan untuk dijadikan pilihannya.

***

[04 Januari 2018] - [03 Juli 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang