11. Tuntas

233 29 12
                                    

Hilir mudik deru kendaraan memenuhi telinga. Menemani ketiga cowok yang memandang ke arah depan. Mata mereka memandang mulai dari bawah sampai ke atas bangunan di hadapan mereka.

Bagas menghela napas. Ia tatap sekali lagi, kafe HP yang bernuansa hitam dan putih. Di dinding kafe itu tampak wallpaper seperti koran. Meja yang berbentuk bulat, ada juga yang persegi panjang di pojok dekat dinding, dan kursi didesain seapik mungkin dengan warna yang senada. Kontras dengan suasana hitam dan putih yang melekat pada kafe itu. Sementara di atasnya, dengan kaca transparan, membuat siapa pun dapat melihat jelas alat-alat band yang menganggur. Di samping kafe terdapat tempat parkiran. Letaknya yang berada tepat di simpang jalan raya, semakin memudahkan untuk mendapatkan banyak pelanggan. Namun, kafe tersebut kini tampak sepi.

"Kok gue deg-degan ya," celetuk Genta. Mata cowok itu masih memandang takjub.

Fareed menepuk kepala Genta. "Gaya lo deg-degan!"

"Lo emang suka banget ya perasaan nimpuk pala orang," sewot Genta mendelik ke arah Fareed yang hanya menanggapinya dengan kekehan pelan.

Seorang pria paruh baya keluar dari kafe tersebut. "Gimana, Om?" tanya Fareed begitu pria itu berdiri di depan mereka.

Pria itu tidak berkata apa-apa, hanya menyuruh mereka bertiga untuk mengikuti langkah kakinya. Dengan isyarat dan senyuman, pria itu masuk ke dalam kafe. Melihat itu, Genta mendorong bahu Bagas dan Fareed agar berjalan lebih dulu di depannya.

"Saya Agus, pemilik kafe hape di sini," ujar seorang pria setengah baya berkumis begitu Bagas dan teman-temannya duduk, tepat di bangku yang berada di pojok dekat dengan kasir di sebelah kiri. Pria itu tersenyum pada paman Fareed yang berada di sebelahnya. "Sahabat saya, Khalif sudah menceritakan kalian pada saya sebelum kalian datang ke sini." Pria yang diperkirakan Bagas seumuran dengan ayahnya itu kembali tersenyum ke arah mereka. "Genta, Bagas, Fareed, benar begitu?" tanyanya memandang satu per satu, membuat mereka sontak menganggukkan kepala.

"Baiklah, kalau begitu langsung saja, jadi, begini, mengingat band saya sedang cuti selama dua minggu," tuturnya, "saya menerima kalian dengan uang muka delapan ratus ribu." Lantas mengeluarkan amplop berwarna putih di atas meja.

Genta tergagap. Sambil menunjuk amplop itu, ia berkata, "Kenapa... kenapa Om... ngasi uang itu langsung? Gimana... kalo kami ngelarikan uang itu?"

Derai tawa pecah dari mulut kedua pria setengah baya di depannya. "Saya sudah bilang 'kan, Khalif adalah sahabat saya, tentu saya percaya padanya yang membawa kalian kemari."

Pria itu beranjak dari duduknya, mengajak Bagas dan kawan-kawan untuk mengelilingi kafe miliknya. "Jangan sungkan dan segan. Saya tidak seseram yang kalian bayangkan," ujarnya mendahului langkah. Berkeliling, hingga sampai di mana mereka berdiri di atas kafe.

Bagas menunduk, tangannya menyentuh gitar listrik. Ia tersenyum sambil sesekali memetik senar gitar. Ia terkekeh sendiri saat membayangkan dirinya berada di atas sini, menghibur para pelanggan di bawah sana. Ia menegapkan tubuh, memandang kedua temannya yang sibuk memegangi alat musik itu.

"Woi, udah, udah, entar rusak lagi sebelum kita manggung," katanya berjalan cepat menghampiri Fareed. Meletakkan stick drum ke bawah. Juga mengambil bass listrik dari tangan Genta. Kemudian meletakkannya begitu saja.

"Ganggu kebahagiaan kita aja deh lo, Gas. Heran gue." Genta menghela napas dan menggeleng melihat Bagas yang meletakkan asal bass listrik tersebut.

"Wah, pemandangannya dari sini indah juga." Bagas beralih mendekatkan tubuh ke kaca, lalu menempelkan bedannya. "Gen... Reed... tolong, muka gue nggak bisa nempel di kaca ini!"

"Perut lo kebesaran, Gas. Makanya nggak bisa," sahut Fareed santai membuat Genta terbahak-bahak. Membenarkan perkataan Fareed.

"Padahal 'kan, gue mau ngasi ciuman ke kaca. Siapa tau dengan ini gue bisa cepet-cepet dikasi jodoh," kelakar Bagas.

Fareed menarik kerah seragam Bagas susah payah. Mengajak teman-temannya untuk turun ke bawah tanpa kata-kata.

"Emang lo udah nggak mau lagi sama Maira?" Genta menyahut ketika Fareed turun dari undakan tangga, diikuti dengan Bagas, dan terakhir dirinya.

"Karena jodohnya Mairalah, gue pengen cepet-cepet," jawab Bagas asal.

Setiba mereka di bawah, mereka mendengarkan dengan seksama penjelasan pria paruh baya itu. Menjelaskan bahwa mereka hanya memiliki dua minggu untuk manggung di sore hari, dimulai dari hari senin. Tak perlu mengkhawatirkan soal ujian semeser ganjil, toh mereka tidak peduli akan hal itu.

Tanpa mereka sadari, ada seorang cewek yang menatap mereka. Menatap sambil sesekali tertawa.

***

Keesokannya, ketika jam istirahat, Bagas buru-buru mendatangi kelas Maira. Sebab, jika tidak begitu, bank di sekolah akan tutup. Memang, saat hari sabtu, bank tutup selepas jam sepuluh pagi, lebih cepat dari hari-hari biasanya.

Ia merapikan sedikit rambutnya, meski jambul di sekitar dahinya sukar disisir ke belakang. Kemudian ia mengetuk pintu kelas dan membuka setelahnya. Dapat ia lihat, Maira duduk merenung seorang diri. Kedua temannya mungkin sudah pergi ke kantin.

Maira bergegas mendekati Bagas sambil menghentak-hentakkan kakinya. Mengintrupsikan Bagas agar keluar dari kelas tanpa menyentuh ataupun mengucapkan sepatah kata pun.

"Ada apa?" tanya Maira tidak ingin berbasa-basi. Matanya memandang ke samping, enggan melihat Bagas.

Bagas tidak bisa menyembunyikan senyumannya ketika tangannya memberikan amplop putih pada Maira. Amplop putih berisi uang. "Ini, Ra." Bagas terkekeh. "Serasa ngasi uang belanja aja deh." Ia berdehem. "Aku ngebantuin kamu buat bisa ujian. Aku tau betapa pentingnya ujian itu bagi kamu."

Maira terkejut sekejap. Kemudian mendelik, menatap tajam manik mata Bagas. "Lo mau ngejek gue?" Maira berdecih. "Kalo itu yang mau lo lakuin, nggak usah, makasi," tukasnya berbalik ke kelasnya.

"Nggak gitu, Maira." Bagas menarik tangan Maira. "Murni kok karna aku sayang sama kamu. Lagian 'kan aku udah pernah bilang kalo kamu lagi ada masalah, aku bakal bantuin kamu," ujarnya sesaat setelah Maira menghempaskan tangannya.

Maira melirik amplop yang berada di tangan Bagas. Seketika pikirannya mengenai peristiwa kemarin malan terlintas, mengenai papa dan mamanya yang menggunakan segala alibi kesibukan mereka untuk menolak menjadi wali Maira. Padahal, waktu yang Maira punya tinggal sehari saja, selebih dari itu, maka Maira akan mengejar susulan. Entah mengapa, akhir-akhir ini, Maira merasa semenjak perusahaan papanya bermasalah, hidup Maira berubah drastis.

Pikiran Maira juga berkelebat mengenai Billy, cowok itu memberikan bantuan dengan membayar dua bulan uang sekolahnya. Maira tidak akan meragukan betapa banyaknya uang yang dimiliki Billy selaku anak satu-satunya dan sangat dimanja oleh maminya. Menurut Talia dan Cindy, itu adalah sebuah kejutan dari Billy untuk Maira.

"Lo tau dari mana?" tanya Maira.

"Apa sih yang aku nggak tau tentang kamu?" Bagas kembali terkekeh. "Ya udah, yuk kita bayar. Mumpung masih jam sembilan." Bagas menarik begitu saja tangan Maira. Maira berusaha melepaskan lengan seraya melontarkan kata-kata tajamnya.

"Gue malu jalan sama lo, Gendut. Lepasin!"

***

[25 Desember 2017] - [27 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGWhere stories live. Discover now