21. Bukan Gombalan

198 32 10
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi, tepat saat Maira berjalan menuju kantor guru dengan tumpukan buku catatan di tangannya.

"Terima kasih Maira," tutur Bu Yuni sambil tersenyum pada Maira yang meletakkan tumpukan buku teman sekelasnya di atas meja. "Delapan belas. Duanya lagi ke mana?" tanya Bu Yuni setelah menghitung jumlah buku di atas mejanya.

"Duanya lagi nggak bawa buku catatan, Bu. Katanya nyusul besok."

"Ya sudah kalau begitu," kata Bu Yuni dengan anggukkan kepala.

"Saya pamit, Bu."

Maira berbalik dan berlari ke kelasnya karena mungkin saat ini Billy dan Cindy menunggunya untuk pulang bersama, seperti biasa. Semenjak mobilnya dijual, Billy menawarkan untuk mengantarnya sampai ke rumah, begitu juga dengan Cindy. Tidak perlu sungkan dan segan, sebab mereka sudah berteman lama. Bahkan terkadang, Billy juga dengan senang hati mentraktir mereka. Saling mengisi dan memberi pertolongan pada temannya yang sedang kesusahan dengan semampunya.

Maira mengatur napasnya yang tersengal-sengal, lalu melangkahkan kaki masuk ke kelas. Hanya ada Cindy yang duduk di meja guru. Gadis itu terlalu sibuk dengan ponsel di tangan kanannya yang tersambung dengan earphone di kedua telinganya, sesekali ia menyahuti perkataan seseorang di seberang telepon.

"Cin," panggilnya ketika ia mendekat ke arah Cindy, berhasil membuat Cindy melepaskan earphone setelah mematikan ponselnya. "Billy mana?"

Cindy tersenyum. "Billy tadi udah pulang duluan, soalnya mami dia nelepon, ngajak pergi, biasalah, namanya juga Billy. Karna lo lama banget, jadi dia nggak sempet bilang ke elo. Dan gue sebagai temen yang baik, yah, gue sampein ke lo, Ra."

Maira mengangguk mendengarkan penuturan Cindy. Kemudian ia mengambil tasnya di meja. "Talia udah pulang?" tanyanya melihat ke tempat duduk Talia yang sudah kosong.

"Udah. Lo tau sendiri dia selalu pulang lebih dulu dari kita."

"Ya udah, lo pulang bareng gue aja." Maira berkata sambil menyandang tasnya di punggung.

Cindy menunjukkan sederet gigi putihnya. "Gue pulang bareng doi." Sedetik kemudian, bibirnya mengerucut. "Lagian duit gue udah abis juga pas jam istirahat tadi," lanjutnya terkekeh pelan.

Maira menghela napas. "Ya udah deh, gue balik duluan."

Cindy mengangguk sambil melambaikan tangannya. "Hati-hati, Ra."

Sesampainya di gerbang sekolah, Maira mengambil ponsel di dalam tas. Gadis itu memang sengaja meletakkan ponsel di dalam tas saat ia sedang belajar. Menurutnya itu akan membuatnya lebih fokus terhadap proses pembelajarannya.

Gadis itu termangu ketika tangan kirinya memeriksa uang di saku almamater, sementara tangan kanannya bersiap untuk memesan transportasi online. Hanya ada selembar uang lima ribu dan itu tidak akan cukup untuk membayar transportasi tersebut. Ia mendesah, menutup kembali ponselnya.

Tahu-tahu pikirannya langsung tertuju pada Bagas. Namun, lagi-lagi ego yang besar membuatnya kembali berpikir.

Angkutan umum yang lewat di hadapannya, membuat ia terpikir untuk menaiki angkutan umum. Akan tetapi, rasa takut dan ngeri itu seketika muncul. Pertama, ia tidak tahu harus menaiki angkutan yang mana untuk menuju ke rumahnya. Kedua, tampang sopir-sopir dalam angkutan itu membuat bulu kuduknya meremang. Ketiga, ia sama sekali tidak mau berhimpitan dengan penumpang lainnya yang mungkin keringatnya menguarkan bau tak sedap.

Maira mendesah kasar, lalu membuka ponsel, dan mencari kontak Bagas di Line. Ia meneguk serat air liurnya, menekan mati-matian egonya yang tidak ingin menghubungi cowok itu.

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGWhere stories live. Discover now