13. Perdana

219 27 22
                                    

Mata cowok itu memandang lurus ke depan. Dengan seulas senyum, ia terus menantikan seseorang yang sedari tadi diharapkan kehadirannya membuka pintu kaca, lalu dapat melihatnya menyenandungkan lagu dari bawah sini.

Lama ia berdiri beberapa langkah di depan kasir, tak menggerakkan sedikit pun niatnya untuk mengakhiri harapnya pada gadis itu. Bahkan sejak ia datang ke kafe HP ini, ia sudah memutuskan untuk menanti gadis itu. Hingga kalau-kalau gadis itu datang, ia akan menyambut dengan sangat baik, seolah gadis itu adalah tamu paling istimewa.

Seseorang menepuk bahu kirinya. Membuatnya mengalihkan perhatian sejenak ke samping kiri. Ia mendapati kedua temannya yang sudah turun dari atas tempat band tersebut.

"Udah gue bilang tuh cewek nggak bakal dateng," kata Genta dengan wajah yang memerah. "Kesel gue lama-lama liat dia."

Fareed meremas bahu Genta, berusaha menenangkan cowok yang lebih tinggi darinya. Lalu kembali melirik Bagas yang masih bergeming dari tempatnya.

"Apa sih Reed!" Genta melepaskan tangan Fareed. "Baru kali ini gue liat cewek nggak berhati kayak gitu. Udah ditolongin, dibaekin sama kita, kurang apa lagi coba? Seumur-umur, ya, gue belum pernah ngelakuin cewek-cewek gue kayak—"

"Gen, udah." Fareed menyelanya. Fareed mengerti perihal Genta jika cowok itu sudah marah. Apalagi perkara cewek. "Bukan saatnya emosi."

Bagas tergelak. Kemudian ia memutar tubuh ke arah Genta dan Fareed. "Gen, gue nggak nyangka," kata Bagas menggantungkan kalimatnya.

"Kenapa?" tanya Genta mengerutkan dahi, melupakan sejenak kemarahan yang sudah melewati batas.

"Lo multitelen juga," gumam Bagas memandang Genta kagum. "Lo cocok deh kalo masuk ke ekskul drama. Siapa tau nantinya lo bisa masuk televisi, terus kita bisa numpang tenar, ya nggak Reed?" Bagas menaikturunkan alisnya.

"Goblok!" ucap Fareed memukul kepala Bagas sambil berlalu ke arah panggung di atas.

"Kelakuan lo masih aja nggak berubah ya, Reed. Padahal udah lama cerai, masih aja mau KDRT." Bagas menggeleng-gelengkan kepala seraya mengelus dahinya. "Gimana kalo tiba-tiba gue gegar otak atau yang paling parah amnesia? Bisa gagal manggung perdana kita hari ini."

Hal itu membuat Genta menghela napas. "Yuk, kita mulai," katanya menghentikan ocehan Bagas.

Tanpa mereka sadari, dari balik kasir, tepat di belakang pintu, seorang gadis menyembunyikan diri sambil menutup mulutnya yang sedang tergelak. Gadis itu bisa mendengar semuanya. Dan ia merasa lucu melihat tiga sekawan itu.

"Gita," panggil ayah menyentuh pundaknya. "Kamu sedang apa di sini? Pergi bantu ibumu mencuci piring di belakang."

"Kan udah ada mbak-mbak pelayan baru yang bantuin ibu." Cewek berambut panjang lurus berponi itu memandang polos ayahnya. "Gita mau liat band baru kita, Ayah."

Ayahnya—Agus— mengelus puncak kepalanya. "Ya sudah. Jangan membuat rusuh."

Gita menganggukkan kepala. "Gita janji kok bakalan bantuin yang Gita bisa kalo pelanggannya ramai."

Kemudian ayahnya mengangguk dan tersenyum. Melangkahkan kaki seraya memberi kode pada ketiga cowok di atas—yang sudah memegang alat musik masing-masing—bahwa mereka sudah bisa menunjukkan kualitas mereka di dunia musik.

Sebelum memulai hiburan mereka, Bagas menyapa para pelanggan terlebih dahulu. Memperkenalkan diri dan mengharap semoga nyanyian mereka dapat menghibur semua orang, baik yang berada di sini maupun yang tengah menghadapi kemacetan di simpang jalan raya. Barangkali pikir Bagas, suara band mereka kedengaran sampai keluar, hingga orang-orang memutuskan untuk berkunjung.

Seketika alunan drum yang dimainkan oleh Fareed sebagai intro, juga diikuti oleh suara gitar dan senandung merdu dari mulut Bagas. Suara bass dari Genta juga mulai terdengar. Seantero kafe seketika memandang ke atas, di mana ketiga cowok itu begitu lihai membawakan lagu Bukti dari Virgoun.

Bagas begitu menghayati lagu itu. Sampai-sampai ia memejamkan mata, memutar kembali memorinya tentang gadis yang sebenarnya diharapkan kehadirannya. Maira. Wajahnya. Senyumnya, meski tidak ditujukan untuk Bagas. Perkataan kasarnya. Sikap gadis itu. Semuanya benar-benar melekat dalam ingatan Bagas. Semuanya amat disukai Bagas.

Sebenarnya, Bagas meminta Maira datang karena ia ingin mempersembahkan lagu bukti ini untuk Maira. Juga sebagai bentuk semangatnya dalam menjalankan kehidupannya yang bisa dibilang tidak baik-baik saja akhir-akhir ini, bahkan sejak lama.

Lagu kedua, ketiga, keempat, dan kelima dibawakan Bagas. Dari pop, jazz, sampai rock and roll sekalipun. Bagas dan kawan-kawan diberi jeda sekejap untuk mengistirahatkan diri. Sejenak, ketika maghrib, ketenangan menyeruak di kafe HP ini. Hanya ada suara deru kendaraan yang yang hilir mudik di jalan raya juga beberapa pelanggan yang masih duduk di kafe, entah itu makan pisang cokelat, minum kopi, sekadar menghisap rokok, atau anak-anak muda yang sekadar menggunakan Wi-Fi, alih-alih minum segelas es teh manis.

Gita dengan senantiasa memerhatikan mereka. Entah mengapa, vokalis yang kerap diacuhkan para pelanggan itu sangat menarik perhatiannya. Dibandingkan kedua temannya yang memang tampan, Gita lebih senang memerhatikan cowok gendut itu. Diam-diam, di samping tempat duduk mereka bertiga, Gita melirik Bagas. Sesekali ia terkikik geli mendengar percakapan yang didominasi oleh cowok itu. Perkataan dan tingkah konyolnya entah mengapa membuat Gita menyukai cowok itu.

Ketika malam menjelang, tepat pada pukul delapan, Bagas dan kawan-kawan melanjutkan hiburannya.

"Selamat malem semuanya," katanya menyapa seluruh pelanggan. "Baiklah, saya akan membawakan lagu I Love You Bibeh dari The Changcuters. Selamat menikmati dan semoga terhibur...."

Bagas tersenyum dan mulai menyanyikan lagu dari The Changcuters itu. Sesekali mereka bergerak ke sana-kemari guna menikmati lagu.

Saking asiknya bergoyang, Bagas tak menyadari bahwa ada dua orang gadis memandang ke arahnya lamat-lamat. Satu dengan senyum tawa bahagia dan satunya lagi dengan helaan napas kasar, datar, tanpa senyuman.

"Apa-apaan! Nyesel gue dateng ke sini," katanya setelah membayar vanilla late yang dipesannya pada pelayan. Dari bawah sini, ia bisa melihat Bagas dan kedua temannya begitu asik membawakan lagu yang cukup membuat telinganya sakit. Entah karena yang membawakan lagu itu adalah Bagas atau karena mood-nya yang memang sudah buruk, tapi ia sama sekali tidak dapat menikmati lagu tersebut. Baginya, penampilan band di atas sana sama sekali tidak ada kerennya.

Ia beranjak dan meninggalkan kafe bahkan sebelum lagu selesai maupun menghabiskan minumannya. Ia sudah tidak ingin berada terlalu lama di sini.

"Bego!" Ia kembali mendengkus ketika keluar dari kafe dengan menghentak-hentakkan kaki. "Setan apa coba yang ngerasuki sampe gue mau-maunya aja dateng ke sini." Ia membuka topi sebagai bentuk penyamarannya agar tidak ada yang tahu bahwa ia datang, lalu memukul pelan kepalanya berkali-kali. Kemudian ia mengambil ponsel dari saku celana, membuka aplikasi transportasi untuk mengantarkannya pulang.

Maira mengembuskan napas kasar dari mulut. "Oke, ini cuma karna gue pengen nenangin diri aja." Ia mengangguk. "Ya, nenangin diri karna nggak bisa fokus sama pelajaran yang mau diujiankan besok," katanya berusaha meyakini dirinya sendiri.

***

[27 Desember 2017] - [29 Juni 2018]

Raksa Cinta #ODOC_TheWWGUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum