PART 6

1.9K 126 48
                                    

Tiga hari berlalu, Flora masih bertahan dalam diam. Tapi apapun yang ia lakukan tak lepas dari pantauan Dina. Ibunya itu takut Flora akan berbuat macam-macam. Terlebih sekarang Flora sering muntah-muntah dan selalu menyalahkan bayinya yang sudah membuatnya tersiksa.

"Kamu nggak pa-pa?" Dina memapah Flora yang baru keluar kamar mandi setelah memuntahkan semua sarapannya.

"Mama tau Flora nggak baik-baik aja, kenapa masih bertanya?"

"Itu hal wajar dialami ibu hamil."

"Ma!"

Flora memang paling tidak suka disebut ibu hamil walaupun kenyataannya seperti itu. Flora masih 18 tahun dan kehamilan ini bukan kemauan dia, itu alasan yang selalu dia lontarkan. Dina memaklumi itu. Selain masalah yang sedang ia hadapi, hormon kehamilan juga tak kalah berpengaruh dalam perubahan sikap Flora. Dan Dina memaklumi itu. Tapi ia tetap akan membujuk Flora untuk menerima kondisinya sekarang.

"Mama harap kamu mengurungkan niat buat gugurin bayi itu."

"Mama tau 'kan kalau Flora,."

"Untuk kali ini tolong dengerin mama, Flo. Jangan menyela sebelum selesai." Flora berdecak mendengar perintah Dina dan memilih menyandarkan punggungnya ke sofa.

"Kamu harus tau, nggak semua wanita bisa merasakan hamil seperti kamu. Ada yang menikah bertahun-tahun tapi belum mendapat keturunan. Bahkan dulu mama juga harus nunggu 3 tahun sebelum kamu lahir. Jadi mama harap, kamu yang sudah dikasih kepercayaan, mau mempertahankannya."

"Jangan samain Flora sama mereka, Ma. Anak ini bukan hasil pernikahan. Dia ada karena ulah laki-laki brengsek itu!"

Dina tersentak mendengar umpatan kasar yang keluar dari mulut Flora. Putrinya itu sepertinya sadar dengan ketidaksukaan Dina. Flora langsung menunduk, karena memang baru kali ini ia bicara kasar didepan Dina dan berharap ibunya itu mengerti kenapa dia seperti itu.

"Apapun itu, dia tetap anak kamu, darah daging kamu, Flo. Apa kamu tega bunuh dia? Itu juga kalau berhasil."

"Maksud Mama?" Flora mengerutkan kening, mendengar pernyataan Dina yang menggantung.

"Ya kalau nggak berhasil, bayi itu akan tetap tumbuh di rahim kamu dan akhirnya terlahir cacat. Kamu mau punya anak cacat?" Flora menelan salivanya dalam mendengar penuturan Dina.

"Kamu juga akan merasakan sakit yang teramat sangat. Perut kamu akan terasa dicabik-cabik dengan ribuan pisau dan menimbulkan rasa sakit melebihi sakitnya melahirkan. Dan resiko terburuk, kamu bisa bunuh diri kamu sendiri saat proses pengguguran itu." lanjut Dina masih tenang.

Sedetik kemudian, wanita paruh baya itu memalingkan wajahnya, memukul-mukul pelan keningnya sendiri. Amit-amit. Jujur itu bukan doa, apa yang ia katakan hanya untuk menakut-nakuti Flora. Dina juga tidak mengharapkan semua yang ucapkan itu terjadi.

Dan sepertinya usahanya berhasil, ekspresi Flora berubah, ia tampak menggigit bibirnya sendiri dan tak sadar tangan Flora merambat naik mengusap perutnya. Dina hanya melirik putrinya sekilas lalu kembali bersikap tenang seperti sebelumnya.

"Dan soal Agam, mama udah kenal sebelum tau hubungan dia sama kamu. Sejauh mama kenal Agam, dia pria baik, penyayang keluarga. Dia juga nggak bohong soal keluarganya. Karena waktu di rumah sakit, mama bertemu dia saat ibu dan adiknya kecelakaan sampai akhirnya meninggal. Dan untuk masalah dia sama kamu, mama nggak bisa ngomong apa-apa karena mama juga kecewa. Tapi semua udah terjadi dan Agam sudah mengakui, bahkan mau bertanggung jawab. Kamu masih beruntung Agam nggak lari gitu aja disaat kamu sendiri menolak dia, padahal Agam bisa saja melakukannya. Jadi menurut Mama, sebaiknya kamu terima dia. Demi kebaikan kamu dan bayi kalian." Flora membuang nafas kesal mendengar perkataan Dina yang terkesan memojokkannya.

PUISI UNTUK BUNDA Where stories live. Discover now