PART 31

1.3K 100 28
                                    

Di sebuah rumah sederhana berdinding kayu, seorang nenek sedang sibuk di dapur meniup bara api di dalam tungku untuk menyalakan apinya yang padam. Di atas tungku itu ada sebuah panci berisi beberapa ubi yang sedang direbus.

Nenek itu tidak tinggal sendiri, dia hidup berdua dengan suaminya yang kini sedang pergi ke hutan untuk mencari tanaman obat-obatan. Kakek dan Nenek itu memang dikenal sebagai tabib di desa mereka. Desa terpencil yang jarak setiap rumahnya berjauhan dan beberapa dibatasi kebun atau ladang.

Tak lama, terdengar langkah kaki dari belakang dapur. Sosok sang Kakek muncul dari balik pintu belakang. Kakek itu meletakkan keranjang berukuran sedang diatas meja.

"Ini dedaunan yang kau minta, tumbuklah untuk mengobati luka anak itu." Nenek mengangguk kemudian berdiri dari bangku kecil yang ia duduki.

"Sebentar lagi ubi ini juga matang, kau bisa mengangkatnya." Kakek mengangguk dan menggantikan nenek duduk di bangku. Sementara Nenek membawa dedaunan itu keluar untuk dicuci terlebih dahulu.

Setelah selesai menumbuk daun, Nenek membawanya ke sebuah ruangan. Disana ada seorang anak laki-laki terbaring diatas ranjang terbuat dari kayu dan anyaman bambu yang dilapisi kasur tipis. Ada beberapa luka kecil di wajah, tangan, kaki dan beberapa bagian tubuh lainnya. Tapi ada dua buah papan yang diikatkan pada kaki kirinya.

Nenek duduk di tepi ranjang lalu menempelkan tumbukan daun ke luka-luka yang sudah mulai mengering di tubuh anak itu.

"Bun-da... A-yah."

Nenek mengangkat kepalanya mendengar suara lirih itu. Mata anak itu masih terpejam tapi bibirnya sedikit bergerak, begitu juga jemari tangannya. Dan Nenek yakin suara itu berasal dari anak itu.

Nenek segera keluar ruangan untuk memanggil Kakek. Tak lama mereka kembali dan melihat anak itu mulai membuka mata. Dia melihat ke sekeliling ruangan yang mungkin sangat asing baginya.

"Dia mulai sadar, Kek." Kata Nenek. Mereka berdua kemudian mendekat dimana Kakek langsung duduk di tepi ranjang.

"Kamu sudah sadar, Nak?"

"Aku dimana? Dan kalian,, kalian siapa?" Anak itu sedikit ketakutan. Ia ingin bangun tapi tertahan seraya mengulurkan tangannya kearah kaki.

"Aaarrggghh! Kenapa kaki aku sakit banget?" Kakek segera menahan bahu anak itu dan merebahkannya kembali agar lebih tenang.

"Kamu tidak usah takut, tenangkan dulu dirimu. Nek, ambilkan air putih." Nenek menuruti perintah suaminya, mengambil segelas air putih dari dapur sebentar lalu memberikannya pada Kakek.

"Minumlah dulu." Anak itu ragu tapi akhirnya mau saat Kakek membantu mengangkat kepalanya untuk minum.

"Sebenarnya kalian siapa? Kenapa aku bisa ada disini?"

"Saya kakek Ahmad dan dia istri kakek, nenek Sari." Nenek hanya tersenyum saat anak itu menatapnya.

"Tiga hari yang lalu kami menemukan kamu pingsan di tepi sungai dengan banyak luka. Tapi luka-luka di tubuh kamu sudah mulai mengering, tinggal retak di tulang kakimu saja yang masih butuh perawatan."

"Apa? Tulang kaki aku retak?" Anak itu memaksa bangun yang membuatnya meringis.

"Kamu jangan banyak bergerak dulu." Kata Nenek seraya membantu anak itu untuk duduk.

"Tapi aku bisa jalan lagi kan?"

"Tentu saja bisa. Cuma butuh waktu beberapa minggu untuk penyembuhannya."

"Aku mau cepet sembuh, Nek. Aku mau pulang." Nenek Sari mengangguk.

"Iya. Kami akan mengobati lukamu biar cepat sembuh ya."

PUISI UNTUK BUNDA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang