DUA PULUH

1.4K 273 17
                                    

.

.

.

.

.

Jungkook melangkah ringan ke arah ruang OSIS. Selama beberapa minggu terakhir, ia benar-benar seperti hidup dalam mimpi. Anak-anak di kelasnya mau belajar dan bertekad untuk lulus bersama-sama. Dan seolah itu belum cukup menggembirakan, para guru telah bersedia mendukung usaha mereka. Sebagaimana Junmyeon, para guru yang lain benar-benar kaget pada kemauan anak-anak dan mulai bisa mengajar dengan normal tanpa harus takut dilempari macam-macam.

Jungkook hampir-hampir tidak memercapainya, tapi ini semua benar-benar terjadi. Semua beban seperti terangkat dari bahunya. Langkah Jungkook mendadak terhenti saat melihat pemandangan di depannya. Jimin tampak sedang duduk di depan gudang peralatan sambil membaca buku dengan hanya memakai singlet. Di depannya, sehelai kemeja terjemur di atas seutas tali yang terikat di antara dua batang pohon. Jungkook menghela napas. Bebannya belum semua terangkat. Yang paling berat justru masih ada di sana, tepat di depannya.

Jungkook lamtas menghampiri Jimin dengan hati-hati. Jungkook melirik buku yang dipegang Jimin. Buku cetak sejarah.

"Hai, Jim." Jimin mendongak, lalu terpaku saat melihat Jungkook sudah berdiri di sampingnya. Tanpa banyak berpikir Jimin segera bangkit dan meraih kemeja dari jemuran. Kemeja itu ternyata masih basah. Jimin berdecak kesal, lalu mengibaskan kemeja itu tak sabar. Jungkook menghentikannya.

"kau... tidak pulang kerumah?" Jimin menghela napas, lalu mengenakan kemeja basah itu. Ia mungkin akan masuk angin, tapi lebih baik begitu daripada berlama-lama dengan Jungkook. Jimin lantas meraih ransel, bermaksud pergi. Tapi tahu-tahu Jungkook menahan lengannya. Jimin menatap tangan Jungkook, lalu menatap matanya tajam.

"aku rasa kita harus selesaikan masalah kita, Jimin," kata Jungkook membuat mata Jimin berkedut.

"Kalau kau mau aku bersujud di depanmu, akan ku lakukan sekarang juga." Jimin menatap Jungkook lama, lalu membuang muka sambil mendengus. Ia lantas menepis tangan Jungkook dari lengannya, tapi menolak menjawab.

"aku tidak tau lagi apa yang bisa membuatmu memaafkanku. Kau bilang, dengan cara apa aku bisa menebus kesalahanku," desak Jungkook. "aku mohon, Jimin, aku ingin kita bisa berteman seperti dulu lagi." Jungkook tak berkedip untuk beberapa saat.

"Kenapa? aku sebejat itu dimatamu? Apa pun yang ku lakukan tidak akan bisa membuatmu memaafkanku?"

"aku..." Jimin tercekat. "Ini bukan masalahmu. Ini masalahku."

"Maksudmu?" tanya Jungkook bingung.

"kau seharusnya berteman dengan orang baik-baik," jawab Jimin akhirnya. "Orangtua mu benar."

Jungkook menatap Jimin tak percaya. "Orangtuaku? Apa―?"

"kau Cuma harus lulus dari sini, setelah itu kau bisa memulai hidup baru. Hidupmu yang semestinya," potong Jimin. "tidak seharusnya kau membuang-buang hidupmu demi orang sepertiku."

"Jimin..." Jimin sudah keburu berbalik pergi, meninggalkan Jungkook yang hanya bisa termangu. Jimin menghela napas, melangkahkan kaki yang terasa berat sambil menatap ujung sepatunya yang sudah berlubang. Walaupun ingin, Jimin tidak bisa kembali berteman dengan Jungkook. Jimin tidak boleh. Jimin tidak berhak. Setelah apa yang diputuskannya beberapa tahun lalu.

Langkah Jimin terhenti. Di depan sepatunya, ia melihat ujung sepatu lain. Sepatu putih dengan tali putih. Jimin mengangkat kepala, lalu mendapati Yoongi sudah ada di depannya, tersenyum seperti malaikat. Jimin tidak pernah berharap hidupnya akan normal setelah semua yang terjadi. Tapi tiba-tiba, dua orang yang sangat ia sayangi membuat semuanya terasa mungkin. Satu sudah tidak bisa digapai. Satu lagi berada tepat di hadapannya. Jimin mendekati Yoongi, lalu meletakkan dahinya di atas bahu pemuda polos itu.

OUR STORY [MinYoon-KookV] ✅Where stories live. Discover now