EPILOG

2.4K 304 98
                                    

.

.

    .

.

.

Yoongi manatap plang sekolahnya yang masih berkarat dan terpasang miring. Bangunan di depannya belum berubah. Jika ada sesuatu yang berbeda, hal itu adalah garis kuning yang dipasangi polisi di sekelilingnya. Enam bulan berlalu semenjak tragedi itu. Bangunan yang pernah menjadi saksi kehidupan masa remaja mereka kini resmi ditutup. Semua orang masih melanjutkan hidup. Yoongi menghela napas berat. Mungkin tidak semua.

"Ayo, Yoongi." Yoongi menoleh mendapati Jungkook yang menepuk bahunya. Di sampingnya, Taehyung tersenyum sambil membawa karangan bunga.

Teman-temannya lantas duluan melangkah masuk ke dalam gedung sekolah. Yoongi mantap mereka, lalu mengangguk pelan. Yoongi melangkahkan kakinya ke dalam gedung. Ia menapaki lantai berdebu yang dulu ia lewati setiap hari.

Sekolah itu sekarang terasa begitu berbeda. Angker, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Teman-temannya berhenti sebentar di depan kelas sebelah untuk meletakkan sebuah karangan bunga untuk Jihoon. Mereka lantas melanjutkan perjalanan ke kelas mereka.

Kelas yang penuh kenangan bagi siapa pun yang hadir di sana. Air mata Yoongi segera merebak saat memasuki kelas itu. Yoongi tidak menyangka akan sangat merindukan kelas ini.

"Kenapa aku jadi sedih, ya," kata Taehyung, memecahkan keheningan. Yoongi menolah padanya, yang ternyata sudah duluan meneteskan air mata. "aku tidak pernah suka sekolah. Tapi aneh, aku kangen bangku ku." Taehyung lantas melangkah pelan ke bangkunya, lalu duduk di sana. "apa saja yang ku lakukan di bangku ini," Taehyung mengelus permukaan meja yang penuh coretan. "Kalau di jumlah dalam satu tahun, mungkin hanya satu minggu aku memakai bangku ini dengan semestinya." Semua orang menatap Taehyung nanar, mengerti betul perasaannya.

"aku... kangen seragam buluk ku," celetuk Bogum, membuat semua perhatian kini tertuju padanya. Ia lantas menggaruk kepala, salah tingkah. "Seragam SMA lebih enak dipakai dari pada seragam bengkel." Anak-anak tersenyum menanggapi gurauannya.

Jungkook menatap satu lagi karangan bunga yang dibawanya, lalu mulai melangkah. Anak-anak segera memberinya jalan.

"Untuk pahlawan yang sebenarnya," kata Jungkook sambil meletakkan karangan bunga itu di meja guru.

"Pahlawan tanpa tanda jasa." Semua sekarang kembali terdiam, mengenang Junmyeon, guru mereka yang gugur saat tragedi enam bulan lalu. Yoongi dengan segera terisak. Junmyeon meninggal saat membelanya. Gurunya itu meninggal karena menggantikannya. Sampai sekarang pun, Yoongi masih merasa bersalah. Harusnya ia yang meninggal, bukan Junmyeon.

Tapi enam bulan lalu, Jungkook berkata padanya, kalau nyawa yang telah Junmyeon selamatkan, harus dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Dan Yoongi akan membuktikanya. Yoongi akan hidup dengan baik. Untuk bagian gurunya juga.

"Yoongi," kata Jungkook, membuat Yoongi mengangkat kepala. Jungkook tersenyum. "Habis ini kita harus mengunjungi Jimin. jadi kau tidak boleh kelihatan habis menangis." Yoongi terkesiap, lalu segera menyeka air matanya. Jungkook benar. Ia tak akan menemui Jimin dengan wajah penuh air mata. Yoongi akan bertemu Jimin dengan dirinya yang Jimin kenal. Yoongi yang ceria.

.

.

.

.

.

"Apa kabar, Jim?" Jungkook menatap Jimin yang balas menatapnya dengan senyuman sumringah. Sudah terlalu lama Jungkook tidak melihatnya. Rambut Jimin sekarang gondrong. Pada wajahnya tumbuh kumis dan jenggot halus. Tapi badannya terlihat bugar, di atas kaus berwarna jingga itu.

"Baik," jawab Jimin, membuat mata Jungkook beralih dari kausnya . "kau?"

"Hm? Baik?" Jungkook balas menjawab. Jimin mengangguk-angguk.

"Jadi? kau lulus?" tanya Jimin lagi. Jungkook mengangguk, membuat Jimin segera menyengir. "aku tau kau bisa. Anak-anak yang lain?"

"Yang lulus UN ulang hanya aku dan Yoongi. Yang lain kurang absensi tapi mau pada ikut paket C nanti," jawab Jungkook, lantas terdiam sesaat. "kau... masih tidak mau bertemu Yoongi?"

"aku tidak mau dia melihat ku di tempat menyedihkan begini, bodoh," Jimin menyadarkan punggung, menatap nanar sekelilingnya yang dipenuhi orang-orang berkaus sama sepertinya ―tahanan-. "aku mau dia jalan terus tanpa memikirkanku."

"dan kau tahu betul itu tidak mungkin.," kata Jungkook membuat Jimin mengangkat kepala.

"Jimin, kita semua tau alasan kau di sini. Kita semua tau. Yoongi tidak akan malu." Jimin mentap Jungkook lalu menggeleng.

"aku tetap ada di sini. Di antara kumpulan berengsek ini. Bersama orang-orang semacan appaku, Heechul. Di bisa kabur kalau liat aku begini."

"Oh ya?" Jungkook nyengir jahil, lantas mengedikkan kepala ke suatu arah. Jimin memutar kepala, lalu melongo saat melihat Yoongi ada di beberapa bangku di belakangnya, melambai dengan senyuman. Jimin sama sekali tidak menyadari kehadirannya.

"Kook, kau―"

"kau tau dia tidak akan bisa melupakanmu," sambar Jungkook sebelum Jimin sempat menyelesaikan kata-katanya. "kau sudah cukup berbuat banyak demi kita. Demi dia. Sedikit kebahagiaan aja, Kook. Kau pantas mendapatkannya." Jimin menatap Jungkook penuh harap, tapi akhirnya menggeleng.

"Tidak, aku―"

"kau tau? Cerita mu bersama Yoongi, tidak bisa hanya kau yang akhiri. Masih ada Yoongi yang harus kau dengar pendapatnya," kata Jungkook lagi, membuat Jimin kembali menatapnya. Jungkook lantas bangkit. "Kalau sudah begitu, aku tidak bisa ikut campur lagi." Jungkook melambai pada Yoongi yang segera bangkit dan menghampiri mereka. Jungkook melirik lagi Jimin yang tampak salah tingkah. "Jimin," kata Jungkook yang membuat Jimin menatapnya. Jungkook lantas tersenyum.

"aku harap akhirnya happy ending." Jimin menatap Jungkook hingga ia keluar dari ruang kunjungan. Jimin tidak pernah berharap akhir ceritanya akan bahagia. Ia tidak berhak berharap seperti itu.

Yoongi tahu-tahu mncul dihadapannya, dengan senyum malaikatnya seperti biasa. Tanpa berkata apa-apa, ia duduk di depan Jimin, lalu meletakkan kotak makanan Kumamon dan membukanya dengan bersemangat.

"aku masak makanan spesial untuk mu," katanya membuat Jimin melirik isinya. Nasi putih dengan beberap potong sosis goreng di bentuk gurita dan telur omlete, persisi seperti yang pernah Yoongi buat saat masih sekolah dulu. Jimin menatap pemuda berparas malaikat di depannya nanar. Jimin tahu, seharusnya ia tidak berharap.

Tapi, delapan belas tahun hidupnya sudah sangat sulit. Bolehkah ia sedikit berharap sekarang?

"Setelah enam bulan tidak bertemu, kau cuma bisa membuat makanan macam ini untukku?" tanya Jimin membuat Yoongi melongo.

"sudah untung ku buatkan!" sungutnya kesal, membuat Jimin terkekeh. Pemuda bodoh itu masih imut seperti dulu. Tangan Jimin refleks terangkat untuk mengelus kepala Yoongi, tapi berhenti di udara. Jimin sudah akan menarik kembali tangannya saat Yoongi meraihnya dan menggenggamnya.

Jimin menatap Yoongi di depannya lama. Ia ingin memulai kembali semuanya. Ia ingin menulis ceritanya di lembar baru.

Dimulai dengan kata 'Yoongi'. Dan diakhiri dengan 'bahagia selamanya'.

.

.

.

-END-

.

.

.

OUR STORY [MinYoon-KookV] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang