DUA PULUH DUA

1.3K 279 18
                                    

.

.

    .

.

.

Jungkook menatap segumpal awan yang berarak di langit biru cerah. Pagi ini ia menyempatkan diri naik ke atas gudang olahraga dan merebahkan tubuh. Ia ingin melepaskan penat sejenak, sebelum masuk kelas dan kembali belajar.

"Eh, kau di sini ternyata." Jungkook menoleh, lalu mendapati kepala Taehyung muncul dari ujung lantai. Pemuda cantik itu nyengir.

"aku ganggu? Kalau iya, aku turun lagi."

"tidak, naik saja," kata Jungkook lalu kembali menatap langit. Taehyung menatapnya ragu sejenak, tapi naik juga. Ia lantas duduk di sebelah Jungkook yang tampak nyaman berbaring di lantai semen kasar, hanya beralaskan selembar Koran bekas.

"Jadi. Apa yang terjadi tadi malam?" tanya Taehyung, tidak tahan untuk tidak bertanya. Semalan setelah Jungkook pulang, ia hanya memikirkan bagaimana anak laki-laki itu berhadapan dengan kedua orangtuanya. Jungkook mendengus.

"Tumben perhatian." Taehyung mencibir pada Jungkook yang malah terkekeh. Beberapa saat kemudian, wajah anak laki-laki itu jadi serius. Matanya menerawang menatap langit.

"Tadi malam ternyata Jimin datang ke rumah," kata Jungkook membuat mata Taehyung melebar."Dia bilang... dia tidak butuh uang bulanan dari orangtua ku lagi."

"Serius kau? Jimin bilang begitu?" Jungkook mengangguk pelan. "Jimin bilang mulai sekarang dia mau kerja dan bakal ngembaliin uang dari orangtuaku suatu saat nanti." Taehyung terdiam selama beberapa saat untuk berpikir. Detik berikutnya, ia menoleh ceria.

"Bagus dong, artinya dia sudah tidak terima perintah appa mu lagi! Dia tidak akan menjauhimu lagi!" Jungkook tersenyum lemah, lalu menggeleng. "Jimin juga bilang ke orangtua ku untuk tenang, karena dia tidak akan ganggu hidupku lagi." Taehyung kambali terpaku, tak mengerti dengan jalan pikiran Jimin.

"Dia masih dendam padamu?" Jungkook menerawang, mengingat kejadian kemarin. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun ini, ia kembali mengingat sorot mata hangat yang dulu pernah Jimin miliki. Melihat itu, Jungkook jadi ingin menyakinkan dirinya sendiri bahwa Jimin sebenarnya sudah memaafkannya, tapi masih merasa bersalah padanya. Tapi Jungkook tidak bisa.

Bagaimana pun Jimin tidak bersalah. Jimin boleh balas dendam padanya dengan cara apa pun. Jungkook tidak akan keberatan. Jungkook melirik rambut pirang indah milik Taehyung, lantas teringat sesuatu.

"apa ahjumma sudah baikan? Kayaknya semalam sudah agak segar, ya?" Taehyung terkekeh. "Udah bisa terima orderan kue, malah."

"Orderan kue?" Jungkook terduduk. "eommamu membuat kue untuk dijual?"

"Dulu juga gitu, sebelum kena tumor," Taehyung menerawang sesaat, tapi lantas nyengir pada Jungkook. "Sekarang setelah sembuh, dia bisa bikin kue lagi." Jungkook mengangguk-anggik, sama sekali tidak tahu. Taehyung memperhatikannya ragu, lalu menghela napas "aku... akhirnya jujur padanya tentang pekerjaanku," kata Taehyung, membuat Jungkook menoleh cepat padanya.

"lalu?"

"Yah, dia kecewa karena ternyata apa yang tetangga bilang selama ini benar," Taehyung menggigit bibir. "Dan merasa bersalah." Jungkook memperhatikan Taehyung yang seperti sudah ingin menangis.

Jungkook mengerti perasaan ibu Taehyung. Bukan pasti merasa beliaulah yang sudah membuat Taehyung terjun ke dunia pelacuran. "Dan soal uangmu kemaren..." lanjut Taehyung. "Suatu saat pasti akan ku kembalkan."

Jungkook mengerjapkan mata. "Jangan bilang―"

"aku mau membantu eommaku membuat kue," sambar Taehyung sebelum Jungkook selesai bicara. Taehyung lantas terkekeh. "Tenang saja. aku tidak akan kembali jadi pecun lagi, kok. aku sudah cukup mengecewakan eommaku dan menghina diriku sendiri." Jungkook menatap Taehyung, tak tahu harus berkata apa. Taehyung lantas membuang pandangan kearah gedung sekolah. "kau ingat tidak waktu kau mau menyelamatkanku di sini?" tanya Taehyung tiba-tiba.

OUR STORY [MinYoon-KookV] ✅Onde as histórias ganham vida. Descobre agora