Lembar 4

1.2K 87 11
                                    

Debaran di dadaku rasanya semakin abnormal saat memandangmu.

♡♡♡

Aku suka berandai-andai.

Berandai kamu akan mengenalku,

Berandai kita bisa saling mengenal,

Berandai mungkinkah kamu memiliki rasa padaku.

Asal kau tahu saja,

Aku benar-benar hampir gila karenamu.

Hanya karena menatap senyummu, seolah aku tidak sedang berada di tempatku.

Seolah senyummu benar-benar mengalihkan kelogisan pikiranku.

Aneh, bukan?

Ya, aneh.

Aku memang masih remaja tapi aku tak pernah berharap kisah cintaku akan semenye atau semanis alur cerita ftv yang sering ku tonton.

Aku tidak suka dengan keberdayaan ini.

Harus menebak-nebak akan dirimu, harus menunggu dengan secuil harapan semu.

Percayalah, menunggu tidak semenyenangkan itu.

***

Pagi ini aku terlambat karena angkot yang ku tumpangi ternyata mengalami kebocoran ban.

Aku memang tidak membawa kendaraan pribadi ke sekolah. Peraturan kolot, orangtua yang juga konservatif, aku tidak boleh membawa kendaraan sendiri sebelum memiliki surat izin mengemudi.

Siapa peduli peraturan?

Bahkan katanya peraturan dibuat untuk dilanggar. Lucu sekali.

Teman semasa SMP-ku bahkan sudah membawa kendaraan pribadi saat sekolah.

Dalam hati aku masih menggerutu sebal, menyumpah serapah apa saja kata yang terlintas di kepala.

Kenapa sih hari ini terasa sial bagiku?

Apalagi sekarang jam pelajaran seorang guru killer yang terkenal seantero sekolahan. Menyebalkan sekali.

"Kenapa terlambat?" Tanya guru BK yang berjaga di depan gerbang sambil melemparkan pandangan selidik kearah ku.

"Tadi... ban angkotnya bocor, bu." Sahutku dengan susah payah karena napas yang masih terengah habis berlari dari depan gang sekolah.

Dan di sinilah aku berakhir, berdiri di depan tiang bendera sambil berposisi hormat pada sang Saka Merah Putih.

"Yang benar hormatnya!" gertak guru BK sekolahku sambil melotot galak.

Aduh ibu, cantik-cantik kok galak. Pantesan aja masih jomblo.

Aku hanya mengangguk pasrah sambil menyeka peluh yang menetes di keningku hingga membuat kerudungku terasa lembab.

Matahari seolah-olah menertawakanku di atas sana. Sial, terik sekali.

Guru BK-ku tersebut masih mengawasiku hingga hukuman ini selesai; yang artinya sampai bel istirahat berbunyi.

Aku memutar kedua bola mataku jengah, hingga manikku menangkap figur seseorang yang berjalan menuju musholla bersama seorang yang cukup dikenal di sekolah ini; Rama.

Cowok itu...

Iya, cowok yang ku perhatikan diam-diam sejak masa PLS.

Yang jujur saja, namanya pun aku tak tahu.

Aku diam-diam tersenyum tipis.

Anehnya, aku tidak berminat lagi untuk merutuk ataupun mengeluh pada hari.

Dia seperti oase di tengah gurun pasir.

♡♡♡

Adiksi Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt