Lembar 9

783 64 2
                                    

"Aku ingin mencintaimu secara sederhana. Sesederhana embun yang datang pada saat pagi datang menjelang."

♡♡♡

Api unggun di bumi perkemahan kita malam itu,

Terasa lebih hangat dari yang temanku rasa.

Bintang yang berpendar di langit malam itu,

Terasa lebih terang dari biasanya.

Kalau kamu tanya kenapa, maaf saja. Aku pun tak tahu apa jawabannya.

Tapi yang aku tahu pasti,

Aku hanya ingin mencintaimu secara sederhana.

Tidak perlu bicara untuk mengungkapkan rasa, bukan?

Aku tidak memaksamu mengerti perasaanku, aku hanya ingin setidaknya kamu tahu.

***

"Gila, banyak nyamuk!" Gerutu Nadia, sahabat yang satu regu denganku.

Aku terkekeh saat memasuki tenda dan melihat sahabatku satu itu sedang menggerutu sebal sambil mengoleskan lotion anti nyamuk pada tubuhnya.

Aku selaku ketua regu sedari tadi memang hampir tak ada mendiami tendaku sendiri karena sibuk dengan beberapa hal.

"Eh, abis ini ada acara api unggun. Sedia senter masing-masing ya, aku denger sih bakal ada 'jerit malam' walaupun masih simpangsiur sih beritanya." Ucapku saat memasuki tenda untuk mengambil ranselku.

"Kok aku jadi merinding ya..." ucap Via sambil bergidik.

Aku tertawa kecil.

"Masa udah gede masih takut sama hantu." Ejekku sambil mengerlingkan mataku jahil.

"Mati aja sana Nai, mati!" Maki Via kesal.

Aku lagi-lagi tergelak. "Cuma jerit malam kok, bukan acara uji nyali."

"Sama aja ogeb, sama aja!"

Walaupun kegiatan ini melelahkan, sedikit menyebalkan.

Aku tidak ingin mengeluh.

Setidaknya, meskipun hanya secuil, ada sebuah kenangan indah yang ku simpan dalam ingatan untuk ku kenang kelak.

***

Api unggun sudah menyala.

Kobaran apinya berkilat di kedua bola mataku yang legam.

Teman-temanku semua bernyanyi, tertawa, riang gembira.

Dalam riuhnya tawa, dalam bantuan kobaran api unggun yang membara, diam-diam... aku mencarinya di tengah kerumunan.

"Liatin siapa sih, Nai?" Nadia bertanya sambil menyentil pelan bahuku.

Aku tersentak lalu tersenyum tanggung. "Gak ada kok."

Nadia mengangkat bahunya acuh lalu kembali bertepuk tangan mengikuti nyanyian kakak pramuka di tengah sana.

Aku mendongak mencarinya sekali lagi, lalu tak lama kemudian senyum lebar terulas di bibirku.

Dia ada di sana, hanya tertawa kecil.

Seperti biasa.

Dia membuatku terpana hanya dengan lengkungan senyum di wajahnya.

Merasa malu sendiri, aku menenggelamkan wajah dalam tekukan kakiku.

Apa-apaan sih aku ini, aneh sekali.

Buat apa juga aku terus mencarinya, memperhatikannya.

Rinai Angkasa benar-benar kurang kerjaan.

♡♡♡

Adiksi Место, где живут истории. Откройте их для себя