(22) Tisa: We're Getting Back (not for a while hopefully)

19.1K 2.4K 175
                                    

"Nikah yuk, sama aku."

Ajakan itu keluar begitu saja dari mulut Abi, tanpa permisi, tanpa aba-aba. Gue langsung mengurai pelukan, menjauh dari tubuhnya. Dengan refleks, tangan gue terangkat.

PLAK!

Entah setan apa yang merasuki, tiba-tiba saja gue menamparnya.

Ya habisan itu manusia otaknya di mata kaki apa ya? Seenaknya main ngomong? Ngajak nikah lagi. Ngajak nikah kayak ngajak beli nasi goreng. Nggak ada romantis-romantisnya sama sekali.

Berharap dilamar di café dengan hiasan kreasi event planner, ini malah di kamar gue dengan wajah sembab dan gue yang berdaster hello kitty. Yang ngajakin nikah ngomongnya cuma kayak mau nawarin teh botol. Boleh kesal kan gue?

"Kok akunya ditabok sih, Yang?" pertanyaannya bikin gue pengen nabok lagi.

Gue memasang tampang marah sambil mengusap air mata yang masih menetes.

"Kamu tuh nawarin nikah kayak nawarin beli teh botol tau nggak?" gue bersidekap dengan wajah dipalingkan, tidak mau melihat wajah Abi.

Dia tertawa, tangannya menyingkirkan anak rambut dan menyampirkannya di telinga gue.

"Lagian kamu juga nggak proper gini mau aku ajakin nikah. Masa iya mukanya jelek begini, mana dasteran lagi." Abi membela diri. Membuat gue semakin ingin melemparnya ke sungai.

"Heh, emangnya siapa yang bolehin kamu main asal masuk ke sini? Gak sopan!" bentakku.

"Bunda yang bolehin!" bunda tiba-tiba masuk dengan membawa nampan berisi coklat hangat dan camilan.

"Lagian kamu kok Bunda bangunin susah amat? Kasihan Abi nungguin. Malu dong, Kak, masa sama pacar ketahuan kebonya." Bunda menyindir gue.

"Ihhh kenapa Bunda nggak bilang-bilang sih? Tisa kan capek, Bun. Makanya nggak mau diganggu." Protes gue ke bunda.

"Abi loh capek dari Bogor. Kamu mah seharian kerja enggak, tidur nggak bangun-bangun." Ini bunda gue lama-lama lebih milih Abi jadi anaknya deh. Abi mulu yang dibela.

"Bela aja terus Abi, yang anaknya tuh Tisa atau Abi, sih?" tanya gue kesal.

"Milih Abi jadi mantu dong, ya kan, Bi?" bunda mengedipkan sebelah matanya ke arah Abi. Ini nyokap gue kok lama-lama ikutan gendheng sih?

"Tapi anaknya Bunda pas Abi ajakin nikah, malah Abi yang digaplok loh, Bun." See! Dia ngadu dong.

Gue melotot tajam ke arah Abi. Bunda balik melotot ke gue.

Tiba-tiba saja nampan yang dipegang oleh bunda sudah mendarat dengan cukup menyakitkan di punggung gue.

"Bun!" gue berteriak kemudian meringis kesakitan. Abi mengelus-elus punggung gue setelahnya. Dasar carmuk!

"Diajakin yang lebih baik mbok nurut sih, Kak. Nikah tuh ibadah, masa calon suaminya dikasarin. Nggak pernah loh Bunda ngajarin gitu." Semprot bunda yang hanya gue balas dengan memamerkan wajah cemberut. Calon suami katanya? Duh mikirnya saja gue belum sampai.

"Udah lah, Bunda mau keluar dulu." Bunda melenggang dari kamar dan meninggalkan gue berdua dengan manusia kurang ajar ini.

Lo pernah merasa lemah di hadapan orang yang lo cintai nggak sih? Saat lo bahkan sedang berada di puncak amarah tertinggi sekalipun. Dengan segala kemunafikan hati, gue akui tidak mudah mengenyahkan seorang lelaki bernama Abizar ini dalam hati gue. Terlalu kuat magnetnya hingga gue lupa bahwa dia telah menyakiti gue dengan sangat.

Setiap gue menangisi mulut kurang ajarnya itu, pasti akhirnya gue lemah dan mencoba berdamai dengan hati. Dan akhirnya berharap Abi menghubungi gue kembali hanya sekedar bertanya bagaimana kabar gue, namun ternyata tak pernah terjadi. Tindakan itu akhirnya gue sesali diujung hari. Namun, dipagi berikutnya, gue ulangi hal yang sama. Kembali menanti dan berharap. Kembali menjadi bodoh dan terbudak.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now