(30) Tisa: Hanifa's Journal

17.8K 2.2K 126
                                    

Gue bisa!
Gue bisa melewati hari-hari selanjutnya tanpa tangisan yang berlebihan atas kepergian bunda. Hari ini, tepat 30 hari bunda meninggalkan gue dan ayah.

Sakitnya masih terasa, namun gue mencoba ikhlas. Benar kata mama, banyak sekali orang-orang yang sayang sama gue. Mereka sampai rela melakukan apa aja demi gue bisa melupakan sedih ini. Seperti minggu lalu, saat anak-anak lantai 17 dengan sukacita berbondong-bondong nginep di rumah gue hanya demi nonton layar tancep ala-ala yang dipasang di ruang keluarga gue. Ini beneran layar tancep karena Mas Indra memasang kain putih polos di tengah ruangan juga proyektor. Beneran kayak layar tancep pokoknya. Dan film yang kita tonton itu Naga Bonar yang pertama. Kurang vintage apa coba?

Temen-temen gue, baik yang pria maupun wanita ikutan nginep. Ada Mas Yoga dan istrinya, Mas Indra dan istri serta anaknya, Ina, Priska, Maia, dan antek-antek mereka nggak perlu diragukan lagi kehadirannya, bahkan Mbak Bianca yang 'super sibuk' itu juga menyempatkan datang. Gimana gue nggak cinta gila sama mereka?

Jangan lupakan juga ya Syailana Aisya Pangestika yang saat ini telah menyandang Wimala di belakang namanya, beserta suami. Dan pacar gue yang paling-paling itu, juga dateng bawa-bawa Monika yang sudah seperangkat dengan sahabatnya Abi, Gama.

Intinya, minggu lalu—tepatnya malam minggu, rumah ayah dan bunda dipenuhi oleh makhluk-makhluk abstrak yang gue sayangi itu. Senang rasanya menghabiskan waktu bersama mereka. They literally made me up!

Gue berhasil melewati hari-hari penuh duka. Gue tahu bunda sudah bahagia, dan gue tidak akan menambah kesedihan bunda di surga karena di sini gue bersedih.

Gue sudah akan beranjak tidur, saat pintu kamar diketuk pelan.

"Ayah masuk boleh, Kak?" oh ayah ternyata. Ya siapa lagi sih, Tis? kan di rumah tinggal lo sama ayah.

"Masuk aja, Yah, nggak dikunci."

Ayah terlihat membawa sesuatu saat masuk ke kamar gue. Bukan martabak sih kayaknya, gue kecewa.

"Kakak udah mau tidur?" tanya ayah saat melihat gue sudah berselimut.

"Niatnya begitu, Yah. Tapi karena ada Ayah masuk, ya nemenin Ayah dulu." Ujar gue sambil tersenyum.

"Ayah mau apa? Mau cokelat panas kayak biasa?" tawar gue pada ayah. Cokelat panas adalah minuman favorit ayah yang sering bunda buat saat malam tiba. Dan semenjak bunda tiada, tugas gue lah yang membuatkannya.

Ayah menggeleng, "Nih, Ayah mau kasih tunjuk sesuatu." Ujar ayah sambil menyodorkan bawaannya yang sempat gue kira martabak itu.

Gue menatap ayah meminta penjelasan.

Jadi nih ya, yang ayah bawa itu adalah sebuah buku. Oh well, lebih tepatnya diary gitu kayaknya. Pokoknya kayak notes. Jadi itu buku? Diary? Atau notes sih, Tis?

"Itu punya bunda. Buka deh. Ayah udah baca. Sekarang giliran kamu." Ayah seperti paham maksud kebingungan gue.

Gue membuka halaman pertama jurnal tersebut—yak, sekarang gue sebut jurnal.

Tertera tulisan cantik nan rapih di sana, 'Hanifa's Journal by Hanifa G. Rachmadi'. Itu nama bunda.

Gue buka lembar pertama.

Perjalanan dimulai,
Dimana saat aku mengenalnya,
Dan saat kemudian aku dipersuntingnya,
Selamat datang di hidupku, Barga Hendrawan.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now