(27) Tisa: I Love You, Bunda.

16.2K 2.2K 278
                                    

Kehilangan mengajarkan kita untuk bertahan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kehilangan mengajarkan kita untuk bertahan. -Tisa
***

Mungkin ini pagi paling menyakitkan seumur hidup gue. Mungkin juga pagi yang paling membawa hikmah dalam kehidupan gue kedepannya. Atau mungkin pagi yang harus gue lalui dengan senyum, lebih dari pagi yang lain.

Pagi ini, saat gue masih berkutat dengan draft laporan FaStyle yang harus diserahkan kepada Mas Yoga, Ana tiba-tiba masuk ke ruangan gue. Wajahnya terlihat tenang, namun seperti ada masalah dibaliknya. Ia berjalan mendekati gue perlahan. Mbak Bianca sedang izin breakfast—5 menit sebelum ana datang. Jadi, di ruangan ini hanya gue sendiri.

Ana duduk di sofa pojok ruangan. Matanya menatap gue penuh arti. Yang jika gue ketahui artinya saat itu, bisa dipastikan tak akan senyum ada di wajah gue untuk menyambut Ana.

Ia menepuk sisi sebelah kanan dudukan sofa, "Sini, Tis," pintanya. Dan gue menurut.

Lima menit Ana hanya terdiam. Gue bingung sebenarnya. Apakah dia sedang ada masalah? Ribut dengan Adit mungkin? Atau sedang merasa tidak beres dengan pekerjaannya?

Sebelum gue bertanya lebih lanjut, Ana membuka suaranya.

"Ikut gue yuk," ajaknya. Gue mngernyit bingung. Lebih bingung karena ada nada serak dari kalimat yang ia lontarkan.

"Kemana?"

"Lihat Bunda di rumah sakit," Sampai ajakan ini, gue menyimpan rasa takut luar biasa.

"Bunda kenapa?" gue hanya mampu berusaha menyingkirkan pikiran negatif yang tiba-tiba bersarang di kepala saat ini.

"Tis," Ana menggenggam tangan gue. Ada raut sedih saat ia berusaha menyampaikan berita itu ke gue. The saddest news yang tidak ingin gue dengar untuk kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.

"Na, why? Make it fast please." Gue mulai jengah karena penjelasan Ana yang terkesan lamban.

"Bunda sudah nggak sakit, Sayang. She's alive, in another world." Ana menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Yang gue yakin, sekuat tenaga ia menahan air matanya. Dan sekuat tenaga pula ia memilih kata yang tepat untuk memberitakannya kepada gue.

"Serangan jantung pagi ini," Ana meneruskan kalimatnya.

Setetes air mata gue mulai turun, oh shit turun lebih deras. "Bunda udah nggak ada?" tanya gue dengan suara lirih. Dan air mata pertahanan gue jebol saat Ana menangguk.

Ana dalam tangisnya, membawa gue dalam pelukannya. Tangis gue semakin dahsyat. Gue tidak histeris dan meraung, hanya saja jauh didalam diri, pertahanan gue hancur. Hancur sehancur-hancurnya tanpa gue tahu bagaimana lagi cara membuatnya utuh.

Bunda, the one and only, my angel, my bestfriend, my lovely, my secret garbage, my shopping buddy, my enemy, and my eternal love, sudah tidak bersama gue lagi. Sungguh, gue tidak bisa berpikiran jernih saat ini. Bahkan untuk membalas kembali ucapan Ana gue tak mampu.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now