(29) Tisa: I Miss You Too

17.2K 2.2K 155
                                    

Coba-coba, yang kangen tangannya dilambaikan ke atas!

***

Hari keempat kepergian bunda.

Rasanya, makam yang belum kering itu sama belum keringnya dengan air mata sedih yang tak pernah surut ini.

Gue tahu, tidak boleh terlalu terpuruk ketika melepas kepergian orang yang kita sayang. Gue tahu itu.

So sorry to say,
I don't need your sweety words like,
"Sabar ya, Tis,"
"Ini ujian,"
"Semua yang bernyawa pasti Tuhan panggil,"
"Tisa pasti bisa melewati ini."

Kenyang rasanya mendengar those words itu masuk ke telinga gue.
Katakanlah gue keras kepala, namun gue belum paham apakah lo merasakan apa yang sedang gue rasakan.

Terkadang ingin menyalahkan Tuhan.
Namun gue tahu, bunda di surga pasti marah jikalau sampai gue lakukan itu.

Bun, seberapa keras Tisa berusaha sabar dan ikhlas, mengapa rasanya hati ini selalu sakit jika merasakan ditinggal bunda?

Gue sampai lupa ini sudah pukul berapa? Apakah gue sudah mandi dua kali sehari? Ataukah gue sudah makan? Bahkan gue tidak ingat berapa kali gue sesegukan menahan air mata yang terus-menerus jatuh.

Ana pernah berkata, Kita ditakdirkan untuk mencintai hidup dan mati. Kita memang mencintai hidup hingga tak terkira. Tapi ketika hidup itu berakhir, percayalah bahwa Tuhan mempersilahkan kita untuk mencintai hal kedua, yaitu kematian.

Entahlah, rasanya semua menjadi omong kosong. Ayah pun masih terpuruk, gue tahu. Dari wajahnya, gue tahu ia bersedih. Namun layaknya aktor handal, ayah luar biasa menutupinya. Dan gue, hanyalah amatiran yang tak tahu bagaimana caranya menutupi tangis.

Gue tahu, banyak yang khawatir akan kondisi kesehatan gue. Banyak yang berusaha membujuk gue namun gue tolak. Banyak yang berusaha menguatkan gue namun tidak ada yang berhasil.

Sejujurnya juga gue lelah.
Lelah untuk menangis.
Lelah untuk bersedih.
Lelah untuk terpuruk.
Namun bagaimana?
Gue harus bagaimana?
Rasa itu masih sama, berat.
Rasa itu masih sama, sakit.
Dan rasanya, rasa itu masih sulit terganti.

Bun, Tisa harus bagaimana?

***

Pukul 12.00 PM.

Gue melirik pada jam yang tertempel di dinding. Pasti sebentar lagi, Ana masuk membawa makanan.

Seperti ritual selama empat hari ini. Gue yang tak beranjak dari kamar semenitpun, dan Ana yang akan selalu bulak-balik masuk kamar gue memberikan kebutuhan jasmani yang dapat membuat gue tetap hidup. Meski rasanya sulit untuk tetap hidup.

Dan kemudian, pintu gue diketuk.

Gue menoleh ke arah pintu.

Bukan Ana, bukan juga ayah.

Sosok wanita paruh baya, dengan senyum menghiasi wajahnya.

Wanita yang gue kenal dengan baik. Wanita baik yang selalu bertanya kapan gue akan mengunjungi rumah mereka di Bogor. Wanita yang menerima gue saat pertama kali kami bertemu. Dan ternyata, wanita yang gue rindukan akan pertanyaan, "Tisa kapan ke Bogor lagi?"

Gue rindu saat melihat wajahnya. Wajah itu begitu teduh. Gurat sayang terlihat saat menatap wajah gue yang sudah tak berbentuk ini.

Dengan senyum, ia berujar, "Sayang, boleh nggak Mama masuk?" tanyanya lembut.

Dengan sisa tenaga yang ada, gue mengangguk.

Meski rasanya masih sulit untuk bertemu selain Ana dan ayah, namun entah mengapa rasanya rindu dengan mama. Iya, mamanya Abizar, pria-nya gue.

Eensklaps | PUBLISH ULANG VERSI WATTPADWhere stories live. Discover now