Hamil (1)

28.4K 3.6K 93
                                    

Versi buku dalam satu bab POV 1 nya bergantian antara Aziz sama Reira, gak bikin bingung karena font tulisannya dibedakan antara satu sama lain.

Tapi disini aku belum nemu cara buat bedain font tiap POV yang berbeda tanpa harus kasih keterangan dari sudut pandang dua karakternya. Jadi disini bakalan aku pisah2in aja ya.

Emang sedikit sih jadinya tapi semisal kurang dari 500 kata aku bakal usahain unggah 2 kali sih, pagi sama malem (tergantung isi paket data yaah hehe)

Aku melihatnya melintasi aula terbuka pada mall terbesar di kota empek-empek, melenggang sendirian dengan kepala tertunduk.

Wajahnya yang muram membuatku tertegun. Dialah sumber kegalauanku selama hampir satu bulan ini.

Tanpa sempat memikirkan apapun aku sudah melompati tiga anak tangga eskalator untuk mengejarnya. Kusibak punggung pengunjung mall yang menghalang, beberapa dari mereka mengumpat marah. Tapi aku tidak ambil pusing. Satu-satunya yang kuinginkan hanyalah membuktikan apakah kegelisahan juga firasatku tidak terbukti.

“Ira,” Aku memanggil namanya.
Ketika dia menghentikan langkah dan balas menatap, jantungku seakan diremas oleh kekuatan tidak kasat mata saat melihat matanya yang sembab dan merah. Apa yang aku takutkan. Apa yang aku khawatirkan. Firasat buruk itu mungkin sudah jadi kenyataan sekarang.

“Ziz!” Dia memanggil namaku dengan nada tidak percaya.

“Kita harus bicara,” potongku seraya mencekal pergelangan lengannya dan  langsung membawa Reira ketempat yang pantas untuk berbicara tentang kemungkinan terburuk macam apa yang ter Kijadi pada kami.

“Ngapain lu di Palembang?” Dia bertanya saat kami sudah menepi di sebuah frenchise toko roti ternama.

“Mia lulus di Politeknik Unsri, aku menemaninya bayar uang masuk dan mencari kos-an.”

“Oh!”

“Ra,” panggilku ragu. “Aku mau bicara, hal yang sangat penting. Kuharap kamu bisa mengatakannya dengan jujur.”

Sejak kejadian enam minggu yang lalu, beban batin menggelayuti hati bagai awan tebal dan gelap musim penghujan. Aku bahkan tidak bisa tidur nyenyak tanpa mengalami mimpi buruk tentang dirinya. Entah itu dia yang mencoba bunuh diri karena hamil, atau melakukan aborsi untuk membuang janinnya.

Tapi kali ini aku meneliti, menilai reaksi yang dia tampakkan. Selain matanya yang merah dan sembab, tidak ada hal lain yang bisa dijadikan pertanda.

Dia tetap Reira yang sama seperti yang dikenalkan Aristha padaku. Selalu terlihat cerah, ceria, santai, seperti tanpa beban. Seakan-akan sudah pernah mengalami masalah seperti ini berkali-kali.

Lalu bagaimana caranya supaya aku tidak kesal dan merasa marah sekarang? Andai kami tidak bertemu, apa yang akan dia lakukan? Tidakkah dia punya otak untuk mencariku dan meminta pertanggungjawaban?

Aku menatap Reira, yang kemudian membalas memandang, membuatku jengah dan segera mengalihkan tatapan ke arah lain.

“Lu kenapa sih?” tanyanya polos, “gue tahu, gue cantik. Tapi lu enggak perlu terpesona banget sama gue kayak gitu.”

Dasar ge’er-an. Sempat-sempatnya dia mengajakku melantur ke obrolan remeh anak baru gede. Aku kembali menatap sambil menyandarkan bahu ke kursi dan melipat kedua lengan di depan dada.

“Apa ada yang mau kamu sampaikan sama aku?”

Dia mengangkat bahu tidak acuh kemudian kembali menyesap jus mangga pesanannya. “Gue pikir lu yang mau ngomong ama gue, kan tadi lu yang seret gue ke sini.”

Aku menghela napas panjang dengan lelah. Haruskah aku yang memulai?

Ya Tuhan! Kenapa cewek satu ini sangat tidak peka. Bagian di antara kedua alisnya mengernyit melihat sikap diamku. Satu detik berikutnya kurasakan tendangan pada tulang kering kaki kanan.

“Apaan sih!?” seruku marah, sementara tanganku langsung memegangi bagian yang tadi ditendangnya.

“He he … jangan ngelamun kalau mandangin gue, entar ada yang ngira gue masang susuk di sini,” Reira menunjuk bagian pinggiran mata seraya mengedip genit sambil terkekeh, “gue mau nyadarin lu aja sih, Ziz. Lu enggak mau gue ge’er karena salah ngartiin cara lu natap gue sebagai jenis tatapan nafsu membara, kan?”

Senyum mengejeknya terkembang. Jenis senyuman kurang ajar yang tidak akan pernah diperlihatkan oleh gadis lain yang aku kenal. Tapi dia tentu saja berani.

“Lu kenapa sih, Ziz? Dateng-dateng bikin gue deg-degan liat wajah lu yang serius kayak gitu. Bikin laper aja,” keluhnya sambil menatap penuh minat pada roti cokelat yang kupesan untuknya.

Aku tersentak. Lapar!? Apakah itu suatu pertanda?

“Kamu mau makan apa, Ra? Western food apa Indonesian food? Ayo kita cari ke resto yang lain, kamu mau di mana?” Aku mencecar dalam satu tarikan napas.

Tatapan anehnya lagi-lagi menatap penuh selidik. Seakan bertanya angin apa yang membuatku jadi seperti ini.

Membuatku berdecak dan memutuskan mungkin inilah saatnya menghentikan semua kepura-puraan Reira.

“Jangan lihat aku kayak gitu Ra,” sergahku jengah. “Memang salah kalau aku perhatian sama wanita yang sedang hamil anak aku?”

TBC

Just LoveNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ