Lamban Balau (2)

11.7K 2.3K 110
                                    

Luar biasa banget kemaren komennya 😁 pada pengen Reira ngaku pas dia udah ngaku kok pada sewot 🤣🤣🤣🤣

Enggak jadi hamil!? Apa dia sudah gila? Memangnya kehamilan bisa di-cancel sekehendaknya saja?

“Enggak lucu!” sahutku dingin, seraya menggamit lengannya dan kami kembali melangkah menyusuri pedestrian menuju pintu utama paviliun di belakang Lamban Balau.

“Beneran Ziz, gue enggak hamil!”

Kuhentikan langkah dan berbalik menatapnya dalam-dalam. “Ra! Kamu boleh enggak suka sama aku, tapi bukan gini caranya! Jangan menghindar dari masalah, dan jangan pula sampe tega menolak rezeki yang udah Tuhan kasih ke kita. Suka enggak suka, diharap pun enggak, tolong jangan mengingkari kehamilan kamu.”

Reira mengacak-acak rambutnya. “Aduuuh Aziiiz … lu ini ssshhh ... daaahhh,” dia balik menatapku kesal. “Sumpah bingung gue mau ngejelasinnya gimana sama lu! Yang jelas gue enggak hamil.”

Ya Allah ampuni aku karena udah ngelakuin dosa sebesar zina, juga ampuni aku karena anakku justru mendapat ibu yang seperti ini karena dosa yang kulakukan.

“Ra, please! Jangan ngomong macem-macem, anak kita bisa sedih nanti. Kamu tahu enggak, meski baru janin dia udah bisa ngerasain yang namanya perasaan orang tuanya, penolakan kamu bisa bikin anak kita….”

“Ampooonnn! Tobat gue, tobaaattt!!” Reira berteriak tertahan sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai setapak batu dengan wajah kesal bukan main. Aku terdiam bingung, beneran tidak mengerti alasan kenapa dia sampai harus terlihat begitu desperate kayak gitu. Padahal seharusnya akulah yang marah, bukan!?

“Aku yang kemarin itu sepertinya cuma ‘telat’ tahu gak?”

Aku otomatis menggeleng. Telat!? Telat apa? Telat ke mana? Kok sampe bisa dia gak jadi hamil gara-gara telat? Melihat tampangku yang mungkin terkesan datar dan kebingungan Reira kembali menjelaskan.

“Harusnya aku ‘dapet’ dari awal bulan kemaren, tapi entah kenapa kok bulan kemaren aku enggak dapet. Mungkin bawaan stres sama reaksi keluarga saat Rensa mutusin pertunangan.”

Dapet!? “Dapet apa?”

Ia mengangkat kepala, menatapku dengan tampang putus asa nyaris—seperti—ingin mencekik diri sendiri. “Lu beneran enggak tahu atau pura-pura sih?” tanyanya ketus.

“Aku beneran enggak ngerti, Ra! Sorry kalau keliatannya aku jadi kayak mempermainkan kamu, tapi serius, ‘telat’ sama ‘dapet’ yang kamu maksud itu apaan sih?”

Sambil mencebikkan bibirnya sekilas dia menjawabku, “Dapet inspirasi!” sahutnya ketus, “dapet siklus bulanan, Aziiizz … menstruasi, haid, merah-merah yang keluar dari va—”

Astagaaa!! Aku ngerti sekarang. Cepat kubekap mulutnya sebelum dia terlanjur kasih penjelasan gamblang padaku. “Enggak usah sevulgar itu kali, Ra!” kataku datar.

Dia menepis tanganku dari mulutnya, “Apanya yang vulgar, emang kenyataan kalo haid keluarnya dari va—ffftthhh ….”

Kembali kubekap mulutnya. “Iya-iya aku tahu itu keluarnya dari mana,” potongku setengah membentak setengah memelototi.

Setelah yakin kalau dia tidak akan ngoceh tentang organ vital aku melepas bekapanku di mulutnya. Kutatap dia yang balas menatapku dengan tatapan bersalah. Kulihat ada penyesalan di sana, terlalu jelas sampai membuatku bergidik dalam prasangka paling jahat. “Itu beneran keluar sendiri kan, Ra? Maksudku, enggak karena kamu, ehm ….”

“Aku gugurin?” tebaknya tanggap.

Aku mengangguk lemah tanpa daya. Ini benar-benar berita yang sungguh enggak kuduga. Dan lagi-lagi kulihat dia mencebikkan bibir untuk mencibirku.

Just LoveWhere stories live. Discover now