Mengaku (4)

13.9K 2.3K 243
                                    

Aku terperangah menatap kaku pada wajahnya yang memerah dan kini dibanjiri air mata. "Kamu bilang apa?" Suaraku terdengar parau saat bertanya.

Reira tertawa sinis di antara isak. "Lu enggak salah denger kok." Kata-kata itu meluncur tanpa sanggahan.

Kami saling bertatapan, aku kebingungan dengan apa yang sudah kudengar. Aku tidak pernah meniduri Reira, juga membuatnya hamil. Bagaimana mungkin! Aku terdiam lama berusaha mencerna semuanya sekaligus.

"Kamu enggak pernah hamil?"Aku mengulang kalimat pengakuan Reira tadi bagai balita yang baru belajar bicara. "Aku enggak pernah nidurin kamu?"

Reira mengangguk mantap. Dan aku hanya bisa terpaku beku. Ingatan demi ingatan tentang semua kejanggalan yang dibawa oleh bawah sadarku muncul secara tiba-tiba.

Potongan demi potongan informasi yang dulu tidak pernah membuatku curiga atau bertanya tentang bagaimana terkejutnya Reira saat aku mengatakan akan bertanggung jawab pada kehamilannya.

Tentang bagaimana acuhnya dia pada hal-hal yang justru membuatku tak bisa tidur nyenyak tiap malamnya. Semuanya muncul kembali dan membentuk kesimpulan sendiri tentang kebenaran yang tidak pernah aku lihat sebelum detik ini.

Aku terpukul, syok, linglung, menghadapi kenyataan yang lebih menyakitkan daripada mimpi terburukku selama ini.

Sesak pada dadaku terkumpul membakar hati, mengejutkan aku pada hadirnya satu rasa lain yang tak dapat kukendalikan satu detik ketika semuanya berhasil aku cerna di kepala. Aku terkesiap kesakitan saat menemukan api itu membakar mataku meski tanpa nyala.

Amarah seakan telah menjangkiti jiwa dan raga. Tidak tahu siapa yang mengendalikan tubuhku yang kebas, tanpa bicara apa pun aku berdiri. Rahangku yang mengeras dan tinju yang terkepal seakan menuntut pelampiasan akan kadar amarah yang kurasa begitu menyesakkan ini.

Satu detik setelahnya-tanpa basa-basi-tinjuku menghantam tiang gazebo terdekat. Atap kayu bangunan mungil itu berderak, dan kulihat Reira menengadah kaget menatap ke langit-langit gazebo penuh kengerian.

Aku hanya bisa menatap hampa pada apa yang baru saja kuhantam. Aku ingin berteriak, memaki, mengguncang, bahkan memukul apa pun yang sekiranya bisa meredam amarah. Tapi sebaliknya, yang mampu aku lakukan sekarang hanyalah terdiam mematung dengan wajah mengeras oleh emosi yang masih kucoba untuk kendalikan. Sekejap kemudian aku menarik napas sambil memejamkan mata dan mengalihkan tatapan ke arah lain.

"Kenapa?" Suaraku terdengar bergetar saat bertanya pada Reira.

* * * * *

"Bukannya udah gue peringatin sama lu, pagi itu di café sebelum kita pisah supaya lu enggak usah nyari gue lagi, enggak usah pula merasa bersalah. Harusnya lu melakukan semuanya seperti yang gue suruh dan tentu aja enggak bakal jadi gini ceritanya ...."

Aziz berbalik, kali ini secara frontal menghadapiku, menghakimi, dengan matanya yang menatap tajam menuntut penjelasan. "Itu bukan penyelesaian masalah Suri Reira, juga bukan sebuah pengakuan yang ... yang bisa menenangkan aku kalau antara kita tidak terjadi apa-apa." Suaranya meninggi, mengalir lancar dengan sisa emosi menyertai.

"Kamu pikir masalah seperti itu cuma candaan!"

Aku terdiam, kehilangan kata-kata untuk membela diri.

"Kamu pikir lucu melihat aku yang frustrasi, merasa bersalah, bagai orang bodoh terus memikirkan segala kemungkinan terburuk yang bikin aku nyaris enggak bisa bernapas tiap detiknya?" tatapan Aziz kian menusuk, membuat aku tak mampu berkutik bagai pesakitan mendapat vonis.

"Lucu pasti bagi kamu ngeliat aku kayak orang bego yang menuruti segala kehendak kamu. Itu memang karena rasa bersalah, Reira. Tapi apa sekarang ... setelah aku tahu. Apa kamu enggak ngerasa bersalah sama aku untuk hal itu?"

Just LoveWhere stories live. Discover now