Ngidam (2)

17.6K 2.7K 104
                                    

Yang kemarin cuma 400 kata sesuai janji unggah lagi deh.
Ini digabung ya dua POV jadi satu. Reira dulu baru Aziz soalnya yg Reira cuma 200 kata.
Jangan bingung yah.

“Ngapain senyum-senyum gitu?” tanya Mbak Karisma saat menemukanku  terkikik  sendirian di pantry sedang memutar-mutar ponsel di atas meja.

“Eh, Mbak! Kenapa malem-malem keluyuran?” Aku balik bertanya pada Kakak Iparku itu.

“Haus, Ra,” sahutnya seraya mengambil gelas dari lemari dan berjalan dengan susah payah menuju dispenser untuk mendapatkan air putih segar.

Perutnya yang membuncit akibat ulah mesum Kakak tertuaku, Ridho, sangat menarik perhatian. 

“Ckk … kenapa enggak minta tolong sama Kak Ridho aja sih, Mbak?”

“Huh! Boro-boro udah berulang kali di senggol masih aja ngebo tidurnya.”

Cih! Emang deh Kakakku yang satu itu luar biasa kalau udah tidur. Kurasa meski di bawah kasurnya di taruh bom, kayaknya nggak bakalan kebangun.

“Demo kek, Mbak,” aku mengompori, “masa lagi hamil ditelantarin, kalau istri lagi hamil harusnya kan  disayang-sayang.”

“Kata siapa?” Mbak Risma balik bertanya padaku.

Aku mengangkat bahu sejenak, “Lah di film-film sama novelkan gitu?”

Aku kemudian mendengar kekehan tawa mengejek Kakak Iparku yang tertuju padaku.

“Ira … Iraaa! Dewasa dikit dong, Sayang. Kamu udah dua empat, hampir dua lima kan?” tanyanya yang di balas dengan anggukanku. “Cowok tuh mahluk egois, banyakan mikirin diri sendiri ketimbang orang lain. Bodo amat meski istrinya lagi tekdung tralala, tekdung trilili.”

Aku terkikik mendengar celotehan sewot Mbak Risma, “Itu kayaknya sentimen pribadimu deh, Mbak. Karakteristik cowoknya juga mengarah pada Kak Ridho banget, tapi Ira yakin masih ada kok cowok baik di dunia ini.” 

Kalimatku di sela oleh suara panggilan ponsel. Aku melihat nama pria yang akhir-akhir ini sukses membuatku selalu ingin dekat-dekat.

Ah Aziz …  kalau inget dia, aku selalu aja kebawa nafsu. Nafsu pengen gangguin maksudnya.

Kuarahkan tatapanku sekali lagi pada Mbak Risma “Nah kalau yang ini beda kok, Mbak. Beda banget,” kataku sambil tersenyum lebar dan berlari riang menuju ke teras depan.

* * * * *

Ra!” Meski pelan, rupanya panggilanku bisa menyela perhatian dari seporsi martabak telur yang sedang dia nikmati. Reira menoleh dan menatap padaku dengan pandangan bertanya.

Aku memperhatikan mulutnya yang menggembung penuh dengan makanan. Beneran bukan tipe penganut prinsip ‘makan cantik’ rupanya. “Besok aku mau pulang ke Liwa.”

“Oh! Ya udah. Hati-hati di jalan.”

Tanggapannya sukses membuatku geleng-geleng kepala. Ini cewek kok nggak ada takutnya sih mau aku tinggal balik. Padahal dia kan sedang hamil anakku.

“Kamu, em … bisa ikut aku enggak, besok?” Menilai reaksi tidak pedulinya aku langsung menodong dengan hal yang sudah kupikirkan dengan serius sejak beberapa hari yang lalu.

“Untuk apa?”

“Untuk ketemu orangtua akulah, Ra. Masa buat ngangon kerbau,” ujung-ujungnya aku mulai kehilangan kesabaran dengan reaksi lamban Reira, “kamu kan hamil, sampai kapan kita mau kayak gini? Menurut aku cepat nikah itu lebih baik.”

“Oh, ya udah.”

“Ya udah apa?”

“Kita enggak usah nikah aja.” Aku melongo, menatapnya yang balas menatapku dengan tatapan datar.

“Terus kalau perut kamu semakin besar gimana?”

“Oh itu mah gampang, Ziz. Mikirnya entar-entar aja kalau perutku dah besar beneran,” balasnya sambil tersenyum santai.

Sumpah, ini cewek ya! Kalau cewek lain pasti sudah ngeraung-raung kalau tahu dirinya hamil di luar nikah.

Sibuk minta pertanggungjawabanlah. Lapor Polisi lah. Nyari tempat aborsi lah. Kalau artis sih biasanya ngoceh berurai air mata di infotainment.

Lah, yang satu ini malah acuh tak acuh aja. Kesannya kok ke balik gini, kayak aku yang dihamili dan ngebet minta pertanggungjawaban. Oh Tuhan, aku mulai kepikiran kemungkinan salah menghamili jadinya.

“Keluarga aku harus tahu masalah ini. Kamu enggak bermaksud diam-diam aborsi kan, Ra?” Cubitannya kemudian mampir di lenganku disertai tatap matanya yang melotot.

“Ya enggaklah, Ziz. Gila apa!? Lagian aborsi katanya lebih sakit dari melahirkan. Lagian," matanya terlihat menerawang, "aborsi itu nggak romantis kayak lahiran nanti kamu nggak bisa temenin aku, nggak bisa kasih semangat aku kayak di sinetron kan yah?"

Aku tersenyum kecut, memikirkan imajinasi mengerikan a la Reira. Belum ada memang orang aborsi disemangati.

“Terus, kenapa kamu enggak mau ikut aku ketemu sama keluargaku di Liwa?”

“Uhm … ituuu, eh, nanti aja ya, sekalian saat lamaran Rensa ke Aristha aja,” pintanya. “Aku butuh menguatkan mental dulu kayaknya.”

“Oh!” Aku mengangguk setuju, lamaran Rensa dengan Aristha tidak sampai dua minggu lagi. Reira juga butuh mental ekstra untuk tegak bersamaku menghadapi orangtua kami.

Aku juga tidak ingin terlalu memaksa yang justru bisa membahayakan bagi kesehatan janin dalam kandungannya.

Sepertinya memang itu yang terbaik untuk saat ini, masih ada hari lain yang lebih tepat untuk jujur pada keluargaku.

Aku tersenyum menyetujui setelah mempertimbangkan semuanya. “Oke aku setuju, terus—”

TBC

Just LoveWhere stories live. Discover now