A Slow step

18.6K 2.9K 95
                                    


“Aku, ikut,” rengekan manja Reira disertai sungutan pada wajahnya membuatku tersenyum. Apa pun ekspresinya di mataku dia terlihat sangat berbeda sekarang. Selalu menyenangkan untuk berlama-lama memandangnya.

Karena kondisiku yang masih belum fit, semua tamu yang menghadiri acara kami memaklumi saat Papa Mertua meminta agar aku beristirahat di kamar pengantin usai akad nikah dan ritual adat cacap-cacapan  dilaksanakan.

Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencuri waktu berduaan dengan istri tercintaku yang tentu saja ikut menemani ketika aku masuk ke kamar pengantin untuk beristirahat.

“Sweet,” panggilku seraya membelai pipinya sekilas, kami berdua duduk di sofa rotan panjang yang menurut Ira biasa dia gunakan setiap kali memanggil layanan spa langganannya ke rumah.

Aku duduk bersandar santai dengan kaki berselonjor, sementara dia duduk di tepian kursi menghadap ke arahku.

“Aku cuma mau kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan perawatan, ini atas perintah Om Dokter Idris juga kok!” jelasku seraya menepuk punggung tangannya yang memegangi pergelangan tanganku erat.

Sejak awal itu saling bertaut, kami enggan untuk saling melepaskan satu sama lain.

“Iya, tapi aku mau ikut.”

“Enggak usah, nanti kamu capek. Besok juga kita sudah mau berangkat ke Liwa kan.”

“Ikuuuttt,” rengekannya bertambah panjang, dia bahkan tidak mau melepasku ketika aku mengatakan ingin ke toilet sebentar. Reira benar-benar menempel seperti benalu pada pohon, tapi herannya sekarang aku justru menyukai hal itu. Mungkin inilah sebenarnya yang disebut orang sebagai nikmatnya pacaran setelah menikah.

“Ya udah deh.” Akhirnya aku menyerah, harapanku dia tidak akan betah menemani di rumah sakit sehingga aku bisa meminta salah satu saudaranya atau siapa pun untuk menjemput Ira kembali ke rumah.
“Siap-siap, geh! Enggak mungkin kita ke rumah sakit pakai pakaian kayak gini kan?”

“Enggak papa, aku enggak keberatan,” sahutnya enteng.

Kusentil hidungnya pelan. “Aku yang keberatan.”

“Kenapa?” Kuputar mataku dengan lagak lelah. Haruskah aku menjelaskan kerisauan yang diakibatkan oleh kesadaran betapa cantiknya mempelai wanitaku ini!

Aku yakin tidak ada satu mata lelaki pun yang akan melewatkan kesempatan memandangi bidadari pemilikku itu. Aura pengantin yang melekat pada dirinya adalah magnet yang sangat kuat.

“Kalau mau ikut, pokoknya kamu harus ganti pakaian, oke!?” putusku tanpa menjawab pertanyaannya.

Tidak seperti kebiasannya yang langsung cemberut dan memprotes jika kularang, kali ini Reira dengan patuh mengikuti kemauanku. Dia melangkah ke arah lemarinya dan mengeluarkan beberapa potong pakaian kasual yang pantas untuk digunakan menemaniku kembali ke rumah sakit.

“Jangan pergi loh,” tegasnya sambil tersenyum menatapku yang terpaku memandangi semua kesibukan istri tercintaku.

Aku tersenyum sekilas, betapa ironis kalimatnya itu terdengar sekarang, aku tidak mungkin melarikan diri dari semua ini. Semua yang kutunggu sejak lama dengan segenap hati bertanya-tanya tidak tentu arah. Jadi ketika hubungan ini pada akhirnya bermuara, aku tahu kalau untuk selamanya, sepanjang sisa usia, aku ingin menetap bersama Reira, hanya bersamanya.

Di tengah lamunanku Reira sudah kembali dengan pakaian gantinya. Dalam balutan celana panjang kain berwarna hijau dan atasan tunik linen berwarna kuning gading dia duduk di sisi kursiku sambil merapikan dalaman untuk pashminanya.

“Sejak kapan?” desahku dalam kekaguman akan penampilan barunya.

“Apa, Pun?”

“Sejak kapan Sweet berhijab?”

Tangannya yang terampil mengatur gaya pashmina terhenti usai aku mengutarakan keingintahuan itu. Kulihat kepalanya tertunduk sesaat, dan saat dia kembali menatap ke mataku kulihat matanya yang berkaca-kaca.

“Sweet!”

“Kalau saja waktu itu kamu nggak pergi, mungkin sampai sekarang aku enggak akan jadi kayak gini.” Kata-katanya sulit kumengerti. Apa hubungannya berhijab sama aku? Bukankah ketika seorang wanita memutuskan untuk menutup auratnya seharusnya itu berdasarkan pada ketaqwaannya kepada Allah semata.

“Bingung kan?” tanya Riera sambil tersenyum geli, “kamu masih sama kayak cowok bego yang dulu dengan seenaknya nuduh aku hamil terus ngajak aku nikah ternyata. Ha ha ha ...,” ledeknya tanpa ampun.
Mungkin ini sudah saatnya bagiku untuk membalas istriku ini.

“Sweet, jangan lupa, sekarang aku sudah bisa membuatmu benar-benar hamil loh!” Aku balas menyeringai saat melihat tawa memudar dari wajah jelitanya.

Rona mawar menjadi semburat warna pipinya saat ini. Mungkin Reira sama sekali tidak pernah menyangka aku bisa membalik keadaan jadi satu sama. Dia meringis saat kuulurkan tangan untuk membelai pipinya. Melihat reaksi refleksnya menanggapi godaain kecil dariku sungguh menyenangkan.

“Lalu apa yang terjadi, Sweet?” Aku mengalihkan percakapan kembali ke awal.

Mata Reira mengerjab menanggapi pertanyaanku itu, “Hmm, awalnya aku cuma berusaha untuk melupakan kamu dengan menyibukkan diri. Karenanya aku memperluas pergaulanku trus malah berteman dengan para hijaber dan fashionista Ibukota.

Aku berhijab, berusaha jadi manusia yang lebih baik sebagai bentuk menghibur diri juga membatasi hati juga pikiran dari hal-hal yang terkadang membuatku putus asa,” ceritanya dengan suara lelah.

“Aku bahkan berusaha melapangkan hati dengan menerima segala bentuk perjodohan yang dirancang oleh teman-teman juga keluarga, tapi pada akhirnya segalanya malah membuatku sadar dengan kenyataan kalau aku masih belum bisa melupakan kamu, Pun.” Dia menarik diri dari pelukanku, menatapku dengan mata basahnya sambil tersenyum lembut.

“Mungkin doa-doa aku akhirnya dijawab Allah, tapi malam di mana kamu mencolekku di Facebook adalah malam di mana aku hampir nyerah dan berpikir untuk menerima ajakan ta'aruf  yang datang dari kakak seorang teman di pengajian. Andai saja malam itu Pun enggak bertindak, maka kita …,”aku menelan ludah sambil buru-buru menempelkan jemariku tepat di bibirnya, menghentikan apa yang ingin dia sampaikan dan yang sudah aku ketahui seperti apa ujungnya.

“Bagaimanapun jalannya jika sudah jodoh pasti akan bersatu, Sweet.” Aku menyatakan pandangan optimis yang memang kuyakini. Saat kulihat dia mengangguk setuju dengan kalimat itu, kami kemudian saling bertatapan  dan bertukar senyum.

“So! Kapan kita akan keluar dari kamar dan kembali ke rumah sakit? Atau Pun memang lebih suka ada di sini berlama-lama untuk …,” Dia menggantung kalimat sambil menatapku dengan tatapan usilnya, bersikap seolah pria yang dia hadapi sekarang masih pria yang sama seperti yang dulu selalu dia permainkan. No, sudah nggak lagi, Sayang!

Dengan satu hentakan santai aku bisa membuatnya dalam sekejap berbaring tepat di sebelahku. Reira menatapku horor, tapi dengan santai aku justru menindih kedua kakinya dengan kakiku, mengunci semua tiap geraknya dengan saksama.

“Yuk!” bisikku tepat di telinganya, mataku meredup melihat rupanya dari dekat.

“A-apa?”

“Apa aja deh, seperti yang kamu pikirkan. Dulu saat aku memperlakukanmu seperti ini di appai pareppu kamu bisa menciumku dengan liar, membuatku sangat, sangat mendamba, Sweet. Tapi dulu itu bukan hari milik kita, tapi sekarang ...,” Kutundukkan kepalaku untuk menggodanya.

Jemarinya mempermainkan dasi yang kukenakan, bibir bawahnya digigit pelan untuk menahan terkembangnya senyum malu-malu yang justru baru kali ini kulihat di wajah Reira.

“Jangan sekarang,” nada suaranya terdengar tidak bersungguh-sungguh, “kita masih harus ke rumah sakit, lagi pula,”

“Apa?”

“Pakaian perangku, uhm… maksudku lingerie, aku enggak mengenakannya sekarang.”

Aku menatapnya keheranan, mau ibadah cari pahala di sela-sela paha aja kok pakai repot-repot mikirin kostum yang tepat, apa gunanya lingerie kalau pada akhirnya tampil polos lebih baik. Aku mengernyit menyadari sesuatu. Ah, aku terdengar seperti lelaki mesum sekarang.

Reira merengut seraya mencubiti lenganku, “Pun kan bilang pengen tahu alasan sebenarnya kenapa aku kabur, jadi sekarang aja aku kasih tahu ... aku kabur kemarin itu untuk pergi ke Singapura, khusus untuk beli lingerie idaman yang butiknya cuma ada di sana.”

Aku hanya bisa diam mendengar penjelasan Reira.

“Pun Aziz main ngamuk aja, padahalkan di bandara aku duduk tepat di sebelah Pun Aziz, loh.”

Hah!? Apa!? Aku menatapnya dengan bibir terbuka lebar selama beberapa detik, ingatanku memutar kembali peristiwa kepulanganku ke Palembang, dan ingatan akan wanita berhijab hitam panjang dengan masker menutupi wajah langsung menjadi pemicu ingatanku.

Bahuku bergedik pelan saat aku menyadari hal itu, perutku bergetar oleh tawa tertahan sebelum akhirnya tanpa bisa kutahan tawaku pecah dan aku pun terkekah tanpa henti.

TBC

Akhirnya ketahuan juga Reira kemarin kabur kemana 😁😁😁
Ini part terakhir yah. Dikit!? Iya dikit ajalah udah too much drama juga selama ini kan yah 🤣🤣
Kalo udh 1,2 K aku unggah epilog n Extra yg khusus cuma buat disini.

Just LoveWhere stories live. Discover now