Keputusan yang menyakiti (1)

13.7K 2.3K 282
                                    

Aku mengusap wajah berkali-kali. Amarah yang sempat merajai hati sewaktu bertemu Reira di mall tadi mulai reda seiring dengan pilihanku untuk memilih singgah ke Masjid Agung Palembang.

Sejak masuk waktu asar sampai magrib aku mengisi waktu dengan banyak membaca Al-Qur'an dan berkumpul bersama kelompok pengajian pemuda yang kebetulan sedang berkegiatan di sana.

Sedikit banyak, kegiatan yang dulu rutin kulakukan semasa aktif dalam Rohis Fakultas Teknik Unsri, berhasil membuatku terlupa dengan apa yang menjadikanku marah dan galau.

Aku bertahan di sana sampai isya menjelang. Usai melaksanakan salat jamaah, aku baru beranjak untuk kembali ke hotel. Saat sedang mengikat tali sneakers satu tepukan pelan pada bahu kanan membuatku kaget dan refleks menoleh ke belakang.

"Bener ternyata kamu, Aziz," orang yang menepukku menatap sambil tersenyum lebar dan aku terpana karena mengenali pria yang menyapaku, "tadi aku sempat ragu mau menegur."

"Ya Allah, Kuyung Akram!" Aku balas tersenyum sambil mengulurkan tanganku untuk menyalami seniorku di fakultas Teknik dulu. "Apa kabarnya, Yung? Enggak nyangka ketemu di sini. Kabar terakhir yang kudengar Kuyung bekerja di Kuwait, sudah kembali lagi kah ke sini?" cecarku dengan pertanyaan beruntun.

Kuyung Akram hanya tertawa sambil duduk di sebelahku. "Ya, beginilah, Ziz. Sekarang lagi ambil cuti kerja untuk balik ke Indonesia tapi nanti kembali lagi ke sana, maklumlah aku bukan anak tauke sepertimu, terpaksa harus mengais rejeki jauh-jauh ke negeri orang jadi TKI."

"Alah, selalu merendah saja, Kuyung tuh. Faktanya Kuyung dipakai orang karena ilmunya tinggi." Kami tertawa bersama, larut dalam kenangan masa kuliah.

Jujur aku agak sedikit malu saat mengatakan padanya bahwa sejak usai kuliah sampai saat ini aku sama sekali tidak pernah melamar kerja ke mana pun karena faktor keluarga yang kurang mengijinkan.

"Aku justru terkesan sama orang muda yang mau memajukan kampung halaman setelah usai kuliah, Ziz," hiburnya tulus.

Aku menggelengkan kepala. "Tapi kadang aku jenuh juga, Yung. Aku ingin melihat dunia luar, bertemu dengan banyak orang juga bekerja sesuai dengan minat dan bidang yang aku kuasai."

"Kamu serius, Ziz?" Kuyung Akram menatap padaku itu dengan dahi berkerut, "kalau kamu serius, aku bisa bantu kamu." Seniorku itu mengeluarkan dompetnya dari saku celana bahan yang ia kenakan dan mengeluarkan selembar kartu nama dari dalamnya.

"Ini kartu nama atasanku, Ziz. Kalau kamu benar-benar berminat kamu bisa hubungi dia di kantor pusat perusahaan kami di Ulsan, Korea Selatan. Jangan khawatir, dia orang Indonesia meski memang keturunan. Kebetulan perusahaan kami butuh banyak sarjana di bidang teknik pertambangan. Terutama yang menguasai studi kelayakan pembangunan anjungan lepas pantai, aku ingat dulu skripsimu tentang itu juga kan?"

Aku tersenyum penuh semangat.

"Kalau kamu benar tertarik, kamu telepon dia ... bilang saja kamu adikku, oke."

"Iya, Yung."

Kemudian dia menepuk bahuku lagi, "Sudah malam, Ziz, aku pulang dulu Istriku pasti sudah nunggu dari tadi ini."

Mendengar kata-katanya aku jadi menatapnya sedikit tidak percaya. "Loh, Kuyung sudah menikah? Kok enggak ada kabarnya, kapan walimahnya juga aku kok enggak tahu."

"Ha ... ha ... memang belum walimahan Ziz, ini Istri tiban, panjang ceritanya ... kalau nanti kamu gabung dengan perusahaan tempatku kerja, kita pasti punya banyak waktu buat ngobrol-ngobrol. Jadi nanti aja aku bagi-bagi cerita gimana caranya supaya ketiban bidadari surga, ya he he ...."

Mendengar kalimat bernada gurauan yang dia lontarkan, mau tak mau aku hanya bisa tersenyum simpul dengan hati miris. Ingatanku kembali pada wajah Reira. Sampai tadi siang aku masih berharap gadis itu bisa menjadi bidadari milikku. Tapi kini, aku bahkan sudah tidak berani memimpikan apa pun lagi.

Just LoveWhere stories live. Discover now