Mengikat Janji (3)

17.4K 2.7K 172
                                    

Ini sungguh di luar kewajaran. Aku memikirkan itu sambil mengedipkan mata beberapa kali berharap dapat membuka kelopaknya yang terasa bagai dilengketkan antara satu sama lain.

Hal terakhir yang aku ingat adalah langit-langit rangka di bandara yang berputar seakan mau runtuh. Juga seruan tertahan dari orang-orang di sekitar.

Sekarang yang kudengar tak lebih menyerupai ketenangan total yang mengerikan. Sejauh apa pun aku berusaha memasang telinga tidak ada suara lain yang terdengar, kecuali helaan napasku.

Susah payah aku membuka mata, kemudian kuangkat tanganku untuk melihat pada arloji yang ada di sana. Ya Allah! Sudah jam setengah tiga dini hari, apa yang terjadi denganku? Aku memandang berputar pada sekeliling dan menemukan suasana khas kamar rumah sakit yang membuatku menghela napas pelan kemudian baru kusadari jika pada punggung tangan kiriku terpasang jarum infus. Apa pun yang terjadi padaku, tentu bukanlah hal yang baik.

Di mana aku sekarang? Hanya itu yang ingin kucari tahu. Tatapan mataku mengedar ke sekeliling, berusaha mencari tas ransel dan bagasi milikku, namun tidak satu pun dari barang-barang itu ada di sekitar.

Tuhan! Aku harus menghubungi Reira. Tapi bagaimana caranya? Aku menatap lagi ke sekeliling dan menemukan benda cokelat itu, bel rumah sakit yang terhubung langsung dengan intercom perawat jaga.

Tanpa ragu aku meraihnya, bunyi alarm panggilan memenuhi seluruh ruang kamar. Belum sempat perawat jaga membalas panggilan secara tiba-tiba pintu terbuka dan  dua orang masuk sekaligus ke dalam kamar.

“Papa!? Mama!?” sapaku bingung.

Mama tidak mengatakan apa pun dia langsung menyerbu ke arahku dan memelukku dengan erat, “Nuwo,  kamu enggak apa-apakan, Sayang?” tanyanya sambil melepaskan dekapannya kemudian memeriksa nyaris seluruh tubuhku. “Gimana perasan Wo sekarang? Nuwo mau Mama ambilkan sesuatu?”

Cepat kugelengkan kepala. “Enggak Ma, aku hanya kurang istirahat, perjalanan pulang yang panjang,”

“Wo, kan Mama udah bilang supaya enggak usah kerja jauh-jauh liat kondisi kamu sekarang, Nak! Badanmu kurus, hitam pula ... kamu pasti enggak makan dengan teratur kan?”

Mulai deh kebiasaan Mama yang suka melebih-lebihkan sesuatu. Sikap memanjakannya yang cenderung over itulah yang membuatku tidak bisa keluar dari Liwa selama bertahun-tahun.

Keputusan untuk kerja ke Korea pun sebenarnya kulakukan dengan diam-diam, hanya dengan mengatakan aku ingin liburan ke luar negeri, sehingga Mama sudah tidak bisa mengatakan apa pun lagi saat aku di tugaskan ke Eropa.

“Aku enggak apa-apa kok, Ma,” bantahku sambil tersenyum. Tatapanku beralih pada Papa yang hanya menatapku dengan tatapan lega meski tampak menyiratkan kerisauan pada kedalamannya.

“Kata dokter kamu infeksi lambung jadi kamu harus bedrest total, tapi bagaimana perasaanmu sekarang?”

Aku tersenyum, “Seperti yang Papa lihat, sudah jauh lebih baik sekarang” timpalku, “aku enggak mungkin stay di sini kan, Pa? Beberapa jam lagikan aku mau nikah.” Aku melihat Papa dan Mama saling bertukar pandang sambil tersenyum.

“Sudah Papa bilang, kan Ma!” Papa merengkuh bahu Mama dengan penuh kasih, membuat wanita yang telah melahirkanku itu menyandarkan kepalanya ke bahu Papa dengan sikap manja. “Anak lelaki Papa terlalu tangguh untuk dikalahkan sama sakit perut.”

“Sekarang kamu tidur dulu lagi ya, Wo,” perintah Mama, sambil membantuku kembali rebah ke ranjang rumah sakit, “nanti beberapa jam lagi Mama bangunin kamu untuk bersiap.”

Aku ikut tersenyum mendengar gurauan itu. “Lalu, bagaimana dengan ini?” aku menunjukkan selang infus yang direkatkan pada punggung tangan kananku, “enggak mungkin aku nikah sambil bawa-bawa ini?”

Just LoveМесто, где живут истории. Откройте их для себя