Mengaku (3)

12K 2.4K 129
                                    

Sejak bersama di dalam mobil, aku bukannya enggak sadar jika Aziz lebih banyak  diam ketimbang mengajak bicara seperti biasa.

Tidak masalah sebenarnya sih, toh bukan cuma satu kali ini Aziz mengacuhkan aku. Sering malah. Tapi mengacuhkan dengan bibir terkatup membentuk satu garis lurus yang sinis, baru sekali ini aja aku melihatnya.

“Ziz! Lu, kenapa sih, sakit? Dari tadi kok diem aja,” tegurku penasaran.

“Enggak! Biasa aja, emang aku orangnya kayak gini kan?” Responnya begitu dingin.

Aku menatapnya dengan dahi berkerut. Yakin pasti ada sesuatu sampai dia kelihatan nyaris seperti sedang menahan amarah. Tapi untuk bertanya menyelidik lebih jauh aku ragu, apalagi selama ini aku perhatiin Aziz bukanlah tipe lelaki yang mau bicara terbuka tentang perasaannya.

“Oh, ya udah, gue kira lu kenapa-kenapa,” sambungku sambil tersenyum. Kemudian aku memilih untuk memeriksa ponselku, memeriksa daftar obrolan, ada pesan masuk dari Landi dan kontan itu membuatku tersenyum ceria.

Landi adalah pria dari masa lalu, pacar pertama dari masa cinta putih abu-abu. Jujur saja bertemu kembali dengan Landi kini membuat hatiku berbunga-bunga. Dalam sekejap aku sudah membalas pesan itu, mengetikkan tiap kalimat sambil tersenyum-senyum.

Entah berapa lama aku melakukan itu, keheningan kian terasa mengerikan saat kami hanya saling berdiam diri, saat aku menoleh ke arahnya—membaca ekspresinya—aku tersadar akan satu hal. Bahwa sejak tadi apa pun yang kulakukan tidak luput dari perhatian Aziz.

“Aku mau ngomong serius sama kamu.” Aziz mengatakan itu saat kami sampai di rumahku. Ekspresinya membuatku mengerutkan dahi sekilas, kemudian mengangguk setuju.

“Kita duduk di gazebo belakang aja ya, apa lu mau ngobrol di mobil kayak gini?”

“Terserah,” sahutnya tak peduli, tapi melihatnya melepas safety belt aku paham jika ‘terserah’ yang dia maksud artinya adalah terserah padaku.

Mengikutinya keluar dari mobil, kemudian kudahului langkahnya masuk ke dalam rumah. Kami tidak benar-benar masuk melainkan melewati teras samping yang langsung terhubung ke teras belakang.

Aku menaruh belanjaan ke lantai gazebo yang beralas tikar dari anyaman bilah rotan. Aku mengambil tempat duduk di tepinya dan Aziz ikut duduk di sebelah, tatPannya tertuju ke arah kolam ikan koi dan kami sama-sama terdiam tak hendak memulai percakapan hingga aku mendengarnya menghela napas panjang sebelum bicara.

“Ra, aku tahu kita sudah sama-sama enggak nyaman dengan hubungan ini,” katanya pelan, “kalau enggak, mana mungkin kamu merengek-rengek minta kita beneran pacaran kan?” Dia menatapku lama.

Meski ingin melayangkan bantahan, jika sebenarnya apa yang dia sampaikan bukanlah apa yang menjadi keinginanku, pengakuan dia yang mencintaiku adalah tujuan yang sebenarnya tapi entah mengapa melihat keseriusan dalam ekspresi Aziz aku hanya bisa mengangguk dan terdiam.

“Aku juga gitu, Ra. Aku mulai ngerasa enggak nyaman ... tapi bedanya aku tetep enggak mau kalau itu dijadikan alasan pembenar untuk kita pacaran.”

“Terus? Lu maunya gimana?”

“Aku maunya kita nikah … menurutku itu lebih baik.”

Belum selesai dia mengatakan semua keinginan dan buah pikirannya aku sudah mendengus sambil tertawa sinis. “Bagi lu bikin keputusan besar buat nikah mudah banget ya, Ziz! Heran gue, ini wajar apa enggak sih sebenernya?”

Sekarang tatapan keheranan juga terlihat dari wajah pangeran es nya saat balas memandangiku.

“Kenapa kamu berpikir kayak gitu?” Tanyanya penasaran.

“Maaf Ziz, dalam hal ini kita mungkin berbeda. Bagi gue, nikah itu harus disertai dengan hal-hal penting selain itikad baik, cinta misalnya. Itu yang enggak kita punya dalam hubungan ini.”

“Ra, cinta bisa muncul dengan sendirinya nanti,”

“Itu kalau muncul, kalau enggak? Apa selamanya gue cuma harus berpegang dengan itikad baik lu? Menerima menjadi pendamping seseorang hanya karena rasa bersalah? Dan selamanya gue enggak bakal pernah denger lu bilang cinta ke gue, lu bilang sayang ke gue, gitu?” cibirku sinis.

“Sori, Ziz, tapi gue enggak bisa nerima diperlakukan a la kadarnya, gue cewek biasa yang butuh diistimewakan, butuh suami yang ngerti saat yang tepat buat manjain gue meski cuma sesekali. Masalahnya dalam diri lu gue enggak liat kualitas itu.”

“Ra, please ... aku enggak ‘sekering’ itu juga kali.”

“Lu bukan sekedar kering, Ziz. Lu kerontang. Kayak gurun. Bikin gue kehausan tahu enggak?” kupotong kalimatnya dengan berapi-api. “Gini aja deh, sekarang lu jujur sama gue, apa sedikit aja dalam hati lu ada cinta buat gue?” Kutatap dia dalam-dalam.

Dia mengalihkan tatapannya dengan tampang bersalah, sinar matanya yang kelihatan resah sudah menjelaskan begitu banyak hal untuk di bagi denganku.

“Jawabnya enggak kan?” cecarku cepat, rasanya hatiku benar-benar sesak, belum lagi mataku yang kini mulai terasa perih.

“Ra, bukan begi—”

“Terus, buat apa lu masih bertahan sama gue, Ziz?” Tidak memperdulikan usahanya untuk berdalih aku telanjur memotong penjelasannya dengan pertanyaan lain.

Saat lagi-lagi dia tidak menjawab dan malah sibuk menghindar dari tatapan menusuk yang aku tujukan padanya, aku tahu jika jawabnya sudah kutahu dari dulu. “Bagus, Ziz, gue udah tahu kok apa jawabnya.”

“Ra, please ... kamu jangan mojokin aku kayak gini dong,” desahnya memohon dengan tampang putus asa, “aku cuma enggak mau hidup dalam penyesalan, Ra.” 

Sempurna.

Pengakuannya sempurna menyakitiku.

Penyesalan, jadi selama ini aku hanyalah bagian dari hal itu baginya.

Aku tersenyum pahit, dan kemantapan dalam hati menyuruh aku harus mengatakan kebenaran, kebenaran jahat yang aku sembunyikan.

Kebenaran yang kuharap bisa berbuah manis tapi nyatanya membuatku harus menelan kepahitan sejak rasa ketertarikan padanya begitu kuat mencengkeram jantung.

“Lu enggak punya alasan buat larut dalam penyesalan, Ziz.” Suaraku nyaris seperti bisikan saat mengatakannya, setetes air mata bergulir dari mataku membuatnya tertegun. “Lu enggak pernah bikin gue hamil, lu enggak pernah nidurin gue saat itu. Semuanya hanya akal-akalan gue. Asal lu tahu.”

TBC

Hayook gimanaaaa .... Udah deg2an belum? Udah ngerasa takut belum sama pengakuan Reira ... Seru nggak?? Masih ada satu bagian dari part ini loh yah ... Unggah Sabtu apa Senin aja enaknya yah 😁😁😁

Just LoveWhere stories live. Discover now