Way back into love

16K 2.9K 375
                                    

Diharap banget tiap yg baca kasih vote, aku kepo maksimal pembaca judul ini berapa kok kayaknya susah banget lewat dari angka 1K vote padahal viewernya selalu lebih. Bikin aku mikir sepelit apresiasi itukah pembaca wattpad masakini 🤔🤔

Waktu selalu berjalan lamban bahkan bisa membunuh kesabaran jika kita sedang menanti suatu hal yang penting.

Itulah yang kurasa sejak Papa memberitahukan tanggal pernikahanku dengan Reira yang jatuh pada penghujung bulan September. Untung saja berkat kecanggihan teknologi aku bisa tetap terhubung dengan calon istriku tercinta, kalau tidak pastilah aku semakin merana saja.

Saat akhirnya hari itu datang, aku keluar dari bilik yang sudah kutinggali nyaris sepuluh bulan terakhir dengan penuh senyum. Beberapa rekan kerja, orang-orang dari Eropa, juga sebagian dari Asia Timur yang tahu jika aku akan pulang untuk menikah menyambut dengan tepukan di bahu saat aku melewati mereka.

Rata-rata mereka mengucapkan semoga aku beruntung dalam perjalanan pulang yang akan kutempuh, beberapa yang lain sibuk menggoda dan melempar candaan tentang geolog yang tidak pernah berhenti bereksplorasi dan bereksploitasi bahkan saat cuti.

Samuel Griddel, rekan kerja yang lumayan akrab denganku malah lebih parah lagi, dia sibuk berdoa supaya tidak ada masalah bagiku saat akan ‘membuat berdiri’ rig pengeboranku yang hanya kutanggapi dengan tawa karena tentu saja kepulangan ini sangat membuatku bersemangat.

Jam sepuluh pagi waktu setempat, sebuah helikopter kiriman dari perusahaan minyak yang menjadi rekanan perusahaan jasa kontruksi tempat aku bekerja datang menjemput. Selain kapal, satu-satunya akses untuk kembali ke Stavanger—kota terdekat dari tempat di mana anjungan lepas pantai ini di dirikan—adalah dengan helikopter.

Berkat bantuan Geraldi Lim, atasan langsungku juga Kuyung Akram, secara istimewa aku justru di jemput dengan itu untuk mempercepat kepulangan.

Tidak makan waktu lama terbang dari anjungan ke heliport di bandara Sola. Sampai di sana aku tidak membuang waktu dan segera mengejar penerbangan ke Oslo Gardermoen Airport yang memakan waktu sekitar tiga puluh menit.

Resiko terbang berkali-kali memang sudah jadi ‘makanan’ pekerja sepertiku, dan aku termasuk yang beruntung karena wilayah kerjaku di Eropa membuat segala fasilitas lebih mudah di dapat, itu justru tidak terjadi jika bekerja di negeri sendiri.

Dalam dua jam aku sudah berada di  dalam pesawat Lufthansa, menunggu penerbangan dari Oslo Gardermoen ke Incheon International Airport, Seoul. Sebelum mengaktifkan airplane mode kuputuskan untuk membuka mengecek kegiatan calon istriku tercinta sekalian mengabari jika aku akan segera berangkat ke Seoul.

Reira memang aneh, sejak hari pernikahan semakin dekat dia malah melarangku untuk mendengar suaranya, yang lebih parah dia juga menolak permintaanku untuk mengirimi fotonya.

Setiap kali aku meminta, alasannya selalu sama seperti sebelumnya. “Gue masih gitu-gitu aja kok, Ziz, belum berubah jadi kayak barrel biru standard oil he he ....”

Alasannya terasa mengada-ada, tapi Reira sepertinya benar-benar menutup mata juga hati dengan alasan kangen yang kukemukakan berkali-kali. Kulebarkan mata dan bibirku mengukir senyum, secara refleks sikap tubuh yang semula tegang terasa rileks saat melihat Instastory-nya.

Tidak ada yang aneh hanya saja sepertinya di rumah keluarga Ilham suasana menjelang pernikahan kami mulai terasa.

Ruang tamu mulai dihiasi tirai tujuh warna, aneka bunga berwarna putih dan merah muda mengelilingi alas duduk berlapis kain songket dan bordiran benang emas yang diletakkan bersama meja kecil dan sebuah mushaf.

Aku membaca caption yang disertakannya

H-3, siap-siap buat acara betamat Al-Quran, Bismillah.

Just LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang