Move on

15.9K 2.5K 126
                                    

Dua bulan berlalu dengan cepat.

Selama itu terjadi, aku seakan tidak bisa merasakan waktu yang berjalan setelah kepergiannya. Mungkin karena aku begitu larut dalam rasa sakit.

Aku juga sudah tidak hirau dengan situasi di sekitarku sampai-lagi-lagi-Rensa mengidamkan brengkes ikan baung, sate manis khas Palembang, dan bolu kojo buatan Mami Saidah, dan-lagi-lagi-tugasku untuk jadi kurir bagi setan satu itu.

"Berapa berat badan kamu sekarang?" Entah setan apa yang membuat Rensa menanyakan itu di sela-sela menyantap makanan yang kubawa.

Aku mengangkat bahu dengan cuek sebagai jawaban.

"Enam puluh kilo," kataku ragu, "mungkin."

"Kalau gitu stop makan-makanan manis." Dia menarik paksa kotak es krim Haagen Dazs yang kucolong dari lemari es-nya.

"Woiii ... jangaaan!" aku berupaya merebut kembali kotak berisi cemilan surga itu dari tangannya, tapi dia terlanjur menjauhkannya dengan cara mengembalikan ke dalam kulkas.

"Pelit." Aku mencibirnya.

"Ini demi kebaikan kamu," dia menatap penuh peringatan, "kalau mau bunuh diri bukan begini caranya."

Aku terdiam karena merasa terpukul. Bagaimana mungkin aku lupa jika setan yang satu ini maha tahu, tentu saja dia tahu tujuan pola makanku yang sejak dua bulan lalu berubah.

Aku yang biasa menjaga pola makan, terutama yang berkalori tinggi kini malah jadi pemakan segala. Orang lain mungkin akan berpikir jika caraku menghilangkan stres adalah dengan makan banyak-banyak dan tidak ada yang berpikir jika cara paling halus juga paling enak untuk bunuh diri tentu saja lewat makanan.

"Terus gue harus apa? Gue pengen sedikit aja bisa ngelupain rasa sakit gue, jadi mungkin kalau badan gue yang sakit gue enggak bakal menderita amat kayak gini."

Rensa geleng-geleng kepala mendengar jawaban itu. "Teori kamu berantakan, bahkan di saat hati sakit sekali pun kamu tetap butuh jiwa yang sehat untuk menopang pikiran waras hingga setiap tindakan yang kamu ambil enggak lebih menyakiti lagi nantinya, Reira."

Lagi-lagi aku kena ceramah gratis dari Tuan-Maha-Tahu-yang-Beneran-Emang-Tahu itu. Di depannya aku hanya bisa diam bagai pesakitan mendengar omelan disertai tatap mata mengintimidasi Rensa.

"Kalau kamu memang cinta Aziz, kejar sana ke Korea. Tapi jika kamu sudah enggak punya keyakinan, juga kamu harus tetap hidup untuk buktiin jika dia salah besar udah ninggalin kamu. Jadi kamu harus bahagia, bikin dia menyesal dengan temuin lelaki lain yang jauh lebih baik dari dia."

"Gue tahu!" sahutku cuek, kali ini kusambar toples cemilan berisi kacang polong emas kesukaannya, "tapi ngomong emang lebih mudah dari beraksi, lu pikir gampang bagi gue ketemu cowok yang enggak brengsek dan cuma terkesan sama kecantikan dan tubuh gue?"

"Jangan mulai pesimis!" Tanpa basa-basi Rensa memperingatkan.

"Gini aja deh lu kasih aja salah satu temen lu di club playboy buat gue gimana?"

"Enggak bisa. Enggak nyadar apa kalau namamu udah di blacklist sama member yang lain sejak kamu nge-date ama Theo?" Rensa bicara dengan tampang masam padaku. "Kamu bikin Theo yang paling gila cewek kehilangan nafsu selama sebulan penuh. Itu rekor paling mengerikan dalam sejarah penghinaan bagi para member klub."

Mau tidak mau aku nyengir sambil memandangnya, ternyata meski di depanku Theo masih suka sok tebar pesona ternyata di belakang dia takut juga sama aku.

"Sesekali bikin kalian kapok kan enggak apa-apa," aku berusaha membela diri. "Ngomong-ngomong soal nyuruh gue ke Korea," aku beringsut mendekati Rensa, "lu sayang gue kan Pu?"

Just LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang