Ngidam (3)

17.7K 2.7K 126
                                    

—terus kapan kita periksa ke dokter kandungan?”

“Uhuk … uhuk … ukh!” Aku tersedak. Kurasakan tangan lebar Aziz buru-buru menepuk punggungku dengan lembut.

Gila, lama-lama bisa mati nih aku dalam keadaan sedang menanggung dosa besar akibat ngebohongin anak orang, hidih amit-amit deh. Kayaknya memang aku harus meluruskan kebohongan ini secepatnya. Tapi gimana caranya?

“Ra?” Panggilan bernada tanya itu tetap penuh tuntutan. Aku menatap Aziz dan mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa geli yang berlebihan.

“Duh, Ziz … gue belum siap kalau diajak ke dokter.”

“Tapi Ra, perkembangan otak janin itu dimulai sejak dini. Aku enggak mau gara-gara kekurangan asupan asam folat anakku nanti jadi bego.”

Bukan main! Ini cowok sampai tahu asam folat segala sih, kayak bu-ibu sama mak-emak yang keseringan main di Posyandu. Kubelai rambutku yang lurus sebagai pengalihan rasa ingin tertawa.

“Kalau dokter kandungannya di Palembang gue enggak berani, Ziz. Jarang ada dokter yang tempat prakteknya sepi. Nanti kalau ada yang liat gue main-main ke Dokter kandungan terus lapor ke Mama atau Mbak Risma gimana coba?”

“Kalau gitu kita belanja susu hamil aja dulu ya.”

“Belanja susu hamil!?” ulangku terkaget-kaget, “bagus banget sarannya. Udah itu kita belanja daster, terus popok bayi, troller, jangan lupa juga, lu kasih gue  golok sekalian!”

Dahinya mengernyit heran. “Golok!” ulangnya, “jangan bilang kamu ngidam, golok juga? Duh, ngidamnya yang normal aja dong, Ra! Ngidam kok pengen golok, buat apaan coba?”

“Buat bunuh diri!” sahutku ketus, “bagus banget itu sarannya tadi, kalau Mama, Papa, sama Kakak-kakak sampe tahu gue bisa kena mutilasi tahu enggak?” jawabku sambil manyun.

Dia terdiam sambil melengos ke arah lain, mungkin kesal dengan jawabanku tadi. Meski begitu seperti biasa di mataku dia tetap terlihat dingin dan serius. Raut wajah yang mahal dihiasi senyuman sangat tampan untukku.

Aziz mungkin tidak memiliki kulit seputih Aristha, Tito, atau Rensa. Tapi warnanya yang sedikit lebih gelap memberi kesan sosok pria yang kuat dan dapat diandalkan.

Ekspresinya yang selalu tenang—bahkan saat marah sekalipun—seringkali mengingatkanku pada aktor Fedi Nuril dalam versi lebih tinggi, lebih berisi, dan lebih laki. Eh, bukan berarti di mataku Fedi Nuril itu lekong sih. Tapi, yeah, kalau sudah liat otot punggung, perut six pack, sama bokong aduhainya, emang Aziz lebih dahsyat dari Fedi Nuril, pastinya.

“Gimana kalau kita ke Jakarta, aja?”

“Hah, ngapain?”

Dia memutar mata dengan tampang bête. “Periksa kandunganlah. Emang kamu pikir apa?”

Yaelaaa … masih aja nih orang maksa pengen ke dokter kandungan. Suka bener kayaknya, ya, mau jadi bapak. “Oh! Oke, pesen tiket yang banyak gih sono.”

“Untuk apa?”

“Kan lu maksa gue mesti minum susu juga, kan?”

Dia mengangguk sambil tersenyum setuju.

Karena gue enggak mungkin minum susu hamil di rumah jadi tiap mau minum gue ke Jakarta aja.  Sehari dua kali, pagi ama malem, gimana?”

“Kurang jauh,” sambungnya ketus,
“kenapa enggak ke Singapura sama ke Penang aja sekalian.”

“Boleh aja. Mau banget malah! Besok gue tunggu tiketnya,” aku menyahuti santai sambil kembali mengunyah martabak telor bebekku, “emang sanggup ngebiayainnya?” Mulut kurang ajar kayak perosotan anak TK ini melontarkan pertanyaan bego yang mestinya tak perlu mendapat respon. Mengingat, betapa tajirnya keluarga Aristha, aku yakin keluarga Aziz juga berada dalam level yang sama.

Tapiiii … sah-sah saja kan, ngasih pelajaran ama cowok kaya nan manja yang cuma bisa ngandelin duit ortunya kayak pria yang ada di sampingku ini. Seenggaknya biar aku tak melulu dikira cewek yang suka morotin harta tanpa pandang bulu.

Enggak lah yeuuu, hartanya monyet aku nggak doyan. “Berobat keluar kan mahal. Lagian gue enggak pernah tahu kalau lu kerja? Kalau uangnya hasil minta sama ortu lu siiih nehi jayjayee … gue enggak mau!”

*****

Mendengar pernyataan yang begitu gamblang itu aku terperangah.

Rasanya kayak baru dapat tamparan telak di tempat umum. Tapi yang paling menyakitkan bukan dari rasa tersinggung yang kurasa, melainkan dari kesadaran tentang kenapa Reira terlihat ogah saat aku ajak menikah.
Dia pasti menyangka aku hanyalah anak manja yang hidupnya masih bergantung pada orangtua.

“Ukhmm,” aku terbatuk pelan “Aku punya lebih dari cukup uang untuk membawamu pergi ke dokter kandungan mana pun yang kamu mau Ra, dan … jangan khawatir,” kucoba memberi senyum untuk menenangkannya, “selama ini aku mendapat bayaran bagi hasil dari mengurus perkebunan kopi sama toko-toko milik keluargaku juga milik keluarga Patra Negara.”

Pengakuanku membuat Reira terlihat serba salah. Kebiasannya membelai-belai rambut panjang lurus berpotongan a la Cleopatra-nya, jika sedang gugup langsung muncul.

“Sori, Ziz, gue enggak tahu,” katanya separuh berbisik.

Aku mengangguk sambil tersenyum datar, berusaha memaklumi anggapannya.

“Enggak apa, Ra. Kamu berhak kok mengetahui segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan buat menikahi seseorang.” Aku mencoba bijak seperti yang selalu diajarkan juga dipesankan oleh para tetua keluarga sejak aku masih kecil.

Dia tersenyum lebar saat balas menatapku, kemudian dalam sekejap kedua lengannya sudah menggelayut manja di leherku.

“Aziiiz, kalau kayak gini caranya gue makin jatuh cinta deh sama lu.”

Ih, nih cewek! Kucekal lengan itu, berusaha untuk melepaskannya dari leherku, kalau sudah begini biasanya tidak perlu memanggil Ki Joko Bodo buat tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Ra, udah dong. Lepasin, malu tahu!”

“Dimaklumin dong, Ziz, gue kan lagi hamil.”

“Apa hubungannya hamil sama peluk-peluk?” ketusku geram.

“Ya ada lah! Ibu hamil tuh libidonya meningkat, makanya aku nafsuan ama kamu, bawaannya pengen peluk-peluk ama nempel-nempel.”

“Ckk … itu alesan kamu aja kali, Ra. Enggak hamil juga kamu punya hobi peluk-peluk aku kan?” Kupelototi dia yang balik cengar-cengir tanpa dosa.

“Terus salah gitu kalau gue hobi peluk-peluk?”

“Salah lah! Kita kan belum nikah.”

“Ckk … kuno lu ah! Lagian kayak kata lu tadi, gue berhak tahu segalanya sebelum mutusin buat nikah sama seseorang.”

“Apa hubungannya?”

“Yang kemarin pas bikin dedek bayikan inget-inget lupa rasanya, Ziz. Sekarang gue kan jadi pengen inget lagi ukuran anu lu sama berapa lama bisa di pa—”

“Aku balik, dah malem … Assalammualaikum.” Cepat kusambar kunci mobil dan buru-buru bangkit dari lantai gazebo yang kududuki, setengah berlari aku mengabaikan teriakannya yang memanggil-manggil.

Mungkin ini pengecut namanya, tapi aku benar-benar tidak mau ngeladenin calon istriku yang otak korsletnya dan perlu diperiksakan ke psikiater itu.

TBC

Just LoveDonde viven las historias. Descúbrelo ahora