18

4.7K 215 0
                                    

Perjalanan menuju bandara menghabiskan waktu tujuh puluh lima menit dari rumah Olin, dan itu belum ditambah macetnya Jakarta bila jam-jam seperti ini.

Dan beruntunglah Olin karena alam, sedang mendukungnya sehingga tidak terjebak oleh kemacetan yang parah.

"Pak, cepetan dikit bawa mobilnya," desak Olin.

"Iya, Non," jawab supir keluarga Olin yang bernama Pak Rahman.

"Sabar Lin, sabar." ucap Raina menenangkan Olin yang sedang gelisah itu. Olin menengok ke arah Raina.

"Gimana bisa sabar, gue khawatir sama keadaan Devan. Gue takut Devan ninggalin gue." Olin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Iya, kita tau lo khawatir, tapi dengan lo begini gak bakal bantu apa-apa. Lo harus berdoa untuk keselamatan Devan, semoga dia gak kenapa-napa."

Eriska mengangguk membenarkan perkataan Raina. "Bener kata Raina, Lin, lo jangan terus-terusan nangis. Lebih baik lo berdoa, ya." Olin pun membuka kedua tangannya yang menangkup wajahnya, ia mengangguk pada Raina dan Eriska.

"Iya, kalian bener. Gue gak boleh terus-terusan nangis begini. Thanks sarannya, lo berdua emang sahabat baik gue." Mereka bertiga berpelukan bersama.

Menunggu perjalanan yang sangat menyesakkan—bagi Olin, akhirnya mereka telah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Mereka langsung menghampiri keluarga Devan yang sudah berada di sana.

"Ma," panggil Olin ketika melihat keberadaan keluarga Devan.

"Olin," seru mereka berbarengan, Mama Dyan langsung memeluk Olin.

"Gimana kabarnya, Ma? Kabar Devan gimana? Apa sudah ada informasi tentang jatuhnya pesawat yang dikendarai Devan?" tanya Olin beruntun tanpa jeda sedikit pun.

Mama Dyan menggeleng atas semua pertanyaan yang diajukan oleh Olin. "Belum ada informasi lagi. Pihak bandara lagi mencari tahu jatuhnya pesawat itu."

Olin pun merasa tubuhnya lemas. Jika saja ia tidak ditahan oleh Mama Dyan beserta kedua sahabatnya, maka ia sudah terjatuh di lantai.

Olin menundukkan wajahnya dan menangis terisak, bahunya bergetar hebat membuat siapa pun yang melihatnya ikut merasa sedih.

"Lin, lo duduk dulu aja yuk di kursi." ajak Eriska.

"Iya Lin, lo tenangin dulu diri lo. Gue bakal ikut bantu cari informasi tentang informasi pesawat jatuh itu," ucap Raina.

"Kamu istirahat dulu aja Lin, nanti kalau sudah ada info lagi mama kabarin ke kamu secepatnya." sahut Mama Dyan sambil mengelus pundak Olin lembut untuk menenangkannya, walau ia sama kalutnya dengan Olin.

"Mama kabarin aku ya kalau sudah dapat informasi itu," ucap Olin.

Mama Devan mengangguk. "Pasti,"

Olin meninggalkan mereka dibantu berdiri oleh Eriska menuju kursi panjang, karena sekujur tubuh Olin lemas.

"Lo tunggu sini dulu bentar ya, gue mau cari minum dulu." Eriska meninggalkan Olin sejenak.

"Lin, minum dulu," Eriska menyodorkan sebotol air mineral pada Olin, tapi sebelum itu ia membukanya terlebih dahulu.

Olin mengangguk. "Makasih ya, Ris."

"Ya udah, lo tenang aja dulu, Raina juga lagi nyari informasi tentang jatuhnya pesawat itu. Lo jangan lepas doa buat Devan."

Setelah tiga puluh menit lamanya Olin menunggu informasi tentang pesawat jatuh itu, akhirnya Raina datang menghampiri Olin dan Eriska dengan berlari kencang.

PRINCE PILOT [END]Where stories live. Discover now