22

5.7K 290 19
                                    

Saat Olin sedang mengerjakan tugas makalah yang diberikan oleh dosen yang mengajar siang tadi, tiba-tiba ponselnya berdering.

Ia terkejut sekaligus bingung melihat nama yang tertera di sana. Lalu diangkatnya panggilan tersebut. "Halo, assalamualaikum, Ma."

"Waalaikumsalam Olin, mama dapet kabar dari Devan. Tadi dia menghubungi Mama, katanya dia berada di Singapura sekarang. Kamu bisa sekarang langsung ke bandara?"

Olin tak menjawab pertanyaan Mama Dyan karena tubuhnya menegang mendapatkan kabar tersebut. Hingga suara Mama Dyan menginstruksi untuk sadar dari keterpakuannya.

"Halo Olin, kamu masih di sana, kan?"

"I–iya ma, Olin di sini. Sekarang Olin siap-siap ke bandara ya," sahutnya tergugu.

"Okay, segera ya Lin. Mama sama Papa lagi menuju ke bandara,"

Ia menganggukan kepala cepat, yang tentunya tidak dapat dilihat oleh Mama Dyan. "Iya Ma, aku jalan segera."

"Ya sudah, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam,"

Tut....

Sambungan telepon terputus. Entah bagaimana untuk menjelaskan perasaannya saat ini. Sedih, senang, cemas, takut, dan gelisah bercampur menjadi satu.

"Cepet-cepet ganti baju," gumamnya dan berlari ke arah lemari. Setelah mengganti pakaian, ia keluar kamar dengan tergesa-gesa.

"Mom," teriaknya sambil berlari ke arah tangga. Karena tak ada sahutan dari mommynya, akhirnya ia mencoba memanggil kembali.

"Mom,"

"Aduh Lin, ada apa? Kamu kenapa teriak-teriak?" tanya Mom terlihat cemas menghampiri Olin.

Mata Olin melebar bahagia. "Olin pamit mau ke bandara, tadi Mama telepon Olin kalau Devan sudah ditemukan. Sekarang Mama dan Papa lagi di jalan mau ke bandara, Olin pamit mau nyusul ke sana."

Mom senang melihat puterinya bahagia seperti ini, itu dapat dilihat dari matanya memancarkan kebahagiaan pula.

"Iya, hati-hati kamu ke sana."

Olin mengangguk mengerti. "Iya, Mom. Olin pamit, assalamualaikum." Olin menyambar tangan kanan Mom lalu mencium punggung tangannya.

"Waalaikumsalam," ucap Mom dengan senyum bahagianya.

- - - - -

Di lain sisi, Devan tak sabar bertemu dengan keluarganya. Seketika bayangan seseorang terlintas di dalam pikirannya.

Bagaimana keadaaannya?

Apakah dia cemas atau senang dengan menghilangnya diriku, mengingat dia tidak terlalu mengharapkan perjodohan ini?

Segera ia hilangkan pikiran buruk itu, yang terpenting sekarang keluarganya sudah tau dimana dia sekarang.

"Nak," panggil seseorang membuyarkan lamunan Devan.

Devan memutar kepala seratus delapan puluh derajat dan melihat seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. "Eh, Pak Zied."

"Kenapa melamun terus? Bukankah kau senang dapat berjumpa kembali dengan keluargamu?" Pak Zied duduk di sebelah kanannya.

Devan tersenyum. "Tidak ada apa-apa, Pak, saya cuma mau menikmati sore ini dengan melihat laut indah itu."

Pak Zied terkekeh pelan dan menepuk bahu kanan Devan. "Ya, ya, ya, nikmatilah selagi kau di sini."

"Karena jika kau kembali, kau akan terus mengingat tempat serta pulau ini." Devan tersenyum masam.

"Saya akan selalu mengingat pulau ini, di sini tempat yang sangat berharga bagi saya."

Devan menoleh ke arah Pak Zied yang sedang menatapnya. Jika dilihat dari raut wajahnya, ia melihat matanya menampakkan gurat sendu.

"Ada apa, Pak?" tanya Devan saat melihat guratan sedih dalam raut wajah Pak Zied.

Pak Zied tersenyum paksa. "Tidak apa-apa." Mendengar jawaban yang kurang memuaskan membuat Devan mengerutkan kening.

"Benarkah?"

Pak Zied mengangguk. "Apakah setelah kau pergi dari sini akan melupakan kami semua?" tanyanya dengan sorotan kesedihan.

Devan merasakan apa yang dirasakan oleh Pak Zied, tapi ia mencoba untuk tetap tersenyum.

"Saya tidak akan pernah melupakan semua yang di sini, termasuk para penduduknya."

"Benarkah?"

Ia mengangguk pasti. "Tentu! Sudah saya bilang pulau ini sangat berharga bagi saya."

Terlihat kelegaan dalam sorot mata Pak Zied kala Devan melihatnya. Ia merasakan Pak Zied seakan takut kehilangan sesuatu.

"Setelah kau pergi, pasti kami—Pak Zied dan istrinya merasa kesepian."

Hati Devan mencelos mendengarnya. "Tenang saja, Pak. Saya akan sesering mungkin berlibur kemari. Dan mungkin saya akan mengajak keluarga juga,"

"Kau anak yang baik, Nak, semoga tuhan selalu menjagamu di mana pun kau berada."

Devan tersenyum, tak terasa setetes air mata jatuh ketika Pak Zied berkata seperti itu.

Ia kembali merasakan kerinduan itu terhadap keluarganya, ucapan yang sama saat dirinya hendak terbang untuk pertama kalinya, dan itupun sudah lama sekali.

Ucapan yang sama persis diucapkan oleh Papa Kevin, ketika ia pertama kalinya bekerja sebagai pilot di salah satu maskapai di Kanada.

Ya, dulu ia belajar penerbangan di Kanada. Ia sangat berkeinginan untuk belajar di sana, dan beruntunglah dia karena Mama dan Papanya mengizinkan untuk belajar di negara julukan 'Negara Pecahan Es'  itu.

"Terimakasih, Pak."

- - - - -

Sesampainya di bandara, Olin berlari tergesa-gesa dan hampir menabrak banyak orang.

Siluet orang yang dikenalnya sudah dekat, tak lain itu adalah Dyan.

"Ma," teriaknya sambil mendekati Dyan.

Dyan yang merasa terpanggil pun menoleh dan memutar tubuhnya ke arah belakang, dan melihat Olin mendekati dirinya dengan berlarian.

"Lin," Dyan melambaikan tangannya agar tak kehilangan sosok Olin, karena ramainya orang di bandara ini.

"Gimana, Ma?" tanya Olin saat tiba di hadapan Dyan.

"Tadi Devan telepon Mama, dan katanya dia berada di pulau kecil yang ada di Singapura."

Penjelasan Dyan membuat hati Olin tenang. "Terus sekarang gimana?"

"Papa lagi siapkan jet pribadinya, dan kita akan menjemput Devan ke sana."

Olin mengangguk mengerti, dalam hati ia ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada tuhan.

To Be Continued

Gak nyangka banget bakal cepet sampe vote yang aku minta!!!

Aku minta di part ini sampe 50 vote yaa, biar agak lamaan deh tuh updatenya😂.

Tapi, kalau udah nyampe 50 vote, aku bakal cepet–cepet up. Oke:)

PRINCE PILOT [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang