25. Transfusion

5.4K 242 3
                                    


Ruang tunggu tampak lengang.  Harris duduk sendiri di salah satu deretan kursi. Ia menikmati malam dengan segala rasa yang membawanya merenung sangat dalam. Ia merasa, sepanjang perjalanan kehidupannya harus berakhir di sini. Ia tak mampu berbuat apa-apa.

Tidak mungkin. Waktu tidak akan bisa diputar kembali. Betapa ia telah melewatkan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Istrinya begitu lama menyimpan  beban pikiran seorang diri.
Pria itu baru menyadari bahwa ternyata selama ini tidak begitu memperdulikan istrinya.

Semua kini masuk akal jika Erika mengajukan gugatan cerai. Ternyata selama ini dirinya yang tidak peka. Karir yang mapan, ekonomi yang cukup, membuat lelaki itu terlena. Bahwa hidup dianggapnya mudah dan akan selalu mudah tanpa masalah. Padahal tidak demikian.

Harris terus mencoba merenungi dirinya. Ia akui, selama ini justru ia yang kekanak-kanakan. Tak pernah jelas, mau apa dengan keluarga yang ia miliki. Semua berjalan tanpa arah, tanpa misi dan visi untuk apa berumah tangga.

Terlalu mahal pelajaran yang bisa ia ambil, yaitu dengan mengorbankan kebahagiaan wanita yang selalu ada untuknya. Di hatinya yang paling dalam, Harris berharap semoga masih ada kesempatan bagi dirinya memperbaiki semuanya.

"Papaa ..., mana Mamaa?"

Lamunan Harris buyar, mendengar Marsya memanggil. Harris berdiri dan menyambut putri kecilnya dengan pelukan. Pelukan kali ini terasa berbeda. Penuh makna, penuh perasaan dan penuh air mata.

"Papa kok nangis. Mama, mana? Kata Eyang mama sakit. Marsya mau jenguk Mama," tanya si cantik Marsya dengan wajah polosnya.

Masih dalam pelukan, Harris mengangkat anaknya untuk digendong. Ia belum menjawab pertanyaan putrinya. Harris langsung bergegas sungkem dengan Ayah dan Ibu Mertuanya.

"Mana Erika, Ris?" tanya Ayah.

"Di ICU, Ayah. Erika masih belum sadar." jawab Harris sambil menunduk  menunjukkan perasaan bersalahnya.

Ibu yang selalu lembut, spontan menangis. Ayah mendekap istrinya sambil menarik napas panjang. Ia tidak habis pikir, mengapa hal ini bisa terjadi?

"Ayah, Ibu, maafkan Harris. Ini semua salah Harris."

Ayah tidak mengatakan apa-apa. Namun dari sorot matanya ia tampak sangat bersedih. Putri satu-satunya sedang koma karena sesuatu yang belum diketahui penyebabnya.

"Ayah rasanya ingin marah dan menamparmu, Ris! Tapi Ayah tidak lakukan. Karena itu tidak akan memperbaiki keadaan."

Suasana ruang tunggu semakin memilukan, karena Marsya menangis dan merengek ingin bertemu Mamanya. Harris sebisa mungkin membujuk putrinya untuk diam dan bersabar. Harris memeluk sambil menggendongnya berkeliling koridor rumah sakit. Sementara Ayah dan Ibu, mendekati ruang ICU menunggu bisa diizinkan masuk untuk melihat Erika.

Beruntung 10 menit kemudian, perawat membukakan pintu sehingga Ayah dan Ibu bisa masuk. Marsya sengaja tidak diajak ke dalam, khawatir menangis histeris  melihat keadaan Mamanya. Ini akan mengganggu pasien lain di ruang ICU.

Semakin deras air mata Ibu melihat putrinya. Ia sekuat tenaga menahan isakan tangis agar tidak pecah. Ayah selalu tampak kuat untuk menguatkan hati istrinya. Tak lama, mereka keluar ruangan ICU, dengan meninggalkan segenap do'a dan harapan untuk kesembuhan putrinya.

Harris mengayun Marsya dalam dekapan di pundaknya. Marsya mulai tertidur. Sepertinya karena lelah dan memang saat itu sudah lewat dari pukul 10 malam.

"Ris, Ayah tahu ini juga tidak mudah untukmu. Kamu harus jaga istrimu. Ayah dan Ibu akan membawa Marsya pulang. Kabari Ayah jika ada sesuatu, ya." Ujar Ayah sambil mengelus punggung cucunya yang  mulai lelap.

Heart BreakerWhere stories live. Discover now