《3》Tersenyumlah, Athar

871 65 15
                                    

Pemberani, tapi pengecut!
Itulah seorang Athar Al-fadhil. Laki-laki yang hanya bisa meratapi kesalahannya. Dengan cara berdiam diri dalam kamar di balik selimut Avrangers yang menutupi sebagian tubuhnya.

Percuma saja, tak ada gunanya. Tiap detik di rumah seolah berjalan dengan lambat. Ketukan demi ketukan pintu yang masuk pendengarannya tak mampu membuat Athar beranjak.

Jujur Athar merasa iba pada pembantunya di luar. Tapi apa boleh buat? Keluar kamar dan makan malam bersama keluarganya hanya membuatnya malu saja. Kenapa malu? Karena Athar adalah seorang....

"Den Athar, ayo makan dulu. Bibi sudah masak ayam kecap kesukaan Athar. Dibuatnya pakai cinta loh, Den,"

Selalu saja kalimat itu yang Athar dengar. Suara lembut Bi Yoyoh di luar kamarnya dengan membawa ayam kecap beserta nasi putih. Mungkin di bawah keluarganya sedang makan malam, tanpanya.

Tanpanya.

Dirinya sudah tak dianggap. Bagaikan benalu yang tak mau berpindah tempat. Cukup, Athar tidak tahan dengan semua ini. Apa dirinya benar-benar sang pelaku utama? Kalau iya, yasudah dirinya minta maaf.

Cowok itu bergerak, sudah lebih dari satu jam tidak merubah posisi. Sendi-sendi tulangnya berbunyi. Pegal sekali rasanya.

"Den Athar, boleh bibi masuk?"

Athar berpikir sejenak. Kemudian tersenyum dan bangkit. Berjalan menuju pintu kayu dengan hiasan spanduk tim kesebelasan favoritnya. Real Madrid. Memegang sebuah trofi kejuaraan yang diraih beberapa waktu yang lalu.

Ceklek

Bi Yoyoh sedikit melonjak ke belakang. Pasalnya baru kali ini anak majikannya mau membuka pintu di malam hari. Athar memberi kode untuk masuk dan mendapat anggukan dari Bi Yoyoh.

Bi Yoyoh mendaratkan bokongnya di tepi ranjang. Sebelumnya menaruh nampan terlebih dahulu di atas nakas. Mengedarkan pandangannya ke seisi kamar lalu berhenti tepat pada sebuah foto yang dipajang di dinding.

"Athar belum bisa ngerelain dia, Bi," lirih Athar seraya menunduk.

Bi Yoyoh tersenyum seraya mengelus-elus pundak Athar. Air matanya jatuh seiring berjalannya waktu. Athar pun ikut menangis, bahkan sampai terisak.

"Seharusnya Athar ikut mati aja waktu itu," ucap Athar.

Iya benar, seharusnya nyawa Athar melayang saja setelah insiden tragis itu. Tapi, takdir hanya merengut nyawa perempuan cantik yang sekarang sudah tenang di alam sana.

"Hush, gak boleh ngomong gitu. Itu semua udah takdir, Den," sahut Bi Yoyoh.

Athar menghapus air matanya. Mendongak dan bersusah payah tersenyum di hadapan pembantunya yang sudah ia anggap ibu keduanya sendiri. Hal yang sama dilakukan oleh Bi Yoyoh.

"Kalau begitu Bibi ke dapur dulu, biasa mau nge-dj," pamit Bi Yoyoh lalu bangkit dan melenggang pergi.

Dj yang Bi Yoyoh maksud adalah nencuci piring:v Ditemani lagu 'Sayang' ciptaan Via Vallen dari radio butut milik wanita berkepala empat itu.

Athar terkekeh mendengarnya. Setidaknya ia masih memiliki Bi Yoyoh yang setiap hari menguatkannya. Pandangan laki-laki itu beralih pada ayam kecap di atas nakas. Tunggu apalagi? Mari makan.

Athar sempat berdoa sebelum makan. Kebiasaan baik yang diajarkan Arland, kakaknya. Ah ralat, dirinya kan sudah tak dianggap. Jadi, lebih tepat mantan kakaknya.

Tanpa sadar hatinya lagi-lagi tertohok mengingat perkataan-perkataan pedas seorang Arland setelah insiden itu. Lebih pedas dari 100 biji cabai yang diulek menjadi sambal. Ditaburkan ke atas ayam yang digeprek.

Setidaknya yang manis sedang ia makan. Ayam kecap buatan Bi Yoyoh yang disebut-sebut memakai cinta saat dibuat. Ciee Athar dapat cinta dari Bi Yoyoh:v

Athar bersendawa lalu segera meraih gelas berisikan air mineral di dalamnya. Air hangat, semoga juga bisa menghangatkan hatinya.

Lagi dan lagi foto yang dipajang di dinding mencuri perhatiannya. Tadinya foto itu sempat ingin Athar kubur dalam-dalam atau disimpan di sebuah tempat yang setiap hari tak ia lihat. Di kolong ranjang, misalnya.

Sudut bibirnya terangkat, rindu. Athar sekarang percaya, benar kata Dilan rindu itu berat. Apalagi orang yang dirindukan sudah tak ada. Hanya bisa membayangkan kenangan-kenangan bersamanya.

Perempuan itu bagaikan bandar yang mengedarkan kenangan baginya. Laki-laki itu bagaikan korban yang merasakan kenangan di setiap detiknya.

Tesh

Ayolah Athar jangan menagis.
Tersenyumlah, Athar:)

Dengan cepat laki-laki itu menghapus air matanya sendiri. Mencoba tersenyum menguatkan dirinya sendiri. Insiden tragis itu bukan murni kesalahannya, tapi itu sudah dibentuk Sang Skenario Takdir.

Jam dinding di samping foto itu sudah menunjukkan pukul 23.00. Sudah waktunya Athar tidur dan menjelajahi alam mimpinya. Kantuk pun menyerangnya.

Athar sudah terlelap seraya mendekur atau ngorok. Tak disangka, seseorang dari tadi menunggunya tertidur di luar.

Ceklek

Seorang laki-laki sekitar lebih tua tiga tahunan dari Athar memasuki kamar adiknya. Laki-laki itu adalah Arland, orang yang paling kehilangan atas insiden tragis satu tahun yang lalu.

Arland menjatuhkan bokongnya di tepi ranjang, menatap sendu adiknya. Ia sadar apa kesalahannya sehingga membuat Athar selalu mengurung diri di kamar setiap malam.

Tesh

Seorang yang kuat seperti Arland menangis. Laki-laki itu mengelus puncak kepala adiknya, tidak akan membuat bangun sang empunya. Kasih sayang yang Arland berikan diam-diam setiap malam.

Walaupun bibirnya mengatakan Athar bukan adiknya lagi, percayalah hatinya berkata lain. Tetap menganggap Athar adiknya yang selalu menangis karena tidak bisa mengerjakan PR Fisika di awal-awal masuk SMA.

"Maafin abang, Dek," lirih Arland nyaris tak terdengar. Apalagi di pendengaran seorang kebo seperti Athar.

Sedetik kemudian laki-laki itu bangkit, merapikan selimut adiknya yang berantakan karena didudukinya. Menutup sebagian tubuh Athar lalu mengecup keningnya sekilas. Seperempat detik jika dihitung.

"Good night. Have a nice dream," ucap Arland sebelum dirinya benar-benar keluar dari kamar. Tak lupa membawa bekas makanan milik Athar sekalian dan mematikan lampu tidur.

Andai Athar tidak kebo jika tidur. Mungkin rasa kebahagian tiap malam ia dapatkan. Apalagi jika menyangkut dengan Arland, panutan hidupnya selain ayah.
Sebentar...pasih pantaskah pria paruh baya itu dipanggil ayah?

Setelah bertahun-tahun tidak pulang seperti Wali. Pria itu bilang ingin mencari nafkah di luar kota, tapi kenapa tidak memberi kabar sedikit pun pada istrinya yang tiap hari menunggu.

Ceklek

Pintu kamar Athar lagi-lagi dibuka oleh seseorang. Orang itu adalah...Bi Yoyoh. Wanita paruh baya itu berjalan ke arah nakas, tangannya bergerak-gerak mencari keberadaan bekas makan Athar. Tapi nihil, aneh.

"Siapa yang setiap hari masuk ke kamar Athar ya?" gumam Bi Yoyoh. Pertanyaan itu selalu yang ada dalam benaknya. Sesuatu yang mustahil jika piring, gelas, dan nampan itu bisa berjalan sendiri ke westafel.

Bodoh, kenapa tidak memergoki di dapur saja. Baru ingat, pikir Bi Yoyoh. Besok ia akan memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Detektif Yoyoh! Beraksi!!!

Gimana bab tiganya?
Lanjut, jangan?

Dipublikasikan : 14 Juli 2018




Athar [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now